Halmaheranesia – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara menggelar diskusi publik di Hotel Villa Ma’Rasai, Kota Ternate, pada Rabu, 18 Desember 2024.

Diskusi ini bertujuan untuk memperkuat konsultasi daerah lingkungan hidup (KDLH) III 2024, khususnya di Maluku Utara.

Diskusi yang bertajuk “Perkuat Gerakan Politik Lingkungan Hidup Indonesia di Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam Memproteksi Wilayah Kelola Rakyat untuk Wujudkan Keadilan Ekologi” ini melibatkan dua akademisi dan satu praktisi hukum.

Prof. Dr. Muhammad Aris, M.Si, peneliti sekaligus akademisi Universitas Khairun (Unkhair), memaparkan bahwa saat ini Maluku Utara sudah mengalami kerusakan secara besar-besaran dari kepungan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Jadi kalau mau lihat di Obi, hilangnya mangrove sudah mencapai 99,9 persen dan Halteng terdapat keasaman laut yang meningkat pesat, sehingga sangat rentan sekali mengalami perubahan secara fisik maupun kimia pada wilayah perairan,” papar Aris.

Ia menambahkan, karakteristik pulau-pulau kecil seperti Gebe, Pakal, dan Fao mempunyai sumber daya yang terbatas. Secara signifikan memiliki kerentanan daya rusak yang tinggi akibat lajunya proses ekstraksi pertambangan.

“Wilayah-wilayah yang terdampak ini perlu dijaga, karena mempunyai potensi keberagaman ekosistem dan biodiversity yang paling banyak,” tuturnya.

Dr. Aziz Hasyim, akademisi Ekonomi Unkhair, menjelaskan bahwa produksi aktivitas ekonomi khususnya ekstrasi sumber daya alam akan selalu ada batasan. Kalau dilakukan secara berlebihan, maka akan melahirkan banyak dampak.

“Saya kira yang pastinya ketika ada aktivitas produksi ekonomi atau resource dilakukan secara terus-menerus akan menghasilkan banyak limbah,” ujar Aziz.

Ia menilai, interaksi manusia dan alam bukan pada keadaan ekologi, tetapi pada ketergantungan nilai uang. Sehingga pembangunan ekonomi yang dibangun hanya melihat secara teknis, bukan pada kondisi kultur masyarakat.

“Jadi itu hanya sebuah paradoks. Bahwa hadirnya pertambangan akan melahirkan kesejahteraan semu, dimana ketika pascatambang tidak ada masyarakat yang diberdayakan, malahan dilanda kemiskinan. Terbukti kejadian sekarang ada di Haltim dan Halteng,” ujarnya.

Hendra Kasim, praktisi Hukum menjelaskan, selama ini paradigma konstitusi selalu mengabaikan masalah perlindungan lingkungan. Sehingga negara hanya mengutamakan pada paradigma ekonomi.

“Jadi sebenarnya pasal 33 ayat 3 itu sudah jelas, hanya saja negara terlalu mengutamakan paradigma ekonomi,” tegas Hendra.

Hendra menilai, di balik sistem demokrasi yang memakan biaya yang tinggi, keterlibatan kepentingan para pengusaha pun selalu terlibat dalam hal pembiayaan politik. Sehingga pemberian karpet merah pun secara masif dari pemerintah pusat hingga daerah.

“Maka kita perlu menguatkan agenda advokasi. Selain jalur non litigasi, kita mesti mengawal lewat jalur litigasi. Sehingga mampu memengaruhi kebijakan konstitusional. Karena saya tahu watak pelaku usaha ketika tidak berkaitan dengan hukum, maka mereka akan selalu abaikan dan tidak akan pernah patuh,” pungkasnya.

____

Reporter: Musmaulana

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *