Halmaheranesia – Yayasan Fala Lamo Indonesia mengungkapkan kondisi Pulau Halmahera, Maluku Utara, yang kian makin kritis dan terancam akibat dari kebijakan ruang yang lebih berpihak terhadap industri ekstraktif.

“Hutan yang terletak di Pulau Halmahera adalah yang terluas di Maluku Utara. Hutan alam tropis itu kini terancam dengan masuknya investasi yang dibungkus secara sistematis dengan kebijakan ruang atas nama intesifikasi pembangunan ekonomi,” ucap Direktur Eksekutif Fala Lamo, Jefferson Tasik, dalam diskusi “Catatan Akhir Tahun” yang digelar di Kedai Kofia, Sabia, Kota Ternate, Maluku Utara, Selasa, 31 Desember 2024.

Jefferson menjelaskan, peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan hutan dan mangrove ditafsirkan secara beragam. Akibatnya muncul kesenjangan antara peraturan dengan praktiknya. Sementara itu, terdapat kompetisi pemanfaatan hutan antara perusahaan dan masyarakat.

Menurutnya, perusahaan memperoleh izin dari Kementerian Kehutanan untuk mengeksploitasi hasil hutan kayu menggunakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Izin Usaha Perkebunan monokultur, dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sebaliknya masyarakat memanfaatkan secara tradisional untuk kebutuhan pembangunan rumah dan kayu bakar.

“Namun seiring dengan permintaan pasar yang meningkat dan demi rupiah, masyarakat lokal/adat kemudian terjebak dalam rantai pasok yang diberi label illegal logging. Di sisi lain praktek land clearing dari investasi perkebunan (monokultur) dan pertambangan telah memberikan tekanan yang signifikan terhadap laju deforestasi hutan Halmahera,” ungkapnya.

Jefferson menyebutkan, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.302/Menhut-II/2013 tanggal 1 Mei 2013, luas kawasan hutan di Provinsi Maluku Utara adalah 2.511.781 hektare. Sedangkan luas hutan di Pulau Halmahera adalah 1.790.667 hektare atau 71 persen dari total luasan kawasan hutan di Maluku Utara.

Sementara melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Ake Malamo menyebutkan, luasan hutan mangrove di Pulau Halmahera adalah 30.713 hektare.

Pihaknya mencatat, berdasarkan data Global Forest Watch, tutupan hutan di Pulau Halmahera selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir 2014–2023, telah kehilangan tutupan hutannya sebesar 96.660 hektare dan 1.286,20 hektare tutupan mangrove.

“Secara ekologis dampak dari deforestasi tentu akan sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Halmahera dan sekitarnya. Selain itu, suku O’Hongana Manyawa yang bermukim di hutan Halmahera pun makin terancam. Selama ini mereka tidak pernah diakui oleh negara,” tuturnya.

Ia kemudian mendorong sejumlah rekomendasi ke pemerintah atas persoalan-persoalan tersebut.

Rekomendasi itu seperti memastikan penerapan sistem jaminan legalitas kayu yang berlaku bagi pasar lokal dan memberi manfaat bagi pelaku usaha skala kecil.

“Perlu mengkaji dan memperbaiki pelayanan publik yang terkait dengan perizinan, baik perizinan usaha, maupun lahan, khususnya bagi usaha rakyat dan industri kecil untuk pemanfaatan kayu rakyat yang sifat resikonya benar-benar dapat diabaikan,” jelasnya.

Lalu perlu mendorong kebijakan dan aturan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk kayu dan produk kayu yang sudah memiliki jaminan legalitas kayu melalui Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK). Hal ini sebagai langkah nyata serta sebagai insentif bagi penerapan SVLK untuk pasar daerah.

Penting adanya pembenahan terhadap peraturan dan kebijakan untuk melindungi hak dan akses masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai salah satu pemangku kepentingan, serta perbaikan kebijakan untuk mengatasi deforestasi dan kerusakan lingkungan hidup.

“Perlu mengkaji dan memperbaiki kebijakan dan peraturan terkait tata kelola hutan, termasuk dalam hal ini pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat dan penguatan akses terhadap hutan dan tanah bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal,” paparnya.

Kemudian melakukan pengkajian ulang dan melakukan revisi atas tata ruang di sektor kehutanan yang memiliki peluang memperbesar degradasi lahan serta deforestasi yang disebabkan oleh konversi hutan ataupun yang menyebabkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan.

Selanjutnya perlu memastikan bahwa pemegang izin pemanfaatan hutan melakukan konservasi berdasarkan standar ekologis yang sama, dan menjamin regenerasi hutan serta memerhatikan keanekaragaman jenis.

“Dan penting memfasilitasi terlaksananya strategi pengelolaan ekosistem mangrove Provinsi Maluku Utara,” pungkas Jefferson.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *