
“Dia cerita sambil berkaca-kaca betapa dia melihat orang tua-tua makannya cuman Indomie, tidurnya beralaskan kardus, dia cerita sampai nangis aku udah enggak enak kan. Aku bilang ya udahlah aku juga ikut ke Morotai, pada saat aku ikut ke Morotai waktu itu kemudian aku melihat emang kondisinya tuh kayak-kayak sedih banget gitu. Terus aku tahu emang dia bisa dia bisa mensejahterakan mereka, kemudian saya setuju untuk mendukung dia.” Itulah kutipan pernyataan Sherly Tjoanda saat menjadi bintang tamu pada Podcast Denny Sumargo.
Selain fenomenal karena berhasil membawa nama Maluku Utara menjadi headline dalam kepustakaan politik kontemporer, Sherly Tjoanda juga sukses memunculkan diskursus tentang bagaimana kemiskinan dan keterbelakangan direpresentasikan di ruang publik.

Kutipan pernyataan oleh Sherly Tjoanda, calon gubernur terpilih Maluku Utara ketika diwawancarai oleh Denny Sumargo, sontak memantik ketersinggungan publik. Padahal Sherly sebenarnya hanya berniat mengafirmasi kelayakannya sebagai calon gubernur Maluku Utara melalui modal pengalamannya selama mendampingi mendiang suaminya. Konteks jawaban Sherly atas pertanyaan Denny Sumargo memang begitu.
Dan Morotai di tahun 2016 jadi konsederan yang paling masuk akal untuk diketengahkan Sherly. Morotai di tahun 2016 digambarkan oleh Sherly melalui frasa yang rada-rada sensitif “orang tua-tua makan Indomie dan tidur beralaskan kardus”. Hal ini dimaksudkan Sherly untuk mengafirmasi kepahlawanan mendiang suaminya, Benny Laos yang datang ibarat panacea pada tahun 2016 hingga 2021.
Selain Morotai, Kabupaten Taliabu pun tak lepas dari fokus perbincangan Sherly dalam bincang bersama di podcast Denny Sumargo. Sherly menggambarkan keterbelakangan Taliabu melalui frame of reference (kerangka acuan) yang benar-benar dirasakannya sendiri. Taliabu dengan segala keterbelakangannya adalah kenangan pahit dan tak mungkin terlupakan Sherly.
Namun publik punya telinga dan kepala yang beragam. Pernyataan itu dibaca secara kritis oleh publik, bukan sekadar deskripsi biasa, melainkan pernyataan yang membawa dimensi representasi sosial atas terciptanya stigma terhadap kelompok tertentu. Frasa “orang tua-tua makan Indomie dan tidur beralaskan kardus” diartikan sebagai metafora kemiskinan yang kuat secara visual dan mempersempit kompleksitas realitas sosial menjadi gambaran ekstrem. Ini bentuk penggambaran kemiskinan sebagai kondisi sosial yang semata-mata berfokus pada keterbatasan material.
Representasi kemiskinan dan stigmatisasi adalah isu yang kompleks dan sensitif. Maka penting untuk memastikan, bahwa narasi yang disampaikan melalui media menghormati martabat individu atau kelompok yang direpresentasikan, menghindari stereotip, dan berkontribusi pada pemahaman yang lebih adil dan inklusif. Contoh pernyataan semacam ini, sepatutnya menjadi pelajaran dan dapat membantu memperbaiki praktik komunikasi publik pemimpin dan politisi kita hari ini.
Frasa “makan indomie” diasosiasikan sebagai makanan murah, mudah diakses dan bergizi minimal. Dalam konteks kemiskinan, ini menjadi simbol seseorang yang tidak mampu membeli makanan bergizi. Padahal menggunakan frasa makan Indomie sebagai tanda “kemiskinan” akan menciptakan stigmatisasi bagi orang-orang yang mengonsumsinya karena preferensi dan bukan kebutuhan.
Pun pelambangan “tidur di atas kardus” sebagai cerminan kondisi hidup yang minim fasilitas dasar, termasuk akses tempat tidur, alas tidur, atau lingkungan yang aman. Singkat kata, menggunakan kardus adalah bentuk adaptasi dari kelompok masyarakat yang harus bertahan hidup dengan sumber daya yang sangat minim.
Masyarakat Morotai pada tahun 2016, direduksi identitasnya oleh Sherly menjadi representasi kemiskinan ekstrem. Ungkapan tersebut dapat menciptakan persepsi, bahwa warga Morotai hidup dalam kondisi yang tidak layak. Apalagi tanpa memberikan konteks yang cukup, hal ini dapat memperkuat pandangan negatif.
Walau representasi oleh Sherly mungkin dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, namun jika tidak berhati-hati, maka dapat menciptakan narasi yang merendahkan. Olehnya itu tak berlebihan memang, pemahaman tentang etika komunikasi, empati dan inklusivitas, rasanya perlu menjadi fardhu ain yang patut diimani dalam dada dan kepala politisi cum pemimpin kita saat berkelakar tentang isu-isu sensitif ke publik. Jangan serta-merta mengikuti selera asal bicara kanan-kiri, kiri-kanan tanpa perlu menyebut terserah gue.
Kong Hu Chu ketika ditanya apa yang pertama-tama akan dilakukannya manakala diberi kesempatan mengurus negara, jawabnya, “Yang pertama dilakukannya adalah membina bahasa, sebab apabila bahasa tidak tepat, maka apa yang dikatakan bukan yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, maka yang mestinya dikerjakan, tidak dilakukan. Jikalau yang harus dilakukan terus-menerus tidak dilaksanakan, maka seni dan moral menjadi mundur. Bila seni dan moral mundur, maka keadilan akan kabur, akibatnya rakyat menjadi bingung, kehilangan pegangan.”
Terlebih di era digital ini, kata-kata dapat dengan mudah cepat menyebar ke seluruh belahan bumi melalui media sosial. Pernyataan yang bias atau tidak hati-hati dapat menimbulkan dampak luas dalam waktu singkat. Tak percaya, tanya saja pada Gus Miftah yang dicemooh publik karena dianggap menghina penjual es saat ceramah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah atau Ridwan Kamil yang harus meminta maaf karena pernyataannya yang dianggap merendahkan janda saat berkampanye di Jakarta Timur, serta yang terbaru seorang Senator Amerika Serikat, Lindsey Graham yang dituduh menghina orang-orang Rusia, sampai-sampai Kementerian Dalam Negeri Rusia pun mengeluarkan surat perintah untuk menangkapnya.
Fenomena begini secara komunikologis disebut sebagai kegagalan atau rintangan komunikasi. Hal ini dapat disebabkan bermacam-macam, bisa karena gangguan psikologis, semantik, status, budaya atau kerangka berpikir yang berbeda antara komunikator Sherly dan khalayak. Peristiwa jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, jadi bukti kegagalan komunikasi yang dampaknya terasa sangat mengerikan.
Singkat kisah, AS pernah mengultimatum Jepang untuk menyerah setelah kekalahan demi kekalahan yang diderita di perang Asia Pasifik. Saat itu Jepang menjawab: “Mokusatsu!” Kata tersebut diterjemahkan militer AS yang dipimpin Jenderal Douglas MacArthur sebagai, “Jangan memberi komentar sampai keputusan diambil” yang kemudian dicari padanannya sebagai “no comment“. Pihak militer AS menganggap jawaban itu adalah bentuk pembangkangan dan pengabaian. Padahal, arti kata “mokusatsu” adalah, “Kami akan menaati ultimatum tuan tanpa komentar”. (*)