Baru saja melahap lembaran-lembaran awal “Herba Ajaib Rumphius: Sejarah Pencarian Pengetahuan dari Ambon”, sebuah buku terbaru terbitan Komunitas Bambu, sekejap saya di bawah kembali menelusuri lorong-lorong waktu untuk bernostalgia dengan masa kecil yang pernah dilewati. Buku tersebut berhasil membangkitkan dan memutar kembali memori masa kecil saya di kampung halaman, Maluku Utara.

Norbert Peeters, sang penulis, tak hanya mewarisi perjuangan George Everhardus Rumphius sebagai botanis. Ia juga tak sekadar mengungkapkan kekaguman pada sosok yang ia sebut sebagai salah satu “Pionir Ilmu Botani Asia” itu. Buku yang membahas tentang spesies tumbuh-tumbuhan ajaib yang telah diidentifikasi Rumphius yang ia lahirkan, juga bukan sekadar ensiklopedia tumbuh-tumbuhan atau buku resep obat-obatan.

Namun lebih dari itu, melalui Herba Ajaib Rumphius, ia berhasil menghadirkan kembali memori masa kecil – bukan hanya saya, juga dirinya sendiri sebagai penulis, ketika pohon kapuk (Ceiba pentandra) yang tertulis dalam karya Rumphius membawanya kembali dalam ingatan masa kecil di rumah kakek dan neneknya. Tetapi, seluruh masyarakat di Kepulauan Maluku akan diajak bernostalgia ketika membaca buku setebal 284 halaman tersebut.

Alasan mengapa buku yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ini dapat membawa orang Maluku kembali dalam ingatan masa lalu? Setidaknya, terdapat beberapa pembahasan yang disajikan Norbert yang mendeskripsikan kebiasaan keseharian orang-orang di Kepulauan Maluku, sebagaimana digambarkan dalam herba Rumphius. Namun keberadaannya perlahan mulai menghilang.

Pertama, tradisi nyirih-pinang. Seperti halnya Rumphius yang menyebut pinang sirih sebagai ambrosia dan menjadi tanda keramahtamahan di kalangan masyarakat kelas bawah. Merujuk pada buku “Budaya Menginang di Daerah Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi” (1997), menginang juga sebagai bagian dari obat-obatan, status sosial, persembahan kepada arwah leluhur, dan upacara yang menyangkut kepercayaan dan adat-istiadat.

Kedua, rumah dari elemen pohon sagu. Selain sebagai sumber pangan, seluruh komponen pohon sagu dapat dijadikan konstruksi rumah. Namun, menjumpai konstruksi rumah menggunakan komponen pohon sagu di Kepulauan Maluku hari ini kian sulit, kecuali kita menjangkau lebih jauh ke pelosok dengan akses yang sulit. Berbeda dengan era 1990-an ke belakang, rumah-rumah beratapkan daun rumbia dengan dinding gaba-gaba sangat muda dijumpai di sepanjang jalan.

Ketiga, kebiasaan minum tuak. “Tumbuhan surgawi”, demikian Rumphius menggolongkan tumbuh-tumbuhan palem, tetapi salah satu yang paling buruk dari keluarga palem adalah aren (Arenga pinata). Hal ini karena hasil fermentasi aren menjadi saguer adalah minuman yang memabukkan. Walau demikian, saguer menjadi minuman favorit bagi sebagian anak muda, tak jarang saguer kerap hadir dalam ritual budaya masyarakat Kepulauan Maluku.

Maluku dalam Ingatan Sejarah

Ingatan tentang Kepulauan Maluku selalu berkaitan dengan penjajahan, peperangan, dan penaklukan. Rempah-rempah yang tumbuh di tanah nan-subur tersebut menjadi magnet bagi bangsa Eropa, yang kemudian melahirkan konflik berkepanjangan. Praktik kolonialisme yang terjadi di Kepulauan Maluku saat itu, menyebabkan penderitaan besar bagi masyarakat lokal.

Ingatan tentang Kepulauan Maluku adalah ingatan tentang perdagangan, ekspansi, dan percaturan global. Sebagai salah satu pusat perdagangan internasional yang terkenal sejak zaman kolonial, Kepulauan Maluku merupakan saksi bisu dari persaingan antar bangsa besar yang ingin menguasai kekayaan alamnya, terutama rempah-rempah.

Ingatan tentang Kepulauan Maluku selalu merujuk pada nama-nama yang dengan gagah dan berani melawan penjajahan dari bangsa-bangsa Eropa. Kapitan Pattimura, Martha Cristina Tiahahu, Sultan Baabullah, Sultan Khairun, hingga Sultan Nuku, merupakan deretan nama-nama besar yang akan selalu diingat dan dikenang oleh generasi Maluku saat ini.

Ingatan tentang Kepulauan Maluku adalah ingatan tentang orang-orang yang dipaksa kalah, tentang sejarah panjang perjuangan dan penindasan yang menggoreskan luka mendalam bagi masyarakatnya. Selama berabad-abad, mereka dipaksa bekerja keras di bawah kekuasaan kolonial yang memperlakukan mereka sebagai budak. Ini adalah ingatan tentang perlawanan yang tak pernah padam, tentang ketahanan yang tidak terputuskan.

Namun, ada yang terlupakan dalam ingatan tentang Kepulauan Maluku. Adalah Rumphius, ahli botani kelahiran Jerman yang bekerja untuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Hindia Belanda, sekaligus pionir riset botani di Nusantara, bahkan satu abad sebelum Alfred Wallace.

Selama hampir setengah abad tinggal di Maluku, ia mencatat ribuan tanaman, kerang-kerangan, dan kekayaan alam yang berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Rumphius dalam Ingatan Sejarah Maluku

Kepulauan Maluku bagi Rumphius bukan sekadar tempat tinggal, melainkan laboratorium alam yang kaya akan keanekaragaman hayati. Rumphius tidak melihat Maluku dari perspektif kolonial. Ia justru menunjukan penghormatan mendalam terhadap kekayaan alam dan budaya lokal. Hal ini membuatnya dihormati tidak hanya sebagai ilmuwan, melainkan sebagai sosok yang memiliki hubungan emosional dengan Maluku.

Rumphius bukan sekadar nama dalam ingatan sejarah Maluku, tetapi simbol dari dedikasi dan kecintaan terhadap alam serta penghormatan terhadap budaya lokal. Melalui karyanya, ia telah membantu dunia memahami betapa berharganya keanekaragaman hayati Maluku dan menunjukkan bagaimana pengetahuan lokal dapat menjadi bagian integral dari ilmu pengetahuan modern.

Dalam Herba Ajaib Rumphius, Norbert menggambarkan Rumphius sebagai sosok yang menempatkan kajian botani pada posisi penting. Rumphius dengan keterbatasannya, telah memberikan wawasan bagaimana sejarah botani bukan sekadar rangkaian fakta dan hipotesis yang berkontribusi pada suatu korpus ilmiah. Tetapi lebih dari itu, “filsafat botani”, demikian representasi buku herba Rumphius yang disebut Norbert.

Mirisnya, nama Rumphius di Kepulauan Maluku seperti tenggelam di dasar samudra. Banyak yang tidak mengenal sosok yang melahirkan karyanya dalam keadaan buta tersebut. Lembaga pendidikan di Kepulauan Maluku seakan lupa pada pionir ilmu botani itu. Melalui Herba Ajaib Rumphius, kita diingatkan untuk tidak melupakan jasa Rumphius. Jika ingin lebih kasar menyampaikannya, kita sebenarnya sedang ditampar oleh Norbert Peeters.

Data Buku
Judul:
Herba Ajaib Rumphius: Sejarah Pencarian Pengetahuan dari Ambon

Penulis:
Norbert Peeters

Penerbit:
Komunitas Bambu

Tahun terbit:
Desember, 2024

Jumlah halaman:
lx + 284 halaman

ISBN:
978-623-7357-57-7

Bagikan:

Arifin Muhammad Ade

Mahasiswa Doktoral Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB University. Menulis dua buku: "Narasi Ekologi: Kiamat Serangga dan Masa Depan Bumi" dan "Sagu Nusantara".

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *