
Halteng, HN – Warga Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada Kamis, 25 Agustus 2022, menggelar aksi unjuk rasa menolak kehadiran perusahaan tambang PT. First Pacific Mining (FPM). Aksi ini dibuat di kantor perusahaan tersebut, tepatnya di Desa Sagea.
“Gae re gele neste rfaftote bo tajaga re tpalihara pnuw re boten enje fafie (para leluhur berpesan bahwa kita harus menjaga dan memelihara kampung dan tanah ini,” ucap Adlun Fiqri, salah satu pemuda yang mewakili massa aksi, melalui siaran persnya.

Adlun menjelaskan, pesan tersebut dituturkan oleh orang tua-tua, secara turun temurun, diteruskan oleh mama dan papa di telinga dan hati para generasi.
“Pesan ini menyatu dalam sanubari dan jiwa raga kami, bahwa kampung, tanah, hutan, air, kebun, dan segala nilai dan adat istiadat patut dipertahankan agar tetap lestari dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, anak cucu kita kelak,” ungkapnya.
Ia mengaku, generasi Sagea-Kiya bersyukur dilahirkan dan dibesarkan dari rahim tanah ini. Kampung dengan hutan yang memberi udara segar, sungai dan mata air yang mengalirkan kehidupan, telaga yang keramat, kebun dan laut yang menghidupkan sejak dulu.
“Namun, semua anugerah ini terancam dengan rencana aktivitas industri pertambangan PT. FPM. Potensi ancaman ini nyata dikarenakan letak konsesi pertambangan PT. FPM berada di atas kawasan karst Bokimoruru,” jelasnya.
“Sementara lokasi rencana pabrik PT. FPM berada di antara Sungai Sageyan dan Danau Legaelol, belum lagi jarak dengan pemukiman penduduk yang sangat dekat,” sambungnya.
Ia mengaku, dalam jangka panjang, semua sumber penghidupan mereka di atas akan lenyap dan resiko pencemaran air dan udara akan terjadi.
“Kami telah melihat bukti nyata bagaimana pertambangan adalah industri kotor dengan daya rusak lingkungan. Itulah mengapa Gerakan Selamatkan Kampung Sagea hadir,” paparnya.
Selain itu, kata dia, pihak perusahaan tidak transaparan memberi informasi pada masyarakat terkait perizinan dan kajian AMDAL-nya, padahal ini adalah hak asasi yang harus dipenuhi.
“Perusahaan juga penyebab polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat. Secara nyata perusahaan juga tidak menghargai kampung ini karena secara sepihak menetapkan harga tanah dengan berbagai dalih, seakan-akan kampung ini tidak memiiki harga diri,” ungkapnya.
Adlun menambahkan, Sungai Sageyen, Danau Legayelol, dan Goa Bokimoruru adalah anugerah bagi kampung ini dan telah dimanfaatkan sebagai objek wisata andalan di Halmahera Tengah.
“Ketiganya bagian dari ekosistem karst di Halmahera yang patut dilindungi. Secara ekologi, kawasan karst memiliki fungsi resapan dan menyimpan air. Secara ekonomi, pemanfaatan wisata karst Goa Bokimoruru dan Danau Legaelol telah mampu memberi manfaat bagi masyarakat Desa Sagea dan Desa Kiya.”
Menurutnya, hal itu adalah contoh pemanfaatan sumber daya alam yang lestari, berkelanjutan, dan patut didukung oleh semua pihak, apalagi tengah didorong oleh pemerintah sebagai Kawasan Geopark.
“Untuk itu Front Selamatkan Kampung Sagea mendesak PT. FPM harus menghentikan segala bentuk aktivitasnya di kampung kami. Pemerintah kabupaten dan provinsi segera evaluasi perizinannya. Pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat segera mengeluarkan kebijakan perlindungan kawasan karst di Kampung Sagea,” pungkasnya.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, kru halmaheranesia masih berupaya menghubungi Humas PT. FPM atau perwakilan perusahaan tersebut.