Tulisan ini dinarasikan penuh kehati-hatian, penuh keikhlasan, dan penuh kesadaran bahwa kebijakan ‘hemat’ yang dituangkan dalam Surat Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD TA 2025 mengandung unsur berbahaya serta mengancam masa depan negeri yang baru dipimpin seorang presiden bernama Prabowo Subianto.

Ancaman masa kini semakin apik dikemas dalam rangkaian kata melalui aturan tertulis, Hendraji lalu menyebutnya sebagai perang asimetris. Ia pernah mengklaim tantangan masyarakat Indonesia bukan menghadapi peperangan bersenjata melainkan diserang melalui perang otak dari bangsa asing (Hendraji, 2017). Cukup meleset rupanya klaim itu, pasalnya saat ini justru peperangan gaya baru yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah dibuat gemuk dengan Makan Bergizi Gratis yang dampaknya tidak hanya sehat melainkan Makin Bodoh Generasinya.

Makan Bergizi Gratis mulanya digaungkan sebagai salah satu program unggulan Prabowo-Gibran saat melangsungkan kampanyenya sebagai capres dan cawapres. Program ini dibuat seolah-olah kebutuhan mendasar masyarakat Indonesia adalah makanan sehat dan bergizi.

Hal ini memang benar, sebagaimana data masyarakat miskin yang kesulitan memperoleh makanan sehat penuh gizi terbilang masih tinggi dan dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dua tahun lalu, BPS merilis data masyarakat miskin sebanyak 25,90 juta orang. Angka ini masih fantastis sehingga tidak heran jika pemimpin negeri ini merasa iba atas kondisi masyarakatnya.

Siapa menyangka, di awal kepemimpinan Prabowo-Gibran, tanpa basa-basi mereka pun menunjukkan ambisinya untuk merealisasikan program MBG agar tidak terbilang penuh janji manis.

Benar-benar nyata, program MBG kini hadir di tengah masyarakat Indonesia. Anak-anak sekolah, baik SD SMP hingga SMA menyambut program ini penuh testimoni “terima kasih bapak presiden, makanannya sudah sampai kepada kami”. Tidak hanya itu ada pula yang menyambut program mengasihi ini dengan protes “kami tidak butuh makanan gratis yang kami butuhkan pendidikan berkualitas”. Itulah konsekuensi logis yang begitu dini dari program MBG.

Kaitannya dengan perintah presiden melalui surat Inpres Nomor 1 Tahun 2025 itu, ternyata diterbitkan untuk mengalihkan anggaran-anggaran pada instansi terkait demi akselerasi program MBG. Meski alibi paling sopan yang dilontarkan adalah ‘penghematan’ sekaligus mengurangi beban utang negara yang berasal dari kepemimpinan ayah sang wakil presiden. Menerjemahkan instruksi penghematan itu akhirnya berdampak sangat buruk pada wajah pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi.

Wajah pendidikan tinggi Indonesia tampak keruh dan semakin kusam, keterbatasan sumber daya manusia karena kualitas pendidikan yang belum terlalu baik dibuat semakin memburuk.

Bidang pendidikan sebagai program prioritas pendukung dan mengorbankan anggaran-anggarannya merupakan bentuk pelecehan intelektual. Untuk memajukan Indonesia, tidak cukup dengan menyehatkan masyarakatnya secara jasmani. Kemampuan intelektual dipandang sangat perlu dalam mencapai manusia unggul.

Redja Mudyahardjo menyederhanakan konsep pendidikan dalam dua bentuk yakni paedagogik dan andragogik. Baginya, kedua bentuk ini adalah sama yaitu sama-sama menciptakan perubahan kemampuan melalui pembelajaran (Redja Mudyahardjo, 2001).

Proses pembelajaran yang baik dapat mewujudkan peserta didik berkualitas baik pula. Semakin banyak terciptanya proses pendidikan yang baik di Indonesia, maka banyak peserta didik yang hendak bersiap menjadi masyarakat Indonesia dengan kategori ‘SDM unggul’.

Bukankah ini yang menjadi cita-cita pemimpin kabinet terbanyak dengan ragam rupawan staf khususnya? Sayangnya mereka tidak berpikir bahwa pendidikan merupakan instrumen paling jitu untuk mewujudkan generasi dengan SDM unggul bukan hanya melalui generasi sehat.

Kualitas pendidikan yang masih perlu diperbaiki baik itu kurikulumnya hingga pada pengembangan kualitas tenaga pendidiknya justru dikagetkan dengan pemangkasan ugal-ugalan.

Dampak pemangkasan itu pun diprediksi akan memengaruhi jumlah keterlibatan anak-anak  dalam pendidikan tinggi. Ya, bahasa sederhananya adalah akan ada ribuan hingga ratusan ribu anak-anak Indonesia yang putus sekolah bahkan tidak melanjutkan sekolah pada tingkatan pendidikan tinggi. Hal ini terungkap begitu gamblang melalui Hasil Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi yang memuat pemangkasan anggaran akan direalisasikan, salah satunya pada bantuan sosial (beasiswa).

Jenis bantuan sosial (beasiswa) itu di antaranya berupa KIP-K, Beasiswa Pendidikan Indonesia, Beasiswa ADIK, Beasiswa KNB dan Beasiswa Dosen serta Tendik dalam negeri maupun luar negeri.

Jika perubahan penganggaran ini benar-benar terealisasi dengan cara meniadakan rekrutmen terhadap program-program beasiswa maka dapat dipastikan cita-cita mewujudkan generasi emas semakin jauh dan sangat sulit tercapai. Justru yang terjadi tidak lain dan tidak bukan yaitu Indonesia semakin tertinggal dalam aspek pengembangan SDM.

Untungnya, per tanggal 14 Februari ini Media Tempo mengabarkan bahwa Pemerintahan Prabowo-Gibran melalui Menteri Keuangannya, memastikan untuk tidak memangkas penganggaran pada item bantuan sosial (beasiswa). Meskipun demikian, sejak awal pemerintahan dengan kabinet gemuk ini wajar mendapat diagnosa buruk terhadap perhatiannya pada bidang pendidikan.

Menyepelekan pendidikan berarti menampakkan betapa kosongnya ruang otak yang dimiliki sang pengambil kebijakan. Hal serupa pun turut terpatri pada pemerintahan di tingkat daerah, ini bukan berprasangka buruk tetapi tidak salah jika ini menjadi sebuah kemungkinan paling mungkin yang akan ditemukan. Apalagi pada Pemerintah Provinsi Maluku Utara, “torang tara bisa akomodir beberapa kebutuhan masyarakat karena ini arahan pusat ada kebijakan efisiensi” semoga saja kami tidak menemukan pernyataan seperti ini kelak. (*)

Bagikan:

Ummulkhairy M Dun

Sekretaris Umum Kohati HMI Cabang Ternate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *