
Halmaheranesia – Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato (AMBPW) mendesak pemerintah untuk mencabut izin tambang nikel PT Priven Lestari yang dianggap mengancam kelestarian Pegunungan Wato-wato, sumber penghidupan terakhir bagi warga Buli.
AMBPW sempat menggelar audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Timur yang dihadiri oleh Pimpinan DPRD, Kepala Bagian Hukum, Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta sejumlah pejabat terkait lainnya pada Senin, 13 Januari 2025.

Said Marsaoly, Juru Bicara AMBPW dalam kesempatan itu menegaskan, menolak segala bentuk aktivitas tambang di kawasan Pegunungan Wato-wato. Ia meminta agar pemerintah segera mengajukan permohonan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meninjau ulang dan mencabut izin operasi PT Priven Lestari.
“Pemerintah Haltim harus bertindak tegas dan tidak melayani kepentingan perusahaan tambang. Pegunungan Wato-wato adalah sumber kehidupan bagi kami,” tegas Said dalam siaran persnya yang diterima pada Minggu, 9 Febuari 2025.
Ia juga meminta Bupati Haltim untuk memberikan arahan kepada pemerintah kecamatan dan desa se-Kecamatan Maba untuk mencegah transaksi jual-beli lahan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) kepada PT Priven Lestari.
Lahan yang dimaksud masuk dalam kawasan APL, yang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010-2029 serta Rekomendasi Penyesuaian Tata Ruang, tidak diperkenankan untuk kegiatan penambangan.
“Penambangan di atas lahan APL itu, akan berdampak buruk pada perkembangan kawasan permukiman Buli. Dan berdasarkan pemanfaatan dan peruntukan ruang dalam RTRW, tidak boleh ada kegiatan tambang,” jelasnya.
Selain itu, Said mengungkapkan bahwa PT Priven Lestari terus melakukan pendekatan terhadap pemilik lahan, agar mereka menjual tanah mereka.
Menurutnya, jika tambang tetap beroperasi di kawasan tersebut, akan ada dampak buruk terhadap perkembangan kawasan permukiman Buli dan rusaknya ekosistem yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Menurut hasil overlay yang dilakukan AMBPW, konsesi tambang PT Priven Lestari telah mencaplok 547,7 hektare kawasan APL dan 2.672 hektare kawasan Hutan Lindung. AMBPW mendesak agar pemerintah daerah segera melakukan sosialisasi Perda RTRW di Buli.
“Kami juga meminta, DPRD Haltim untuk memfasilitasi pertemuan antara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato dengan DPRD Provinsi Maluku Utara, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Malut, guna membahas permasalahan ini secara lebih menyeluruh,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji, menambahkan bahwa Pegunungan Wato-wato memiliki peran vital dalam menyediakan sumber air bersih bagi warga Buli. Sungai-sungai yang mengalir di kawasan tersebut sangat penting untuk kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
“Jika tambang beroperasi, sumber air bersih yang menjadi penopang kehidupan warga akan terancam. Pemerintah Haltim seharusnya lebih sensitif terhadap ancaman ini,” ujar Julfikar.
Menurut AMBPW dan JATAM, pemerintah Haltim seharusnya berani mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin tambang PT Priven Lestari, demi melindungi hak-hak rakyat dan kelestarian lingkungan.
“Jika itu dilakukan maka Pemerintah Haltim bekerja untuk rakyat, bukan melayani korporasi tambang. Pun sebaliknya,” pungkas Julfikar.