Ternate, HN – Cerita sedih datang dari 13 pekerja yang berasal dari Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Mereka kini menetap sementara di Masjid Darul Alrqam Kota Ternate, Maluku Utara.

Deryansah, salah satu pekerja kepada halmaheranesia menceritakan, mereka datang ke Maluku Utara karena ditawarkan kerja oleh salah satu subkontraktor PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah.

“Kami melarikan diri dari Weda ke Ternate pada Minggu, 3 April kemarin dan saat ini tinggal di Masjid Darul Arqam,” kata Deryansah, Selasa, 5 April 2022.

Ia mengungkapkan, awalnya ditawari pekerjaan yang menjanjikan dari salah satu agen penyalur tenaga kerja yang merupakan subkontraktor PT IWIP.

Penawaran pekerjaannya pun sesuai keahlian, yakni ahli pembesian kontraktor dengan kuota pekerja 40 orang. Namun yang tersedia hanya 18 orang.

“Tapi saat berangkat untuk kerja di Maluku Utara hanya 13 orang saja,” ungkapnya.

Ia mengaku, sebelum diputuskan berangkat ke Halmahera Tengah, mereka melakukan negosiasi lewat telepon terlebih dulu dengan subkontraktor tersebut.

“Di dalam kontrak itu ada perjanjian kerja selama 6 bulan dengan gaji per 8 jam kerja tiap orang sebesar Rp 210 ribu, belum terhitung lembur. Sedangkan uang makan Rp 30 ribu, uang per jam Rp 20 ribu dan dapat makan tiga kali sehari. Selain itu, transportasi dan tempat tinggal berupa mes juga difasilitasi,” tuturnya.

Setelah sepakat dengan perjanjian tersebut, berangkatlah mereka menggunakan pesawat dengan rute Jakarta-Makassar-Ternate. Tiket pesawat mereka pun dibeli oleh agen tersebut.

“Jadi jadwal berangkat dimulai dari Rabu, 30 Maret kemarin dan tiba di Halteng Kamis, 31 Maret 2022,” jelasnya.

Mulanya, mereka menyetujui untuk melakukan penandatanganan kontrak di Jakarta sesuai rencana awal. Namun, sesampainya di Jakarta, agen kembali beralasan akan ditandatangani di Makassar.

Mirisnya, saat sampai di Halmahera Tengah pun belum ada penandatanganan kontrak kerja.

“Tiba di lokasi kerja belum ada penandatanganan kontrak. Kita seolah ditelantarkan setelah diantar sampai ke mes. Sebab, kita tak tahu mau melakukan apa selama satu hari itu,” ungkapnya.

Pihak agen subkontraktor pun menghubungi mereka dan menyodorkan kontrak pekerjaan untuk ditandatangani. Tetapi, kontrak tersebut tidak sesuai dengan yang telah disepakati secara lisan lewat sambungan telepon saat mereka masih di Bandar Lampung.

“Besaran harganya tidak sesuai, yakni kerja per 8 jam hanya dibayar Rp 120 ribu dan jadwal makan tiga kali sehari berubah menjadi dua kali sehari dengan waktu yang tidak menentu. Padahal di mes lain, jam makannya begitu teratur, baik siang dan malam,” katanya.

“Setelah membaca kontrak yang ditawarkan, kita memutuskan untuk menunda penandatanganan kontrak. Sembari melihat dulu jenis pekerjaan yang diberikan ke kita,” sambungnya.

Ketika sampai di tempat kerja, mereka sontak kaget. Karena kerja yang diberikan tidak sesuai dengan yang diperlihatkan melalui foto dan video. Bahkan jauh berbeda dengan keahlian mereka, yakni disuruh menyekop atau memacul lahan kosong.

“Dari situ kami bersepakat untuk tidak lagi kerja dan harus kabur dari lokasi tersebut. Akhirnya pada Minggu, 3 Maret lalu, kami melarikan diri dari perusahaan. Keluar secara diam-diam pada pukul 18.00 WIT,” ceritanya.

Bahkan, kata dia, sebagian pakaian ditinggalkan di mes agar tidak ketahuan. Mereka lalu berjalan kaki melalui hutan sampai menembus jalan raya sekitar pukul 19.00 WIT dan hanya membawa uang sejumlah Rp 1,5 juta.

Mereka langsung bergegas berangkat ke Ternate dengan pakaian yang basah karena kehujanan. Saat sampai di Ternate, mereka berjalan kaki tanpa arah sampai tiba di depan masjid Darul Arqam, sekitar pukul 01.30 WIT.

“Yang penting kita bisa menjauh dulu dari perusahaan. Karena kita semua sudah lelah, belum makan juga, akhirnya putuskan tidur di teras masjid. Kemudian ada beberapa petugas masjid bertanya, kita berterus terang dan meminta pertolongan mereka. Alhamdulillah diizinkan tinggal sementara di sini.”

Ia mengaku, kejadian yang dialami bersama rekan-rekannya sudah diinformasikan ke keluarga mereka di Bandar Lampung dan juga pemerintah di sana.

Alhamdulillah masyarakat di sini mengizinkan kami tinggal di masjid ini untuk sementara,” pungkasnya.

Sementara itu, hingga berita ini ditayangkan, halmaheranesia masih terus berusaha menghubungi pihak subkontraktor atau PT IWIP.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *