“Branding merupakan tindakan penulisan tentang daerah, oleh daerah, untuk dunia.”

Setiap daerah adalah bentangan sejarah, hamparan teks yang menanti untuk dibaca, disuarakan, dan dikenali. Yang lebih dikenal branding. Branding daerah bukanlah sekadar strategi pemasaran, melainkan tindakan naratif: upaya merajut identitas kolektif menjadi satu cerita utuh yang bisa dipahami dunia. Ia adalah jembatan antara imajinasi dan kenyataan, antara potensi dan eksistensi.

Tatkala kita berbicara tentang branding daerah, sesungguhnya kita sedang bicara tentang kebudayaan. Dalam perspektif Simon Anholt, nation branding atau place branding merupakan cara negara atau wilayah membentuk persepsi global melalui kombinasi budaya, politik, ekonomi, dan pariwisata (Anholt, 2007 : 3).

Branding, dengan demikian, bukan hanya simbol atau slogan, tetapi ekspresi dari “siapa kita” dan “untuk apa kita ada.”

Daerah yang tidak memiliki narasi branding cenderung tenggelam dalam persaingan antarwilayah. Seperti puisi tanpa diksi, ia hadir namun tak terbaca. Sebaliknya, daerah yang berhasil merumuskan jati dirinya melalui simbol, warna, dan narasi akan lebih mudah dikenang, dikunjungi, bahkan dijadikan inspirasi.

Branding bukanlah pemolesan semu, melainkan proses pengakuan dan penguatan identitas. Menurut Kavaratzis dan Ashworth (2005), keberhasilan branding kota atau daerah ditentukan oleh kemampuan mengintegrasikan elemen-elemen historis, geografis, dan sosial ke dalam satu pesan yang utuh dan menarik.

Bayangkan Yogyakarta dengan narasi “Kota Budaya”, atau Banyuwangi dengan “Sunrise of Java”. Makassar dengan “Kota Makan Enak”, Ambon, dengan “Kota Musik Dunia”, Jakarta dengan “Kota Kolaborasi” (yang kemudian berubah). Semuanya tidak hanya menjadi destinasi belaka, tapi juga menjadi metafora tentang keramahtamahan, kreativitas, dan kearifan lokal.

Di sinilah branding bekerja: ia mengubah ruang menjadi makna, dan tempat menjadi kisah.

Lebih dari sekadar promosi wisata, branding daerah merupakan strategi pembangunan berkelanjutan. Sebuah identitas yang kuat dapat memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap tanah kelahiran mereka, serta menarik investasi yang berakar pada keunikan lokal.

Dalam studi yang dilakukan Keith Dinnie melalui bukunya City Branding, disebutkan bahwa brand daerah yang efektif mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusi sosial, dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan (Dinnie, 2011 : 112).

Di tengah krisis identitas global dan dominasi budaya arus utama, branding daerah adalah bentuk perlawanan yang halus namun tegas. Ia berkata: “Kami berbeda, dan perbedaan inilah yang menjadi kekuatan kami.”

Branding merupakan tindakan penulisan—tentang daerah, oleh daerah, untuk dunia. Ia menuntut kedalaman kontemplasi seperti penyair, kecermatan analisis seperti ilmuwan, dan ketangkasan komunikasi seperti pemasar.

Maka, penting bagi setiap daerah untuk menggali arkeologi sosialnya sendiri: siapa leluhurnya, apa cita-cita kolektifnya, dan bagaimana ingin dikenang.

Tanpa branding, sebuah daerah hanya menjadi titik dalam peta. Dengan branding, ia menjelma menjadi cerita yang berjalan, sebuah legenda yang hidup di benak banyak orang. Dan dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk informasi ini, menjadi cerita yang dikenang adalah bentuk eksistensi paling abadi.

Untuk dikenal dunia, mari mulailah kita membaca dan menulis daerah kita. Selamat membaca dan menulis.

________

Penulis: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Bagikan:

Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *