
Halmaheranesia – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyoroti revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025.
Dinamisator Simpul JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji, mengatakan disahkannya UU Minerba baru menjadi momentum bersejarah yang menguatkan indikasi gedung wakil rakyat hanya menjadi panggung sirkus dengan tujuan bertransaksi kepentingan, utamanya kepentingan berbisnis sumber daya alam.

“Proses revisi usulan DPR ini jauh dari kata transparan dan dilakukan secara ugal-ugalan nan sembrono. Selain tak melibatkan partisipasi publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Prolegnas Prioritas. Pada 2024 lalu, DPR menetapkan 176 RUU masuk ke dalam Prolegnas 2024-2029, 41 di antaranya dikategorikan prioritas, namun tak ada revisi UU Minerba di dalamnya,” ucap Julfikar, melalui siaran persnya, Selasa, 18 Februari 2025.
Ia mengatakan, disahkannya produk hukum tersebut menunjukkan ada kepentingan oligarki tambang di balik lembaga DPR, pemerintah, dan DPD. Dalam rancangan awal RUU Minerba, sebelum dibahas bersama dengan pemerintah dan DPD, ormas keagamaan hanya diberikan jatah konsesi batu bara. Sedangkan perguruan tinggi, koperasi, dan perusahaan perorangan, diberikan jatah konsesi mineral logam.
“Namun setelah pembahasan selama empat hari berturut-turut, seluruh entitas bisnis tersebut dapat menambang batu bara juga mineral logam, seperti diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 60. Dengan kata lain, siapa saja bisa menambang batu bara dan mineral logam di Indonesia, asal memiliki badan usaha berbadan hukum. Adapun komoditas yang dikategorikan mineral logam antara lain nikel, emas, bauksit, timah, tembaga, perak,” ungkapnya.
Menurut Julfikar, selain proses yang tergesa-gesa, DPR dan pemerintah juga berbohong mengenai pelibatan kampus dalam bisnis tambang. Dalam konferensi pers usai rapat pleno pengesahan tahap satu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan DPR dan pemerintah sepakat batal memberikan konsesi kepada perguruan tinggi dan seolah-olah mendengarkan masukan publik untuk tidak melibatkan kampus dalam bisnis tambang.
“Namun, pembatalan tersebut tidak serta-merta menggugurkan niat pemerintah ‘menjebak’ kampus ke dalam bisnis tambang mineral dan batu bara. DPR dan pemerintah hanya menggeser posisi kampus dari sebagai penerima konsesi menjadi penerima manfaat melalui skema perjanjian kerja sama seperti yang diatur dalam Pasal 51A dan Pasal 60A,” paparnya.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 51A disebutkan, “Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Mineral logam dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”
Kemudian Pasal 60A menyebutkan, “Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Batubara dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”
“Ini merupakan perangkap bagi kampus yang disediakan pemerintah dan DPR. Kampus-kampus yang selama ini mengusung konsep green campus dan selalu menggunakan parameter Sustainable Development Goals (SDG’s) sudah selayaknya malu menerima manfaat dari tambang,” jelasnya.
Bagi pebisnis tambang, kata Julfikar, posisi kampus hanya menjadi ‘stempel’ legitimasi moral dan intelektual agar aktivitas penambangan terlihat seolah-olah bersih, berkelanjutan, dan mengedepankan kemaslahatan masyarakat. Padahal, daya rusak yang ditimbulkan oleh industri tambang bersifat multidimensional dan tak dapat dipulihkan, seperti yang terjadi di Provinsi Maluku Utara dalam beberapa tahun terakhir. Produk hukum Minerba ini tentu akan makin memperluas daya kerusakan tersebut.