Halmaheranesia – Sebanyak delapan belas organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta fokus pada upaya mendorong pengakuan sekaligus perlindungan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia menyelenggarakan Coastal and Small Islands People Summit 2024.

Kegiatan yang digelar di Banda Naira, 8-13 September 2024 ini merupakan pertemuan tahunan ketiga setelah sebelumnya dilaksanakan di Jakarta, pada tahun 2023 lalu.

Dalam pertemuan ini, Jaring Nusa menyampaikan sikap terhadap transisi kepemimpinan nasional menuju pemerintahan baru yang akan dinahkodai oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa, melalui siaran pers menyebutkan penyampaian sikap ini berakar pada absennya political will Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak memastikan pengakuan dan perlindungan wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil sekaligus masyarakat yang hidup di atasnya, selama satu dekade memimpin Indonesia.

“Sebaliknya, Jokowi terbukti memberikan karpet merah yang sangat besar bagi investasi dengan cara memproduksi beragam regulasi yang menjadi predator, khususnya terhadap hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia,” ucap Asmar, Kamis, 12 September 2024.

Pihaknya melihat kepemimpinan Prabowo dan Gibran merupakan kelanjutan dari pemerintahan Jokowi yang tetap memprioritaskan agenda investasi skala besar, yang memadukan pendekatan ekstraktif dengan perampasan ruang laut terencana (planned ocean grabbing).

“Indikatornya dapat dilihat dari beragam perencanaan pembangunan yang kini tengah disusun, terutama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029,” paparnya.

Pada saat yang sama, kata dia, baik Jokowi maupun penggantinya, tidak pernah membicarakan agenda perwujudan keadilan ekologis atau keadilan iklim bagi masyarakat pesisir serta pulau kecil.

“Berpijak pada permasalahan tersebut, Jaring Nusa menyerukan Resolusi Banda Naira 2024 untuk keadilan ruang pesisir, laut, dan pulau kecil, khususnya bagi Kawasan Timur Indonesia,” ungkapnya.

Adapun detail Resolusi Banda Naira adalah soal krisis iklim, pengelolaan ruang laut dan hak kelola masyarakat, kedaulatan pangan, air, dan ekonomi lokal, industri ekstraktif, serta konservasi dan perikanan yang berkelanjutan.

Soal krisis iklim, pemerintahan baru didesak untuk mengevaluasi berbagai peraturan perundangan serta regulasi dan kebijakan yang memperparah dampak krisis iklim.

“Dalam hal ini, dua UU yang perlu dievaluasi dan dicabut adalah UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata Asmar.

“Pada titik inilah Jaring Nusa mendesak pemerintahan baru untuk memprioritaskan RUU Keadilan Iklim masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025,” jelasnya.

Jaring Nusa juga mendesak pemerintahan baru untuk tidak menggunakan pendekatan sektoralisme terhadap masyarakat pesisir.

“Kami melihat bahwa masyarakat pesisir telah ada sebelum negara ini berdiri pada tahun 1945. Dengan demikian, berbagai instrumen hukum seharusnya disusun dan didesain untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat pesisir dalam mengontrol dan mengelola sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.”

Jaring Nusa juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi alokasi ruang yang selama ini ada dalam RZWP3K serta melakukan moratorium pembahasan integrasi tata ruang darat dan laut, sebelum memastikan hak-hak masyarakat pesisir masuk dan menjadi arus utama dalam perencanaan tata ruang.

Pihaknya pun mendesak pemerintahan baru untuk memastikan kedaulatan pangan dan air, serta ekonomi lokal menjadi arus utama dalam agenda pembangunan di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia.

“Kami melihat bahwa selama ini wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil menjadi target industri ekstraktif yang diberikan stempel oleh negara. Dampaknya kerentanan wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil semakin meningkat dan meluas dalam sepuluh tahun terakhir,” jelasnya.

Baginya, konservasi di Indonesia telah salah arah karena tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama. Dalam perkembangan terbaru, konservasi di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil didorong untuk melayani carbon trade serta target global 30 x 30 yang bias kepentingan negara-negara utara.

“Pemerintahan baru didesak untuk melihat dan memperlakukan konservasi sebagai alat bukan tujuan. Sebagai alat, konservasi harus ditujukan untuk mewujudkan keadilan ekologis dan atau keadilan iklim, bukan untuk konservasi itu sendiri,” pungkas Asmar.

Menurut Jaring Nusa, Kawasan Timur Indonesia merupakan wilayah yang rentan terdampak ancaman bencana ekologis, dalam bentuk bencana alam; bencana iklim; dan bencana akibat aktivitas industri.

Berdasarkan permasalahan itu, mereka mendesak pemerintahan baru untuk mendesain mitigasi bencana dengan tidak memproduksi berbagai regulasi yang akan memperburuk kerentanan wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil. Sejalan dengan itu, pemerintahan baru didesak untuk segera memperkuat regulasi yang melindungi pesisir, laut, dan pulau kecil dari ancaman bencana.

“Kami mendesak desain pembangunan di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil Kawasan Timur Indonesia tidak disamakan dengan pembangunan daratan besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau besar lainnya,” pungkas Asmar.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *