Halmaheranesia – Saat senja mulai menyapa Kota Ternate, aktivitas Pasar Gamalama justru semakin ramai. Jalanan dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang, sebagian berhenti sejenak untuk membeli dagangan para penjual di sisi trotoar.

Di tengah keramaian itu, seorang perempuan paruh baya tampak sibuk dengan daun-daun pandan di hadapannya.

Taiba Hi Hasan (56 tahun), dengan sabar memotong daun-daun pandan yang tersusun rapi. Payung kecil menjadi satu-satunya pelindung dari teriknya matahari atau hujan yang mungkin tiba-tiba datang.

Taiba sesekali melepas senyum tipisnya dan dengan suara ramah, ia menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang lewat.

Iba, sapaan akrabnya, telah berjualan daun pandan di trotoar Pasar Gamalama selama 15 tahun terakhir. Daun pandan itu bukan barang dagangan biasa baginya, melainkan sumber utama penghidupan. Dari hasil jualan inilah, ia memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Ini dipotong kecil-kecil supaya bisa dimasukkan ke kantong plastik. Harganya beda-beda, tergantung ukuran kantongnya. Ada yang dijual dengan harga Rp 10 ribu – Rp 20 ribu,” ujarnya saat ditemui halmaheranesia pada Minggu, 1 Desember 2024.

Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar terbit, Iba sudah bersiap. Ia tiba di pasar pukul 04.00 WIT, berjuang untuk mendapatkan tempat di trotoar yang sempit. Lokasi ini menjadi rebutan banyak pedagang kecil. Jika datang terlambat, ia harus rela kehilangan tempat untuk berjualan.

“Kami harus datang pagi-pagi sekali. Kalau tidak, tempatnya sudah diambil orang lain,” katanya.

Daun pandan yang ia jual dibelinya di Kelurahan Gambesi, sekitar 10 kilometer dari tempatnya berjualan. Satu ikatan daun pandan ia beli seharga Rp 200 ribu. Butuh waktu tiga hari untuk menghabiskan stok tersebut, dengan pendapatan harian yang sangat bervariasi.

“Kalau sedang ramai, bisa dapat Rp 300 ribu sehari. Tapi biasanya hanya sekitar Rp 100 ribu, tergantung pembeli,” ungkapnya.

Di balik kesibukannya sebagai pedagang, Iba menyimpan kisah hidup yang penuh perjuangan. Suaminya telah lama meninggal dunia karena sakit. Tak lama setelah itu, anak laki-lakinya yang masih kecil juga meninggal dunia.

Kini, ia tinggal bersama putri satu-satunya yang sudah menikah.

“Sekarang tinggal saya dan anak perempuan. Kami tinggal bersama,” tuturnya.

Di usianya yang tak lagi muda, menjual daun pandan adalah pekerjaan terbaik yang bisa dilakukannya.

“Selama masih bisa bekerja, saya akan terus jualan. Ini pekerjaan sederhana yang bisa saya buat,” katanya dengan nada tegas.

Perjuangan Iba tak selalu mulus. Setiap pagi, petugas dari Dinas Perhubungan Kota Ternate rutin melakukan penertiban terhadap pedagang yang berjualan di trotoar.

Iba, bersama beberapa pedagang kecil lainnya harus menghadapi tekanan ini dengan beragam cara.

“Kalau tidak jualan di trotoar, siapa yang mau beli? Apalagi hanya jual daun pandan. Kami harus tetap bertahan di sini,” ujarnya.

Meski sering ditertibkan, ia tetap membayar retribusi harian sebesar Rp 7 ribu kepada petugas. Biaya itu mencakup kebersihan dan izin berjualan. Baginya, selama masih diperbolehkan berjualan, retribusi itu bukan masalah besar.

“Yang penting kami masih bisa jualan di sini, walaupun tempatnya sempit,” katanya.

Iba adalah salah satu dari banyak pedagang kecil di Pasar Gamalama yang terus berjuang di tengah kerasnya hidup. Baginya, menjual daun pandan bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga menjaga martabat sebagai ibu yang ingin tetap mandiri.

“Tidak perlu keuntungan besar. Cukup untuk makan sehari-hari, saya sudah bersyukur,” ujarnya dengan senyum tipis.

Setiap lembar daun pandan yang ia jual adalah simbol perjuangan. Setiap potongan daun yang dimasukkan ke kantong plastik adalah harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

Di tengah hiruk-pikuk pasar, Iba terus berjuang, menjadi potret keteguhan hati seorang perempuan yang tak menyerah pada keadaan.

Di Pasar Gamalama, daun pandan bukan sekadar dagangan. Di tangan Iba, ia menjelma menjadi kisah tentang kerja keras, ketabahan, dan harapan.

“Mudah-mudahan, kita semua tetap sehat, soal rezeki, banyak atau tidaknya yang penting berkah,” pungkas Iba.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *