
Dekade ini realitas politik demokrasi di Indonesia penuh dengan ketidakpastian. Praksis berdemokrasi yang katanya lahir dari rahim rakyat dan untuk kepentingan rakyat, nyatanya hanya sebatas pemanis buah bibir para politisi kala momentum pelaksanaan pemilihan umum. Setelah terlewati, suara-suara rakyat hanya dihitung sebagai angka untuk melegitimasi siapa yang akan berkuasa selanjutnya.
Klaim-klaim tentang demokrasi yang memusatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan, rupanya hanya ada dalam teori di setiap buku, majalah, artikel-artikel dan kampanye para politisi. Di negara ini, kekuasaan sepenuhnya tersentral pada oligarki pemerintah, korporat, partai-partai raksasa, artis yang tenar, dan mereka yang mempunyai relasi-keluarga dengan penguasa.

Sementara rakyat hanya dijadikan hiburan dalam riuh pesta demokrasi untuk memperebutkan kekuasaan.
Tahun 2024 merupakan tahun paling gemuruh dalam pelaksanaan demokrasi di negara Indonesia. Sejak awal Januari hingga akhir Desember, seluruh jagat raya media dibanjiri informasi yang tidak ada jedanya.
Euforia demokrasi itu justru menambah ketidakpastian posisi rakyat. Malah sebaliknya, para elit politik lebih leluasa melenggang ke pucuk kekuasaan. Mereka dengan mudah berkuasa karena faktor uang, ketenaran, dan memiliki relasi-keluarga.
Tren tersebut membawa dampak buruk terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia yang anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebab praktik politik tersebut justru melanggengkan KKN terjadi seperti kasus di masa orde baru.
Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 2024-2029 yang berlatar belakang pengusaha atau terafliasi dengan sektor bisnis sebanyak 354 (61 persen) dari total 580 orang (Tempo, 10/10/24).
Sementara yang terindikasi memiliki keterkaitan dengan dinasti politik, persentasenya mencapai 30 persen atau sebanyak 174 orang dari keseluruhan anggota DPR (Tempo, 5/10/2024).
Dinamika kekuasaan tersebut tidak hanya berlaku di kancah nasional, di tingkat daerah hal tersebut justru semakin merebak. Salah satu praktik paling kental di daerah adalah dinasti politik. Dilansir Tempo (24/11/24) ICW mencatat 26,8 persen atau 156 dari 582 orang peserta pilkada terafliasi dengan dinasti politik.
Hal serupa juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, dari total 4 orang calon gubernur, 3 di antaranya memiliki afliasi dengan dinasti politik, belum lagi dengan calon bupati dan wali kota. Bahkan di beberapa kabupaten di Maluku Utara, praktik dinasti politik masih bertahan hingga sekarang.
Dinasti Politik Tumbuh Lestari di Maluku Utara
Keluarga politik atau dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun-temurun dilakukan oleh kelompok keluarga yang masih terikat hubungan darah dalam mempertahankan kekuasaan. Konsep ini erat kaitannya dengan sistem kerajaan, namun naluri untuk menjadikan orang terdekat (keluarga) sebagai penerus kekuasaan tersebut tetap ada hingga sistem demokrasi sekarang.
Fenomena dinasti politik di Indonesia bukan lagi perkara baru, ia telah ada sejak negara ini dilahirkan, dan kita secara tidak sadar terus melegitimasi dinasti politik untuk berkembang dari pusat hingga ke daerah.
Fenomena ini menjadi kuat diperbincangkan ketika Gibran Rakabuming Raka anak dari Presiden ke-7 Joko Widodo, terpilih sebagai wakil presiden menemani Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia periode 2024-2029.
Maluku Utara sebagai provinsi dengan umur beranjak dewasa, tidak lepas dari praktik dinasti politik yang kian berkembang di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Nama Gubernur Maluku Utara terpilih tahun 2024, Sherly Tjoanda tidaklah asing di telinga kita. Ia istri dari mendiang Bupati Pulau Morotai, Benny Laos.
Di Kabupaten Halmahera Selatan “Dinasti Kasuba” masih awet di kursi kekuasaan, begitu pula dengan “Dinasti Keluarga Mus”, masih tetap mendapuk diri sebagai penguasa di Kabupaten Kepuluan Sula dan Pulau Taliabu.
