Namanya Friedman, sang ekonom tersohor dan pernah mendapatkan hadiah nobel. Friedman sangat pesimis atas segala upaya menjadikan bahkan menganggap perusahaan sebagai alat tujuan sosial. Baginya korporasi itu hanya menguntungkan para pengusaha yang memiliki saham.

Pada konteks ini mari sama-sama memandang lebih spesifik pada korporasi pertambangan yang menjadi primadona di Indonesia. Semua orang tahu emas, perak, dan mutiara, tentu sangat berharga.

Namun, mereka cenderung tidak peduli apakah proses produksinya merugikan lingkungan, baik darat, laut, maupun udara. Sikap inilah yang membuat kehidupan sosial kita terdominasi dengan pencemaran lingkungan di mana-mana, bahkan mirisnya mengancam nyawa juga mengorbankan jiwa rakyat di negerinya sendiri.

Tidak sedikit yang kehilangan nyawa saat bekerja ibarat kekuasaan menciptakan jebakan bagi rakyatnya di rumahnya sendiri.

Negeri ini memang tersimpan dan memiliki banyak emas, perak, tembaga, biji besi, minyak bumi, dan gas. Tak luput dari ingatan kita bagaimana rempah-rempah juga pernah hadir sebagai magnet bagi kolonialisme atau penjajah.

Padahal kita semua sedikit khilaf kalau ada aspek lain yang juga diincar oleh penjajah kala itu, yakni membangun eksplorasi pertambangan. Itulah cara mainnya kolonial dengan ekplorasi geologi pertambangan di Sumatera pada tahun 1842 hingga 1866.

Di balik korporasi tambang

Jika membuka kembali lembaran tentang pertambangan di negara ini maka tidak bisa dipungkiri bahwa hanya orang-orang berduit dan berpangkat yang menguasainya, di antaranya mereka para pengusaha yang hari ini bertengger di dalam kabinet Indonesia Maju.

Jika masih ingat lansiran Kompas pada tanggal 2 Juli 2021, maka dapat ditemukan sejumlah perusahaan pertambangan batu bara miliknya Group Bakrie dengan PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Bukan hanya itu, keluarga ini juga menguasai saham di perusahaan raksasa batubara lainnya.

PT Arutmin Indonesia rata-rata mengeruk lahan di Pulau Kalimantan. Selain itu, pasti teman-teman dan publik kenal dengan Menteri BUMN, Erick Thohir. Kakaknya, Gribaldi Thohir, memiliki saham terbesar kedua dengan PT. Andaro Indonesia.

Di sisi lain, ada juga nama Luhut Binsar Panjaitan yang memiliki sejumlah perusahaan besar, salah satunya PT Toba Bara Sejahtera (TOBA). Dilansir dari bisnis.com, perusahaan ini memiliki anak perusahaan batubara di Kalimantan Timur.

Tak luput dari ingatan juga bagaimana pengoperasian tambang emas PT. Trio Kencana di Tinombo Selatan, Parigi Moutong, yang mengundang unjuk rasa dari masyarakat dan berujung tewasnya satu demonstran.

Dari sinilah menjadi catatan, bahwa jika berbicara tambang maka di sana ada pengusaha dengan kendaraan perusahaan besar dan aparat keamanan.

Wajar jika Hugh Purcell, sang pemikir fasis dalam bukunya tentang fasisme berujar bahwa cara negara menguasai kekayaan rakyatnya itu dengan menggunakan pengusaha, militer, dan rakyat kelas menengah untuk melemahkan demokrasi sosial.

Sementara sisi lain, warga tempatan selalu tergusur dari rumahnya sendiri. Bisa dikatakan mereka pengusaha berdalil bahwa warga tempatan kekurangan SDM dan asing yang dianggap paling produktif serta profesional. Kalau begini, tentu warga tempatan itu terancam kehilangan masa depan.

Umumnya dan semestinya negara harus lebih memprioritaskan SDM lokal dengan kebijakan integratif, baik berorientasi pemberdayaan maupun pembinaan agar sekema pembangunan hili ke hulur atau pun sebaliknya dapat terlaksana. (*)

Bagikan:

Ibrahim Yakub

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *