SIAPA yang untung? Begitulah pertanyaan sederhananya jika membaca algoritma politik dari perspektif rasionalitas yang tumbuh dipikiran Robert Bartels (2012). Terkesan subjektif, tetapi konstalasi politik justru memecahkan teka-teki yang rumit dirumuskan seperti itu. Kenapa rumit? Ketika makna politik mengalami pergeseran, seluruh upaya atas nama rakyat adalah kemasan; terbungkus dengan narasi, mobilisasi, bansos, pelicin, bahkan air mata.

Pendefenisian yang diungkapkan Aristoteles tentang politik tidak lagi punya relevansi. Dengan kata lain, makna politik berubah menjadi upaya setiap kelompok. Mereka membentuk organisasi politik dan bekerja berdasarkan naluri pragmatisme.

Keuntungan tentunya akan dinikmati organisasi-organisasi politik tersebut yang pertama, oleh karena sistem politik yang sentralistik alias pemenuhan syarat yang sifatnya matematik yang didapatkan melalui lobi-lobi tingkat tinggi di ‘kantor induk’. Hal tersebut secara gambalang membentuk employers associations dalam bahasa Maurice Duverger (1981).

Seorang ilmuwan sosial itu menggambarkan mereka sebagai asosiasi majikan yang menentukan siapa, kenapa, bagaimana kehidupan tatanan politik berlangsung, dari induk sampai ke daerah. Oleh karena sistem pemilihan disamping mengokohkan legitimasi pencalonan, mengokohkan pula penemuan Richard Katz dan Peter Mair (1992) yang dikenal dengan political cartel.

Kartelilasi politik mempertemukan beragam kepentingan dari asosiasi majikan dan pressure groups atau kelompok-kelompok penekan–istilah yang bermula pada tahun 1962 di Prancis. Perjumpaan tersebut bahkan menggiring opini publik bahwa wajah demokrasi harus di-make up dengan menjalin kebersamaan untuk memupuk semangat perubahan, kemajuan, kesejahteraan, atau apalah namanya.

Asosiasi majikan ini memiliki kekuatan besar yang ‘diambil’ dari tetesan-tetesan kran reformasi dikala kebebasan politik terbuka. Asosiasi majikan mendapatkan legitimasi untuk menetapkan warga negara yang hendak menjadi kepala daerah, atas dasar kesepakatan karena pertimbangan intelektualitas, kapasitas atau ‘isi tas’ dan yang pastinya sulit mereka mempertimbangkan aspek spiritualitas atau religious.

Oleh sebab itu, konsep desentralisasi yang dianggap suci dan mulia tak lebih dari sekedar teori; tentang tata cara mendesain ruang penjajahan yang diilhami negara melalui undang-undang. Pelimpahan urusan kepemerintahan dari pusat ke daerah tidak menambah kuatnya politik daerah tetapi justru mempermudah kontrol dalam struktur politik yang efeknya merambah hingga birokrasi. Sehingga bisa dikatakan bahwa birokrasi pasca pemilihan adalah sebuah fenomena politik yang mempengaruhi struktural pemerintahan di daerah.

Kedua kelompok-kelompok penekan yang seperti wabah, yang terdiri dari banyak perkumpulan dan sangat memungkinkan menggunakan “tangan-tangan” yang kuat untuk mendapatkan keuntungan. Eksistensi mereka mewarnai birokrasi dengan siasat-siasat politik yang mampu memengaruhi kebijakan. Bagi saya, perkumpulan tersebut setelah memperoleh kekuasaan melalui keterlibatan sewaktu kontestasi pemilihan, akan melaksanakan kekuasaannya dengan melancarkan tekanan-tekanan atas pemerintahan yang nanti dan sedang berjalan.

Seolah-olah kita mengulang-ngulang peristiwa yang bermula di Prancis itu dengan sangat lengkap. Ada kepentingan-kepentingan yang ditargetkan untuk terwujud dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Alias dinamika yang diciptakan mempunyai tujuan praksis yang menguntungkan; jabatan, perluasan bisnis, uang.

Contohnya, perombakan kabinet pasca pertarungan (baca: pemilihan) menumbuhkan pesimisme disebabkan pergantian pimpinan instansi seringkali mengacuhkan prosedur. Sekalipun prosedur diterapkan, sumber daya manusia bukan menjadi selera utama melainkan kepatuhan terhadap employers associations dan pressure groups yang tak pernah melepaskan cengkeramannya meski tidak tampak, memainkan peranan penyeleksi atau tim assessment dibelakang panggung.

Isu-isu ditiupkan sebagai bagian dari taktik dan strategi politik yang mampu mengubah keputusan, sementara pemilik kedaulatan mengalami kemelaratan, menunggu pendistribusian keadilan yang merupakan hak mereka sejak bersemayam didalam kandungan ibu.

Birokrasi pasca pemilihan tak ubahnya gula yang diserbu pasukan semut. Dan birokrasi adalah arena politik yang sangat sulit dihindarkan walaupun segala bentuk peraturan dibuat dan diterapkan.

Tantangan Birokrasi

Birokrasi memang dibutuhkan, tetapi disaat bersamaan birokrasi malah menjadi seperangkat sistem yang paling banyak dikecam oleh masyarakat. Gagasan birokrasi rasional ditawarkan Weber (1922) merupakan middle way atau jalan tengah setelah gelombang pemikiran yang mengkritisi lajunya kerusakan perilaku birokrasi (birokrat). Birokrasi rasional bergerak mengikuti hukum-hukum yang disepakati, bukan atas perintah pemegang otoritas kelembagaan.

Namun dalam pemerintahan modern, watak birokrasi termodivikasi dengan mengembalikan citranya yang sentralisme, penuh kerahasiaan, eksploitatif, koruptif dan nepotisme. Artinya, birokrasi lebih dekat kepada mesin yang tidak mempunyai rasa; kemanusiaan dan keadilan.

Kerusakan-kerusakan itu seharusnya sudah bisa hilang agar ungkapan Vincent Gournay yang diuraikan kembali oleh Martin Albrow (1996) tidak menjadi masalah lama yang muncul lagi ke permukaan. Bahwa birokrasi merupakan penyakit yang merusak kehidupan masyarakat, mereka bukannya menguntungkan kepentingan umum tetapi justru melahirkan permasalahan umum. Maksudnya integritas dari penyelenggara birokrasi pemerintahan telah menjelma barang rongsokan yang mendatangkan kerugian bagi banyak orang.

Prinsip-prinsip pembangunan yang dikonsolidasikan selama waktu perencanaan, absen ketika kebijakan publik diimplementasikan, padahal berbagai fasilitas, tunjangan, dan gaji tersalurkan secara baik.

Dalam konteks lokal, birokrasi dengan kewenangannya berperan sebagai “kamus penerjemah” dari bahasa (janji-janji) politik, visi misi, program-program yang dibuat kemudian diumbar-umbar selama pagelaran atas pengejawantahan demokrasi prosedural (baca: pilkada). Melalui persetujuan parlemen setelah adanya proses legislasi yang entah bagaimanapun, fungsi legislasi juga pintu masuk yang sangat lebar diselipkannya “barang bawaan” yang dititipkan oleh kaum pemodal apabila mereka merogoh kocek untuk membiayai politik.

Tantangan yang dihadapi birokrasi pemerintahan berhubungan langsung dengan kredibilitas orang-orang yang berada dipuncak kekuasaan jika menelaah piramida birokrasi. Birokrasi tidak dalam posisi tawar-menawar bila ada perintah dan instruksi dari “atas”.

Selain melaksanakan perintah peraturan dengan bermacam-macam azas, birokrasi dipaksa dan (mungkin) diteror tanpa henti untuk membantu memuluskan kepentingan mereka. Sebuah ironi yang terus dipelihara, apalagi dalam proses pemilihan banyak manuver yang tak diperkirakan akan berdampak pada kelangsungan birokrasi pemerintahan. Terlebih, latar belakang yang dimiliki para “pemuncak piramida” terindikasi bagian dari jaringan oligarki yang akan semakin mempersulit birokrasi untuk menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat.

Dengan melihat situasi demikian kita perlu buang jauh-jauh apatisme, bila perlu menguburkannya. Dan berdiri bersama-sama menginterupsi, memastikan adanya perubahan besar untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. (*)

Bagikan:

Yusup Badaruddin

Penulis adalah alumni Ilmu Pemerintahan UMMU Ternate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *