Terik matahari menyelinap masuk di sela-sela karts Gua Bokimaruru, memantul ke sungai bening hijau kebiru-biruan. Hanya gesekan daun, pantulan tetesan air, dan suara burung yang terdengar bersahutan. Sungai indah di Halmahera itu kini dalam pelukan raksasa tambang.

Minggu, 22 September 2024, pekerja PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) terlihat lalu-lalang di jalan utama Desa Sagea dan Kiya, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Dua kampung ini hanya berjarak 9 kilometer dari lokasi industri IWIP.

Sejak perusahaan beroperasi tahun 2018, indekos mulai tumbuh dan banyak ditempati para karyawan di Sagea dan Kiya. Kendati tak seramai Lelilef dan Lukolamo yang lebih dekat dengan IWIP, setiap kali tiba waktu shift, jalan utama ini juga tampak sibuk.

Tak jauh dari Sagea dan Kiya butuh waktu 10-15 menit menggunakan kendaraan untuk sampai ke Gua Bokimaruru atau Gua Batulubang. Dari mulut gua ini, mengalir air bening berwarna hijau kebiru-biruan yang dikenal dengan Sungai Sagea.

Sungai Sagea di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto (Rajif/halmaheranesia)

Koalisi Selamatkan Kampung Sagea mendata, Sagea memiliki kawasan hutan hujan dengan luas mencapai 20.000 hektare. Selain itu, terdapat kawasan karst yang membentang seluas 5.174 hektare, memiliki lorong-lorong dan ruangan gua yang luas, serta terdapat jaringan sungai bawah tanah.

Website Masyarakat Speleologi Indonesia caves.or.id, dituliskan pada 1988 ada laporan berjudul “Batukarst 88”, menyebutkan tim Ekspedisi Speleologi dari Prancis pernah mengukur panjang gua ini mencapai 7.467 kilometer.

Kepercayaan dan cerita warga Sagea dan Kiya menyatakan, kawasan ini adalah warisan leluhur yang harus dirawat agar tetap lestari. Bokimaruru adalah tempat yang sakral dan memiliki riwayat yang masih dipercaya masyarakat lokal hingga saat ini.

Taslim Abd. Hamid (50 tahun), tokoh adat yang juga Penjabat sementara (Pjs) Kepala Desa Kiya, saat ditemui halmaheranesia di rumahnya, Minggu, 22 September 2024 bercerita, Bokimaruru merupakan asal kata dari Bahasa Tidore.

Boki yang berarti putri, sedangkan maruru berarti hanyut atau menghanyutkan, sehingga dapat dimaknai Bokimaruru adalah putri yang menghanyutkan diri.

Taslim menuturkan, dahulu kala ada seorang pemuda bernama Mon Takawai hidup tak jauh dari bantaran Sungai Dagasuli atau sekarang dikenal dengan Sungai Sagea.

Setiap Jumat, ia kerap pergi ke gua. Suatu ketika, Mon Takawai melihat seorang perempuan sedang mandi, lalu menghanyutkan diri di gua tersebut dan mengikuti gerak arus Sungai Dagasuli yang terus mengalir ke hilir. Perempuan itu dikenal dengan nama Sarimadago.

“Dia Mon Takawai berusaha untuk tangkap (Sarimadago) tidak bisa, tidak sempat tangkap, Jumat kedua kasana (ke sana) lagi, dapat lagi putri itu, dia mau tangkap tra (tidak) bisa,” cerita Taslim.

Setiap kali ingin menangkapnya, Sarimadago selalu tahu. Perempuan itu kemudian menghindar, berenang ke dalam gua, lalu menghilang begitu saja.

Mon Takawai segera mengatur siasat dan pergilah dia bertemu dengan Cekel—yang dikenal sebagai moyang orang Lelilef. Mereka berunding bagaimana cara mendapatkan Sarimadago. Mon Takawai dan Cekel membuat perjanjian, siapa yang lebih dulu berhasil menangkap, maka dia yang berhak menikahi Sarimadago.

“Cekel mengikuti sisi kiri sungai, sementara Mon Takawai menyisir perlahan dari sisi kanan,” ungkap Taslim.

Ternyata di sisi kiri terdapat dinding batu yang tinggi dan tak ada jalan untuk sampai ke mulut gua. Namun tidak bagi jalan yang dipilih Mon Takawai. Barangkali karena ia telah lama bermukim di bantaran Sungai Dagasuli, ia akhirnya lebih tahu jalur terbaik untuk menangkap Sarimadago.

Tak lama, terlihat perempuan bak putri mulai menghanyutkan diri dengan posisi wajah ke langit, mengikuti aliran sungai yang dingin nan tenang di belantara hutan Sagea. Dengan sigap, Mon Takawai pun melompat dan menangkapnya. Sarimadago tak bisa berbuat apa-apa karena sudah berada di genggaman Mon Takawai.

Dalam cerita lain, seperti yang dicatat pemuda Sagea, Supriyadi Sudirman atas tuturan Saoda (59 tahun), bahwa asal kata Bokimaruru sebenarnya berasal dari ucapan Mon Takawai kepada istrinya, Sarimadago.

“Istriku yang cantik laksana putri raja, nama gua ini kuberikan untuk mengenang kisah awal pertemuan kita. Aku namakan gua ini dengan sebutan Gua Bokimaruru (gua putri yang menghanyutkan diri),” ucap Mon Takawai.

Cerita kedua pasangan itu terekam kuat dalam memori kolektif orang Sagea dan Kiya. Kendati sampai saat ini belum diketahui jelas asal-usul Sarimadago, mereka percaya Sarimadago dan Mon Takawai adalah penjaga Gua Bokimaruru.

Taslim melanjutkan ceritanya, kawasan Gua Bokimaruru memiliki sejumlah tempat yang disakralkan, di antaranya Batu Susun Kotalo, Pagele Mto Malou, Fanofe, dan kawasan dalam Gua Bokimaruru itu sendiri. Semuanya memiliki riwayat dan memiliki “penjaganya”.

***

Kini, Gua Bokimaruru dikepung industri tambang. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) One Map, terdapat sejumlah Izin Usaha Perusahaan (IUP) di kawasan karst, hulu dari Sungai Segea. Ada PT Weda Bay Nickel (WBN), PT Karunia Sagea Mineral (KSM), PT First Pacific Mining, PT Putra Prima Sejahtera, PT Gamping Mining Indonesia, dan PT Harum Sukses Mining (HSM).

Luas kawasan WBN sebesar 45,065.00 hektare, Karunia Sagea Mineral (KSM) 907.20 hektare, First Pacific Mining 2,080.00 hektare, Putra Prima Sejahtera 1,100.00 hektare, Gamping Mining Indonesia 2,538.62 hektare. Sementara Harum Sukses Mining (HSM) memiliki dua kawasan, dengan masing-masing luasnya adalah 511.00 dan 990.00 hektare.

WBN menjadi satu-satunya raksasa tambang di antara perusahaan tersebut. WBN merupakan tenant atau mitra kerja sama dari IWIP yang mencakup kegiatan pertambangan dan pemurnian. Dari analisis citra, total kawasan yang dikelolanya juga berada di jalur yang sangat berdampak dengan hulu jaringan sungai Gua Bokimaruru.

Analisis citra hubungan antara pembukaan lahan dengan sedimen yang masuk di wilayah hulu Sungai Sagea, Halmahera Tengah. Gambar (Save Sagea)

Jarak jalan hauling atau jalan angkut material WBN ke Gua Bokimaruru sekitar 10 kilometer. Sementara jarak jalan hauling tersebut ke titik sungai masuk jaringan bawah tanah sekitar 6 kilometer. Orang Sagea menyebut lokasi atau titik sungai masuk itu, Tancungelo.

Jarak jalan hauling WBN ke titik lubang sungai bawah tanah yang lain atau dikenal dengan Aer Manona sekitar 7 kilometer. Semua jalan hauling itu terhubung langsung melalui jalur sungai permukaan ke Tancungelo dan Aer Manona.

Pada Juli hingga Oktober 2023, warna Sungai Sagea berubah menjadi merah kecoklatan. Diduga, penyebabnya adalah pembukaan lahan oleh WBN di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea yang merupakan bagian dari jaringan sungai ke Gua Bokimaruru.

Kondisi Sungai Sagea, Halmahera Tengah, pada 12 Agustus 2023. Foto (Adlun Fiqri/Koalisi Save Sagea)

Ketika itu, Koalisi Selamatkan Kampung Sagea menyuarakan keruhnya Sungai Sagea. Mereka menemukan bukti ada pengarahan alat berat untuk eksplorasi di jalan hauling. Saat itu, Ketua Bidang Konservasi, Kampanye dan Advokasi, Masyarakat Speleologi Indonesia, Mirza Ahmad Heviko, menguatkan temuan ini.

“Peningkatan sedimentasi yang cukup tinggi menjadi penyebab utama terjadinya pencemaran, selama Agustus di wilayah hulu kawasan ini terjadi hujan secara terus-menerus,” ucap Mirza, Kamis, 7 September 2023.

Ia yakin pembukaan lahan untuk akses jalan pertambangan menyebabkan air hujan tidak bisa meresap sehingga menjadi aliran run off atau aliran permukaan dan menimbulkan proses pelumpuran.

“Proses pelumpuran itu yang membawa material sedimentasi berupa tanah dan lumpur dalam jumlah yang sangat besar masuk ke dalam sistem Sungai Sagea dan Gua Bokimaruru menjadi tercemar,” ungkapnya.

Warga Sagea dan Kiya sangat sedih dengan Sungai Sagea yang tercemar dan berubah warnanya. Tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk Desa Kiya sebanyak 1094 jiwa, dan Desa Sagea sebanyak 1981 jiwa.

Sejak lama, sebelum industri tambang menancapkan kukunya di tanah Halmahera Tengah, orang-orang Sagea dan Kiya telah menggantungkan hidupnya pada sungai yang dingin nan tenang itu. Sungai Sagea memenuhi kebutuhan air minum, memasak, hingga mencuci.

“Sungai ini sangat berarti dan memiliki makna yang mendalam bagi kami,” ucap Supriyadi.

Ia menuturkan, sungai itu juga menjadi tempat hidup biota yang tak kalah penting, seperti beragam jenis ikan seperti ikan somasi atau kakap hitam, kakap tompel, kerapu tawar, belanak, ikan sumpit, udang, hingga kerang. Namun, warga tak selalu menangkap berbagai fauna ini.

“Pemanfaatan sungai ini lebih untuk air minum, mengolah sagu, hingga ekowisata,” ungkapnya.

Juru Bicara Koalisi Selamatkan Kampung Sagea, Adlun Fiqri, mengibaratkan Sagea seperti tubuh, jika ada salah satu bagian tubuh yang sakit, maka akan mudah terasa demam. Jika Sagea sakit, makai ia pun turut merasakan sakitnya.

“Sagea ini juga kan tong (kami) punya nafas, Sagea ini menjadi tong punya rumah, tong punya tubuh lah, kalau ini kemudian dia rusak atau luka, ini kan tong punya penderitaan yang tong rasa tidak hanya penderitaan fisik, tapi kan penderitaan batin yang berkepanjangan,” ucap Adlun.

Bagi Adlun, menjaga kampung dari ancaman industri tambang artinya menjaga kehidupan manusia serta lingkungan dengan berbagai isinya (biodiversity), mulai dari karst hingga air sungai yang menjadi sumber kehidupan orang Sagea dan Kiya.

Setelah kerap mengalami perubahan warna, pemanfaatan sungai mulai berkurang. Adlun mengaku, sekarang tersisa sekitar 40-an Kepala Keluarga (KK) saja yang memanfaatkannya untuk air minum.

“Perubahan warna sungai membuat orang jadi tako (takut), walaupun dia (sungai) jadi jernih lagi, tapi kan masyarakat membayangkan, waktu dia merah (berubah warna) kan orang takut ada kandungan-kandungan yang tra (tidak) terlihat to,” katanya.

Abdurrahman Jabir (43 tahun) atau akrab dipanggil Om Mano membenarkan pernyataan Adlun. Om Mano adalah satu-satunya orang di sekitar Sagea dan Kiya yang masih memanfaatkan air sungai untuk mengolah sagu, pangan lokal yang sudah lama menjadi penyambung hidup Om Mano dan keluarga.

Sebelum air Sagea menjadi keruh, ia memanfaatkannya untuk mengolah sagu untuk makan sehari-hari dan dijual. “Saya kan bahalo (membuat-mengolah) sagu ini anggap saja kase (kasih) makan masyarakat, kan dorang (mereka) beli pe (punya) saya baru jual,” ucapnya.

Kini, perasaan takut selalu menghampirinya ketika Sungai Sagea sering keruh. Tentu sangat beralasan, karena dari sungai itulah yang membuat dapur Om Mano tetap berasap.

“Perasaan sengsara (saat Sungai Sagea keruh), setengah mati, karena tong pe hidup cuma itu. Karena tong pe makan dan minum, begitu juga untuk kase sekolah anak,” tutur Om Mano, suaranya bergetar, seolah sedang manahan sesuatu dari dadanya.

Ia harus semakin bersabar karena ketika sungai sedang keruh, ia harus menunggu sekitar sepekan lamanya untuk bisa mengolah sagu. “Saya khawatir kalau air sungai kabur. Kalau air kabur ini bukan satu hari jernih. Harus tunggu satu minggu baru dia (sungai) jernih,” tukasnya.

***

Ketika kami berkunjung ke sana, warna Sungai Sagea tampak eksotis, hijau kebiru-biruan. Batuan karst bersusun di sisi kiri dan kanan gua, sesekali terdengar tetesen air dari ujung-ujung karst yang meruncing ke sungai, lalu cahaya matahari yang masuk, memantul di atas permukaan air. Suara burung yang bersahutan membuat suasana makin syahdu.

Gua Bokimaruru, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto (Rajif/halmaheranesia)

Di dalam gua, suasana gelap, gemuruh kelelawar pun terdengar jelas. Saat mamalia bersayap itu tenang, lorong Gua Bokimaruru ini menjadi begitu senyap.

Sementara di bantaran sungainya, berdiri warung-warung kecil milik warga. Sehari-hari mereka berjualan seperti pisang goreng, mie instan, teh, hingga kopi. Perahu pedal dan perahu tempel juga disewakan. Dari tempat itulah, mereka dapat terus menyambung hidup.

Namun, sehari setelah kami di sana, warna sungai kembali berubah merah kecoklatan meski tak ada hujan di kampung. Diduga hujan besar terjadi di kawasan hutan Sagea, dan aktivitas pertambangan masih berlangsung di wilayah hulu.

Pada 23 Oktober 2024, Manajer Komunikasi Weda Bay Project, Setya Yudha mengatakan WBN tidak membuka lahan untuk penambangan di hulu kawasan Bokimaruru. Pihaknya bahkan mengaku rutin melaksanakan investigasi mengenai dugaan tersebut.

“Investigasi internal yang dilakukan meliputi penelusuran sungai, pengambilan sampel, serta pengukuran debit sungai,” ucap Setya.

Selain itu, WBN juga mendukung studi yang dilakukan oleh pihak eksternal, baik di lingkup Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, hingga kementerian, serta melibatkan lembaga uji independen yang sudah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional.

“Studi tersebut menunjukkan hasil bahwa kondisi Sungai Sagea memenuhi baku mutu atau aman digunakan,” ungkapnya.

Kehadiran tambang tidak hanya berdampak pada Sungai Sagea, tapi juga mengancam warisan geologi atau karts yang berada di Gua Baokimaruru. Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Provinsi Maluku Utara, Deddy Arief, mengatakan hasil pemetaan eksokarst dan endokarst Bokimaruru sangat potensial, karena memiliki ornamen gua yang sangat jernih, punya nilai edukasi serta nilai saintis yang tinggi.

“Begitupun juga dengan eksokarstnya yang sangat luas dan sangat terkoneksi antara gua yang satu dengan gua yang lain selain Bokimaruru,” ucap Deddy.

Ia menjelaskan, proses penambangan di luar atau di hulu Bokimaruru tentu akan berpengaruh pada perubahan iklim secara lokal yang akan berpengaruh pada perkembangan ornamen-ornamen gua.

“Ketika lingkungan di luar hancur, rusak, tidak terjaga lagi otomatis perkembangan ornamen guanya pun ikut tidak berkembang, dan ada pencemaran air tanah. Harus dibarengi dengan hasil analisis kimia. Ancaman ini akan nyata jika tidak dikelola dari sekarang,” papar Deddy.

Sejak tahun 2019, IAGI sudah melakukan pemetaan di Gua Bokimaruru. IAGI dan pemerintah daerah mengusulkan Bokimaruru sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).

“IAGI pun mengusulkan warisan geologi Halmahera Tengah, salah satunya adalah Bokimaruru,” tuturnya.

Hingga saat ini belum ada penetapan sebagai KBAK atau warisan geologi. Namun Deddy melihat ada keseriusan dari pemerintah daerah lewat dinas pariwisata dalam mengawal rencana ini.

Pj Gubernur Maluku Utara, Samsuddin A. Kadir, saat dihubungi pada 23 Oktober 2024 melalui aplikasi pesan singkat belum memberikan respons. Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya, saat dihubungi pada 31 Oktober 2024 juga belum memberikan respons meski pesan yang dikirim kepadanya sudah centang biru yang berarti telah dibaca.

Sampai saat ini, pemuda Sagea dan Kiya terus menjaga kawasan tersebut. Mereka rutin melakukan diskusi hingga unjuk rasa menolak kehadiran tambang di kampung mereka.

Dalam sebuah diskusi, yang dibuat oleh Fakawele Project, Simpul Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, dan Ikatan Pelajar Mahasiswa (IPMA) Sagea pada Minggu, 30 Agustus 2024, Fitria Salim, seorang perempuan asal Sagea, mengungkapkan kehidupan masyarakat mengalami perubahan signifikan dengan hadirnya tambang.

Ia mengatakan sebelum tambang datang, mayoritas penduduk bergantung pada pertanian dan perikanan, tetapi kini banyak yang beralih menjadi buruh tambang. Ini berdampak pada hilangnya sumber pendapatan tradisional, seperti hasil kebun yang dulunya mendukung pendidikan anak-anak.

Sama seperti cerita Adlun, Fitria mengaku, masyarakat sangat bergantung pada Sungai Sagea untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk air minum. Bahkan program BUMDes untuk menjadikan air sungai sebagai sumber air minum pun terhenti karena kualitas air yang buruk.

Ia mengungkapkan, dampak pencemaran ini tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga oleh perempuan yang memiliki kedekatan dengan alam. Banyak perempuan melakukan aksi protes karena sungai yang keruh mengancam mata pencaharian mereka.

“Secara keseluruhan, kehadiran tambang telah menyebabkan krisis lingkungan dan sosial yang signifikan bagi masyarakat Sagea dan Kiya,” tuturnya.

Bagi Fitria, Supriyadi, maupun Adlun, kawasan Bokimaruru harus terus dilindungi dan tak boleh ada yang merusaknya. Mereka yakin dengan kepercayaan lokal warisan para tetua dahulu yang terus hidup di kalangan orang Sagea dan Kiya, “Tejaga re tpalihara pnuw re boten nte fafie,” artinya para leluhur menitipkan agar menjaga dan memelihara tanah dan kampung sebaik-baiknya. (*)

____

Liputan ini merupakan kerja sama AJI Indonesia, Kurawal Foundation, dan independen.id.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *