
“Jurnalis adalah pembangkit semangat, pembuat kesadaran, dan penuntun masa depan.” – Katherine Anne Porter
Februari masih dalam suasana perayaan Hari Pers Nasional (HPN), momen refleksi bagi para jurnalis yang terus berjuang di lapangan. Namun, di balik peran penting mereka dalam menyampaikan informasi, jurnalis sering menghadapi ancaman, kekerasan, bahkan penganiayaan akibat pemberitaan mereka.

Kasus wartawan yang diintimidasi, dihalangi dalam menjalankan tugas, hingga mengalami pemukulan oleh pejabat atau aparat bukan lagi hal asing.
Pekerjaan jurnalis mungkin tidak seberat buruh tambang, pekerja kantoran, atau kuli bangunan. Namun, jurnalis memiliki tanggung jawab besar: memberikan informasi yang benar kepada publik setiap detik, setiap menit. Sayangnya, sebagian pemangku kepentingan justru meremehkan profesi ini, menganggap jurnalis hanya sebagai “penyebar sensasi” dan melihat mereka dengan kacamata kuda.
Jurnalis menghadapi risiko besar karena mereka membawa pengetahuan yang mampu membuka mata banyak orang. Inilah yang membuat mereka sering dianggap sebagai ancaman, terutama oleh penguasa yang otoriter dan ingin mempertahankan kekuasaannya.
Di Maluku Utara, tren kekerasan terhadap wartawan semakin nyata. Tahun 2025 saja, sudah ada tiga kasus pemukulan dan intimidasi terhadap jurnalis. Di Halmahera Timur, seorang staf desa memukul wartawan dan akhirnya meminta maaf. Di Ternate, dua wartawan diserang oleh oknum Satpol PP saat meliput aksi mahasiswa.
Kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian, dan publik menunggu proses hukum yang adil. Insiden ini juga memicu kritik terhadap Wali Kota Ternate dalam 100 hari kepemimpinannya.
Wacana kekerasan terhadap jurnalis harus menyadarkan kita bahwa di balik berita-berita yang kita baca, ada individu yang mempertaruhkan keselamatan mereka. Jika mengacu pada pemikiran Immanuel Kant, kerja jurnalis adalah bagian dari proses pencarian dan kritik terhadap pengetahuan yang akan disampaikan ke masyarakat. Pengetahuan tidak datang begitu saja, melainkan melalui analisis yang rasional dan berbasis akal budi (Hardiman, 2011; Kant, 2021).
Sayangnya, kekerasan terhadap jurnalis masih sering dilakukan oleh aparat penegak hukum—baik dari oknum TNI, Polri, Satpol PP, maupun pejabat pemerintahan. Diperlukan kesadaran kolektif untuk mencegah kekerasan ini agar tidak terus berulang. MoU (Nota Kesepahaman) antara Dewan Pers dan pemangku kepentingan sebenarnya sudah jelas mengatur bahwa hubungan antara jurnalis dan narasumber bersifat tidak mengikat.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan publik: kerja jurnalis sangat penting. Jangan pernah menganggap jurnalis sebagai sampah, ring tinju, atau alat pemuas kemarahan. Jurnalis adalah pilar demokrasi yang harus dihormati dan dilindungi. (*)