Halmaheranesia – Seorang warga Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Riski Jouronga, kini tengah menghadapi proses hukum setelah dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pelaporan itu bermula dari aksi demonstrasi damai bertajuk “Harita Gemerlap, Kawasi Gelap” yang digelar pada 17 Maret 2025 di depan kantor CSR PT Harita Nickel di kawasan Ecovillage.

Koalisi Pengacara Peduli Lingkungan Maluku Utara, Ahmad mangatakan, aksi tersebut diinisiasi warga Desa Kawasi untuk menuntut tanggung jawab perusahaan terhadap padamnya listrik di desa mereka sejak kebakaran besar pada 1 Maret 2025 lalu.

Ia mengaku, massa menilai perusahaan dan pemerintah daerah bersikap diskriminatif dalam layanan publik.

Ahmad menjelaskan, Riski dalam orasinya menyampaikan kritik keras terhadap pemerintah desa, aparat keamanan, dan warga yang menolak aksi dengan mengatakan, “Baru kenal uang sedikit sudah gila. Daerah sendiri, desa sendiri saja mau jual.”

“Video orasi tersebut kemudian diunggah ke media sosial dan menjadi dasar laporan oleh Abiater Dowet Bagimana pada 21 Maret 2025 melalui kuasa hukumnya, Safri Nyong,” kata Ahmad.

Setelah laporan tersebut diterima Polres Halmahera Selatan, Riski mendapatkan surat panggilan pertama pada 22 Maret 2025 dengan Nomor B/40/III/2025/SKPT, dan panggilan kedua dengan Nomor B/432/IV/Res.2.5/2025 tertanggal 9 April 2025.

“Riski hadir dalam pemeriksaan pada 14 April 2025 dan memberikan keterangan kepada penyidik Bripka Muhammad Nur di Unit II Tipidter Satreskrim Polres Halsel,” jelasnya.

Dalam proses mediasi yang difasilitasi oleh polisi, pelapor meminta agar Riski meminta maaf dan membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta. Namun hingga saat ini, Riski belum mampu memenuhi permintaan tersebut dan masih berstatus sebagai terlapor.

Sementara itu, aktivis Walhi Maluku Utara, Mubalik menjelaskan, kasus ini memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil. Pasalnya, Riski dikenal sebagai pejuang lingkungan yang menolak relokasi paksa Desa Kawasi oleh perusahaan tambang dan pemerintah.

“Ini adalah hak atas lingkungan hidup yang sehat dan menolak perusakan ruang hidup masyarakat adat Kawasi,” tegasnya.

Ia menambahakan, tindakan Riski dilindungi oleh Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang menyatakan bahwa, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

“Aturan ini ditegaskan kembali dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 yang memberikan perlindungan hukum kepada pembela lingkungan dari upaya pembungkaman,” tambahnya.

Mubalik mengatakan, kelompok masyarakat sipil juga menyoroti penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE yang dinilai kerap disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi kritik dari warga.

“Tindakan Riski dianggap sebagai ekspresi kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan hukum internasional, termasuk Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005,” paparnya.

Ia menuturkan, sejak aksi pertama pada 17 Maret hingga demonstrasi lanjutan bertema “Menuntut Keadilan atas Lingkungan yang Sehat dan Bersih Tanpa Polusi” pada 15 April 2025, warga Desa Kawasi terus mengalami tekanan.

“Tokoh masyarakat, pemuka agama, aktivis lingkungan, dan warga yang terlibat aksi dilaporkan mengalami berbagai bentuk intimidasi dari aparat keamanan yang berjaga di kawasan operasional perusahaan tambang,” pungkasnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *