SURVEI Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis oleh KPK seyogyanya tidak terlalu mengagetkan publik Maluku Utara, meski berada pada posisi terendah. Skor 57,4 dari target nasional 74,00 merupakan angka yang pantas sekalipun menyakitkan dan memalukan. Penilaian tersebut mencakup transparansi, integritas dalam pelaksanaan tugas, perdagangan pengaruh (trading in influence), pengelolaan anggaran, pengelolaan pengadaan barang/jasa, pengelolaan sumber daya manusia dan sosialisasi antikorupsi di setiap instansi. Sehingga terkonfirmasi bahwa perilaku birokrasi sangatlah koruptif dalam pemerintahan yang mana berjalan secara terstruktur dan sistemik.

Apabila melihat kronologis yang terjadi dalam setiap kasus korupsi, mungkin perkataan Mohtar Mas’oed (1994) ada benarnya, bahwa birokrasi tidak pernah beroperasi dalam ‘ruang hampa politik’. Birokrasi selalu berada dalam pusaran politik, sehingga menegaskan kalau birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, melainkan menjadi aktor politik itu sendiri. Karena bagaimana pun, birokrasi menguasai sumber informasi, menguasai prosedur dan keahlian teknis, yang secara politik akan sangat memudahkan berbagai kepentingan seperti izin usaha, penempatan jabatan struktural, proyek dan lain sebagainya. Seolah-olah ruang tersebut diubah sedemikian rupa, dari pengelola kebijakan publik ke pengelola pasar saham.

Alhasil, tidak sedikit pejabat yang berstatus terdakwa terkunci dibalik terali besi—ada yang bebas keluyuran makan siang di restoran—gara-gara penyelewengan kewenangan atas hasil dari besarnya kekuasaan yang diberi. Pemberian kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan itu justru dimanfaatkan memanipulasi data, menyuguhkan fakta yang pada dasarnya berbeda dan menguntungkan hanya sebagian pihak tertentu pada akhirnya.

Kita semua tahu, korupsi adalah pangkal dari rusaknya tatanan yang sudah diatur secara komprehensif, yang berdampak pada stagnasi pembangunan dan menciptakan ketimpangan, bahkan bisa menjadi penyebab kehancuran suatu negara atau daerah. Sebut saja, pertumbuhan ekonomi melambat, naiknya angka kemiskinan, lapangan kerja sempit, pendidikan mahal dan turunnya kepercayaan publik adalah beberapa persoalan yang masuk dalam deretan resiko akibat pencurian para ‘pekerja publik’. Pendeknya, resiko korupsi menambah daftar panjang kemunduran dan ketertinggalan daerah dibanyak sektor.

Reformasi Birokrasi, Apakah Berani?

Manuel Kaisiepo (1987) mengutip Harold Crouch seorang ilmuwan politik yang mempopulerkan istilah kepolitikan-birokratik di Indonesia, bahwa ada tiga ciri pokok dari istilah tersebut, yaitu 1) lembaga politik yang dominan adalah birokrasi, 2) lembaga-lembaga lainnya seperti parlemen, partai politik dan kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol birokrasi, dan 3) massa diluar birokrasi secara politik adalah pasif.

Tiga ciri tersebut menggambarkan birokrasi menjelma menjadi kekuatan politik yang kuat dan sulit dikontrol oleh parlemen, kelompok interest, civil society dan bahkan partai politik. Atau dengan kata lain, birokrasi dan kekuasaan itu sangat dekat keterkaitan dan keterikatannya, sehingga bisa dikatakan telah menjadi satu dalam struktur pemerintahan modern karena beroperasi dalam lingkup kekuasaan yang melekat sebagai hasil dari proses politik (perebutan kursi) yang akrab dikenal dengan ‘demokratisasi’.

Di Maluku Utara, provinsi yang saat ini menuju usia dewasa memasuki 26 tahun, gagasan Crouch diterjemahkan secara baik apabila memperhatikan pola dan perilaku birokrasi. Birokrasi bergerak menurut kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan faktor transparansi dan akuntabilitas, sehingga penyelenggaraan pemerintahan belum memperlihatkan suatu keberlangsungan kehidupan tata kelola yang positif. Selain itu, kritik berbasis data dan teori tidak terlalu kuat untuk menerangi gelapnya kekeliruan dan kesalahan. Aksi massa sebagai langkah strategis untuk membuka ‘kotak pandora’ dalam sistem yang diterapkan ditubuh birokrasi, terus dilakukan untuk merespons dan mengontrol.

Pertanyaannya kemudian, beranikah kepala daerah menerapkan reformasi birokrasi yang sudah ditunggu-tunggu oleh seluruh lapisan masyarakat? Atau tetap mempertahankan gaya lama?

Soal utama reformasi birokrasi yang fundamental ada pada masalah sumber daya manusia sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi birokrasi yang diarahkan ke penataan organisasi kelembagaan, pelayanan dan akuntabilitas sangat ditentukan oleh kinerja mereka yang ditugaskan dalam jabatan struktural maupun fungsional.

Bagi saya, aspek penataan organisasi kelembagaan semestinya yang ditekankan adalah transparansi dan pengawasan sebagai bagian dari kontrol publik terhadap perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan publik, evaluasi, dan juga seleksi atau assessment pimpinan organisasi perangkat daerah. Di sisi pelayanan, pemerintah semestinya punya Standar Operasional Prosedur yang profesional, efektif dan efisien, terbuka, dan berkepastian hukum untuk bisa memaksimalkan pelayanan publik guna menghadirkan kesamaan hak bagi siapa saja.

Sementara akuntabilitas, bahwa penyelenggara pemerintah tidak hanya mempertanggungjawabkan kinerja kepada pimpinan organisasi, tetapi juga bertanggungjawab kepada masyarakat secara moralitas. Namun reformasi birokrasi harus mengandung inovasi dan etika pemerintahan, karena lembaga organisasi secanggih apapun sistem dan susunannya, peraturan yang sempurna kalimat atau materinya tidak menjamin terciptanya pemerintahan yang baik dan akuntabel apabila penyelenggara pemerintahan tidak memiliki semangat etis dalam pelayanan publik.

Di samping itu, keberhasilan reformasi birokrasi sejatinya berawal dari political will seorang pemimpin atau kepala daerah. Hal itu dilakukan untuk mengubah ‘rupa birokrasi’ yang sebelumnya suram menjadi cerah. Rupa birokrasi yang baru mesti membawa keluar kondisi masyarakat yang diancam kesenjangan dan ketimpangan kepada kemaslahatan.

Petani dan nelayan harus sejahtera dengan dukungan yang riil dan tidak berdasarkan kemauan kelompok tertentu. Gaji buruh menjadi prioritas untuk dinaikkan dan memperketat penerapan regulasi yang hubungannya dengan kesehatan dan keselamatan kerja tetapi di sisi lain juga melakukan pengembangan kapasitas.

Tenaga kesehatan dan tenaga pengajar hanya fokus dengan bidangnya tanpa khawatir ‘isi dompet’ mereka dengan skema penganggaran yang matang. Terlebih di tengah isu nasional terkait pemotongan anggaran, menambah beban baru terhadap kerja-kerja birokrasi, lebih khusus Gubernur Terpilih.

Postur APBD dalam pelaksanaannya harus terdistribusi secara adil dan tepat sasaran. Sehingga kita semua bisa yakin dan percaya bahwa peralihan kepemimpinan daerah menjadi sebuah oase krusial yang akan menandai terwujudnya good governance dan clean government, dan tidak sekedar konsep yang selalu digaungkan untuk menutupi ‘penyakit’ korupsi yang bisa kambuh kapan saja, meskipun sudah melampaui waktu tersebut.

Terakhir, jangan acuh terhadap lingkungan yang sudah menjadi isu global akibat atas tergerusnya nilai-nilai ekologis oleh pemangku kebijakan, terutama wilayah Maluku Utara sebagai salah satu konsentrasi pemerintah pusat menyangkut hilirasi mineral. (*)

Bagikan:

Yusup Badaruddin

Penulis adalah alumni Ilmu Pemerintahan UMMU Ternate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *