
MENGAWALI tulisan ini, mula-mula saya ucapkan selamat kepada para kepala daerah di Maluku Utara yang baru saja dilantik, sekali lagi selamat! Sumpah dan janji telah diucapkan, di hadapan Tuhan, negara dan rakyat. Sebuah momentum sarat makna—bukan sekadar seremonial omong kosong—dan awal dari tanggung jawab yang besar.
Tugas seorang kepala daerah memang selalu berada dalam ‘persimpangan’ antara janji politik dan realitas administrasi pemerintahan.

Di satu sisi, ada visi-misi dan program yang telah dirancang untuk direalisasikan, didukung harapan masyarakat yang ingin melihat perubahan.
Di sisi lain ada kebijakan nasional yang membatasi ruang gerak, menuntut pemotongan anggaran demi penghematan triliunan rupiah dari kementerian dan lembaga negara. Adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang disahkan 22 Januari lalu, tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
100 hari kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran melakukan pemangkasan anggaran mencapai 22 persen, yang berpeluang bisa berdampak pada pelayanan publik bersifat dasar yang nomenklaturnya berada di kementerian yang memiliki tugas-tugas pelayanan dasar seperti pendidikan, pekerjaan umum, perumahan rakyat dan kementerian kesehatan.
Jika dibaca bagian ketiga, rencana efisiensi meliputi belanja operasional dan non operasional yang terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan.
Artinya target Presiden menghemat anggaran sebesar Rp 306,7 triliun; Rp 256,1 triliun dari belanja K/L dan Rp 50,5 triliun transfer ke daerah.
Para Ekonom berpendapat, pemangkasan anggaran buntut dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang dijalankan oleh Prabowo dan memerlukan anggaran cukup besar. Agar program ini bisa berjalan, satu cara yang paling mudah dilakukan adalah pemangkasan anggaran, yang sebenarnya kurang bijak.
Disamping mempertimbangkan mandatory spending seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, seharusnya pemerintah bisa menemukan solusi alternatif misalnya, memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA) dan sektor jasa, atau melaksanakan program MBG secara bertahap seperti memprioritaskan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) terlebih dahulu, baru setelah itu diperluas ke daerah lainnya.
Sepintas, kebijakan Presiden Prabowo itu dinilai sarat kontroversial dan tidak melewati pengkajian secara mendalam, sehingga menghasilkan gelombang protes berujung demonstrasi. Tagar IndonesiaGelap dan KaburAjaDulu pun turut mewarnai jagat raya sosial media, namun tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang utopis.
Tagar tersebut menandakan masyarakat seperti sedang kehilangan kompas bernegara dan saat bersamaan petinggi-petinggi negara tidak berusaha memupuk optimisme dan kesatuan.
Kebimbangan yang menyelimuti masyarakat bukan tanpa dasar, yaitu sangat potensial terganggunya pelayanan publik yang komprehensif hingga penyelewengan kewenangan yang tinggi. Lalu, bagaimana kepala daerah akan menavigasi tantangan ini?
Pelayanan Publik Berpotensi Terganggu
Kesejahteraan masyarakat adalah dasar penyelenggaraan negara yang diterjemahkan lewat pelayanan publik. Termaktub dalam kitab konstitusi, artinya bahwa negara berkewajiban mensejahterakan warga negaranya, dan warga negara berhak menerima pelayanan publik untuk meningkatkan taraf hidupnya mencapai kesejahteraan.
Hal-hal seperti ini jika terus-menerus diperdebatkan sebagai efek dari kebijakan publik, maka bisa disebut negara kita sudah terlalu dangkal ketertinggalannya.
Kandungan frasa pelayanan publik mempunyai tiga unsur apabila dilihat dari sisi bahasa. Pelayan, layanan, dan publik.
Pertama, pelayan publik diartikan pihak yang menjalankan pemerintahan.
Kedua, layanan publik diartikan rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, publik yang diartikan seluruh pihak; warga negara, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik secara langsung maupun tidak langsung.
Definisi di atas menerangkan bagaimana eksistensi suatu pemerintahan diukur dari kinerja pelayanan yang terukur. J. Gruber (2008) menjelaskan, pentingnya peran negara dalam membiayai pelayanan publik, serta bagaimana kebijakan fiskal (keuangan negara) dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keuangan negara sendiri merupakan instrumen paling mendesak dalam perwujudan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan publik tanpa dukungan keuangan negara yang kuat, akan memperlebar jurang ketimpangan.
Pembangunan mengalami stagnasi, perekonomian menurun. Kemiskinan, bukan hal yang mustahil ketika sebuah lembaga melakukan survei beberapa bulan kedepan, akan meningkat drastis.
Efisiensi selalu menjadi kata kunci dalam pemerintahan, tetapi dibalik semua itu ada konsekuensi yang mesti diperhitungkan. Pengurangan anggaran bisa berarti pemangkasan program, tertundanya pembangunan atau bahkan menurunnya pelayanan publik yang dinantikan masyarakat.
Bayangkan saja, daerah-daerah yang sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur untuk menopang aktivitas sosial dan ekonomi, dibenturkan oleh fakta bahwa mereka tidak akan memperoleh substansi pelayanan yang diharapkan.
Contoh kecil di Kabupaten Pulau Taliabu, dimana ruas jalannya 466 km, pada 2023 lalu terealisasi hanya 25% atau mendekati 100 km. Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Pulau Taliabu berada di posisi terendah di Maluku Utara, yaitu 64,31% (BPS 2024).
Artinya, kesejahteraan masyarakat turut dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan kualitas pendidikan di suatu daerah. Dan salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan adalah dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan.
Belum juga sektor kesehatan yang sangat dibutuhkan masyarakat akan berpotensi terganggunya pelayanan kesehatan terutama penanganan penyakit dan masalah stunting.
Tidak berhenti sampai di situ, kekhawatiran publik terhadap penghematan anggaran yang kemudian dialihkan pada satu program prioritas akan memperpanjang daftar penyalahgunaan kewenangan seperti korupsi.
Pada tahun 2006, Indonesian Corruption Watch (ICW) memperlihatkan kasus korupsi bermoduskan penggelembungan anggaran, dan aparat pemerintah daerah menduduki posisi teratas yaitu 30%.
Karena korupsi bukan saja terjadi saat pelaksanaan kegiatan pelayanan publik, tetapi juga diwaktu proses perencanaan. Dan bahkan pada tahap ini bisa dibilang lebih kental.
Publik Maluku Utara masih terngiang-ngiang dengan perilaku koruptif yang menyerang birokrasi pemerintahan, yang rata-rata terjadi di sektor infrastruktur.
Peristiwa demi peristiwa ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau FITRA (2015), bahwa kejahatan korupsi APBD paling banyak terjadi pada sektor infrastruktur, karena dari persentase alokasi anggaran, sektor inilah yang paling besar.
Sementara itu, penghematan anggaran ditubuh Kementerian PU cukup besar sebanyak 81,38 Triliun. Angka ini mengisyaratkan bahwa akan terjadi jeda dari aspek pembangunan infrastruktur publik yang sangat berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat beberapa waktu kedepan.
Oleh sebab itu kepala daerah yang memiliki peran penting dalam pengelolaan anggaran harus bertanggungjawab penuh dalam proses budgeting ini mesti mempunyai skema yang tepat dalam hal capacity building, untuk menciptakan atmosfer birokrasi yang bersih dan sehat.
Disamping itu, penghemat anggaran secara jelas menuntut kerja ekstra setiap kepala daerah dengan memiliki format laporan monitoring dan evaluasi kinerja yang akuntabel, agar mampu mengawasi pelaksanaan pengelolaan anggaran daerah oleh SKPD.
Karena selama ini, pengelolaan yang dilakukan SKPD rentan korupsi, baik melalui mekanisme mark up (biaya) maupun mark down (penerimaan/pendapatan) daerah.
Akhirnya, oleh masyarakat sekalipun ada semangat baru yang menyertai pergantian kepemimpinan, mereka menaruh harapan besar dipundak dan diujung pena kalian (kepala daerah) untuk menginovasi perencanaan pembangunan dan pelaksanaan kebijakan publik ditengah pemberlakuan Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Terima kasih!