
Halmaheranesia – Perempuan Pesisir Halmahera pada Sabtu malam, 26 Oktober 2024 menggelar diskusi dengan tema ‘Ruang Hidup’. Diskuksi digelar di Kedai Woekla, Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.
Diskusi ini merupakan kolaborasi dari Jurnalis Rakyat Maluku Utara, Tempo Witness, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Walhi Maluku Utara, Save Sagea, Fakawele, dan Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera.

Koordinator Perempuan Pesisir Halmahera, Rifya Rusdi, mengatakan tema ini untuk mengingatkan tentang pentingnya menjaga ruang hidup sebagai satu kesatuan antara manusia sebagai makhluk hidup dengan alam.
“Beberapa tahun belakangan terjadi polusi udara yang membahayakan bagi masyarakat terutama perempuan dan anak akibat aktivitas pertambangan maupun pabrik pengolahan bijih nikel yang berada di dekat sana,” ucap Rifya.
Belum lagi, kata dia, Sungai Sagea menjadi sangat keruh tak biasanya. Keruhnya sungai ini akibat eksploitasi kawasan hutan di hulu sungai oleh aktivitas pertambangan.
Selain diskusi publik, juga diadakan pameran foto tentang kehidupan sosial masyarakat, pameran foto ini lebih berfokus kepada kehidupan dan keseharian masyarakat Sagea yang terdampak langsung pada Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Hilirisasi Nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang ditetapkan Joko Widodo.
“Dalam rangkaian diskusi dan pameran foto ini, kami juga memperkenalkan komunitas perempuan yang diberi nama Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera,” ungkap Rifya Rusdi.
Ia menjelaskan, komunitas ini sebagai wadah pendidikan karakter dan kepemimpinan bagi perempuan yang rentan menghadapi ancaman PSN oleh negara. Banyaknya angka putus sekolah maupun pernikahan dini menjadi salah satu latar belakang dan konsen dari komunitas ini dibentuk.
“Pada tahun 2018 semenjak PT. IWIP beroperasi, masyarakat merasakan dampak yang signifikan misalnya dalam ruang publik bagi perempuan yang telah hilang. Selain itu masyarakat menilai pengabaian suara-suara perempuan dalam pengambil keputusan kerap terjadi dan dianggap normal,” jelasnya.
Padahal, bagi Rifya perempuan merupakan yang paling rentan dalam menghadapi situasi serta dampak yang ditimbulkan dari proyek industri tersebut.
“Perempuan Pesisir Halmahera hadir karena proses ketidakadilan ruang hidup gender dan ekologi yang tidak berpihak pada isu-isu perempuan tentang masa depan dan ketidakadilan HAM,” pungkasnya.