Di luar dari lembaga eksekutif, posisi legislatif yang seharusnya menjadi wajah dari masyarakat, justru tetap saja menitipkan keluarga politik dalam setiap ajang. Tidak heran, nama-nama seperti Alien Mus, Irene Yusiana Roba Putri yang mewakili masyarakat Maluku Utara, sebagai penyambung aspirasi rakyat paling dekat dengan pemerintah pusat terpilih lagi.
Belum lagi perwakilan rakyat di tingkat provinsi, nama-nama seperti Johan Josias Manery (anak dari Bupati Halut 2 periode), Aksandri Kitong (anak dari Ketua DPRD Halut periode 2019-2024), Agriati Yulin Mus dengan latar belakang keluarga Mus, Meri Popala (istri Bupati Halbar, James Uang), serta masih banyak lagi anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang menambah daftar baru dinasti politik di Maluku Utara.
Faktor Lahirnya Dinasti Politik
Anomali praktik dinasti politik di Indonesia harus segera diatasi. Hal tersebut bisa berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi dan tentunya akan menjadi momok kehancuran demokrasi apabila terus dipelihara. Pada umumnya dinasti politik berkembang karena ditandai beberapa faktor.
Pertama, kekuatan ekonomi dan jaringan sosial yang kuat; keluarga dengan finansial ekonomi yang kuat dan ditopang dengan relasi yang luas akan lebih mudah memperoleh kekuasaan, apalagi dengan mahar politik Indonesia yang makin mahal, lebih mudah bagi orang-orang dengan ikatan relasi yang kuat untuk berkuasa.
Kedua, ketidakmampuan partai politik; masalah kaderisasi dan regenerasi kader partai tentang kepemimpinan masih sangat lemah. Ketidakmampuan partai untuk menghasilkan regenerasi pemimpin baru mendorong munculnya politik dinasti.
Ketiga, faktor budaya dan tradisi; beberapa masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah warisan keluarga yang diturunkan secara turun-temurun; hal tersebut diperkuat oleh rasa hormat dan loyalitas kepada kelompok keluarga yang dianggap berjasa.
Keempat, kurangnya regulasi yang ketat; kurangnya regulasi yang mengikat tentang pembatasan kekuasaan dinasti politik menjadi salah satu masalah masifnya politik dinasti di negara ini, minimnya antusias pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan ini, malah melahirkan bibit-bibit baru dinasti politik terus berkembang (Tampang.com, 23/07/24).
Babak Baru Dinasti Politik Maluku Utara
18 desember 2023 lalu, publik Maluku Utara diguncang dengan operasi tangkap tangan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba. Mantan Gubernur dua periode tersebut dijerat dengan kasus perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan gratifikasi. Hal tersebut membuat catatan buruk pada pelaksanaan pemerintahan Maluku Utara yang seharusnya bebas dari KKN.
Salah satu pioner keluarga Kasuba ini, terbukti bersalah dalam kasus suap korupsi dan gratifikasi serta divonis dengan hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 5 bulan kurungan. Dalam kasus tersebut pula, salah satu masalah yang disorot adalah indikasi kasus gratifikasi perizinan tambang yang melibatkan nama menantu mantan Presiden ke-7 RI, walaupun tidak ada kelanjutan dalam sidang tersebut.
Sebagai pemenang Pilkada 2024, pasangan Sherly Tjoanda dan Sabrin Sehe yang tinggal menunggu hasil terakhir sidang perkara gugatan di Mahkamah Konstitusi sebelum dilantik secara resmi. Kasus di atas menjadi alarm sekaligus pengingat, agar tidak salah dalam menjalankan kepemimpinan mereka. Apalagi istri dari almarhum mantan bupati Pulau Morotai ini, terindikasi sebagai aktor yang berkepentingan langsung dalam sektor pertambangan.
Sebagai wajah baru dinasti politik “Keluarga Laos” akankah di bawah kepemimpinannya pemerintahan Maluku Utara bisa keluar dari praktik KKN ataukah masih tetap sama seperti kepemimpinan sebelumnya?
Agar kesalahan fatal sebelumnya tidak diulang kembali. Begitu juga dengan keluarga politik lain di lingkaran kekuasaan, perlu untuk terus dikawal setiap kinerja yang mereka buat pada tahun 2025 ini dan seterusnya. (*)