
Halmaheranesia – Rencana penambangan nikel oleh PT Priven Lestari di pegunungan Wato-wato, Buli, Halmahera Timur, terus menuai penolakan. Meski demikian, perusahaan tetap bersikeras melanjutkan proses perizinan, termasuk dengan menggelar konsultasi publik terkait rencana pascatambang pada Jumat, 27 Desember 2024 di Hotel Muara, Kota Ternate lalu.
Konsultasi tersebut dihadiri perwakilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas ESDM Maluku Utara, delapan kepala desa di Kecamatan Maba, serta tokoh adat, pemuda dan agama. Namun, langkah PT Priven Lestari ini menuai kritik tajam dari warga.

Said Marsaoly, warga Desa Buli sekaligus Juru Bicara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato, menegaskan bahwa surat rekomendasi arahan kesesuaian areal Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Priven Lestari terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur 2010-2029 sebagian konsesi PT Priven Lestari tumpang tindih dengan Kawasan Hutan Lindung seluas 2.600 hektare dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 547,7 hektare.
“Sebagian konsesi yang masuk APL terlalu dekat dengan kawasan perkotaan Buli. Ini bisa berdampak buruk pada pengembangan kota di masa depan,” ujar Said melalui rilis yang diterima pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Ia menambahkan, PT Priven Lestari juga belum memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Kehutanan. Meski telah dimiliki pun tambang diminta tidak beroperasi, sebab akan menghancurkan lahan produksi warga dan merusak sembilan aliran sungai yang menjadi sumber air bersih di Teluk Buli.
“Lahan-lahan produksi warga yang terdapat di kaki pegunungan Wato-wato akan lenyap, bersamaan dengan sumber ekonomi warga,” tegasnya.
Menurut Said, rekomendasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Halmahera Timur pada 2018 hanya mengakomodasi 1.708,4 hektare untuk PT Priven Lestari, di luar APL. Namun, PT Priven Lestari diduga melakukan pembebasan lahan secara diam-diam di APL tersebut.
Selain itu, berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Halmahera Timur 2010-2029, kawasan konsesi tambang ini melanggar Pasal 14 poin (9) huruf (c), yang menetapkan area tersebut sebagai zona pengembangan sumber air bersih untuk perkotaan Buli.
“Jalan hauling yang dibangun PT Priven Lestari menabrak tata ruang. Kawasan ini masuk zona perlindungan sumber daya air,” tegas Said.
Sementara itu, Pegiat JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji, menyatakan bahwa Pegunungan Wato-wato adalah ruang hidup terakhir yang tersisa bagi masyarakat Buli.
“Jika Wato-wato dibongkar untuk tambang, itu sama saja mengundang bencana bagi warga,” katanya.
Menurut dia, dengan ruang yang semakin sempit akibat konsesi IUP tambang, warga mendesak agar DPRD dan Pemerintah Halmahera Timur untuk mencabut IUP PT Priven Lestari.
“Kementerian ESDM segera menghentikan seluruh proses perizinan tambang,” tegasnya.
Selain itu, lanjut dia warga menemukan dugaan manipulasi tanda tangan dan kesalahan penulisan nama suku dalam dokumen AMDAL PT Priven Lestari. Tidak heran jika mayoritas kepala desa menolak hadir dalam konsultasi publik pascatambang yang digelar Desember lalu.
“Warga sudah menolak tambang ini sejak 2014. Apa yang dilakukan PT Priven Lestari saat ini justru bertentangan dengan keinginan masyarakat,” pungkasnya.