Konflik bertahun-tahun yang belum selesai di wilayah tapal batas di enam desa di Maluku Utara, khususnya di Desa Akelamo, membayangi hajatan politik Pilkada 2024. Masyarakat khawatir masalah laten ini akan muncul ke permukaan karena dipolitisasi demi kepentingan meraup suara.
Desa Akelamo, yang terpecah menjadi dua wilayah administrasi, yaitu Halmahera Barat dan Halmahera Utara, menjadi pusat konflik yang berlangsung sejak lama.
Meskipun desa tersebut tampak aman-aman saja, namun terlihat berbeda saat mendengar cerita dari warga di sana.
Auliya M. Djae, salah seorang penduduk Desa Akelamo Cinga-Cinga, Halmahera Barat menjelaskan bahwa konflik ini telah lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Namun sering kali muncul ketika ada peristiwa politik.
“Konflik ini sengaja dipelihara oleh pemerintah yang punya kepentingan. Imbasnya warga yang bermusuhan,” ucap Auliya saat ditemui di rumahnya di sore hari pada pertengahan Agustus 2024 lalu.
Auliya menceritakan bagaimana desa ini terpecah secara administrasi menjadi Akelamo Cinga-Cinga di Halmahera Barat dan Akelamo Kao di Halmahera Utara.
Dia juga mengungkapkan bahwa masalah ini diperburuk oleh pemilih ganda yang terjadi selama Pemilihan Legislatif pada 14 Februari 2024.
Banyak warga memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda, yang menyebabkan kebingungan dan ketidakadilan dalam proses pemilihan.
Konflik ini juga dipicu oleh kepentingan politik lokal. Auliya percaya bahwa pejabat politik di kedua kabupaten sengaja memelihara ketegangan ini untuk kepentingan mereka sendiri.
Auliya mengungkapkan banyak warga memiliki KTP dari dua kabupaten yang memicu kecurangan saat pemilu.
“Ada yang ber-KTP ganda. Misalnya, saya masuk warga Halmahera Barat tapi juga bisa memilih di Halmahera Utara, karena saya punya dua KTP,” jelasnya.
Konflik enam desa yakni Tetewang, Pasir Putih, Akelamo Kao, Bobaneigo, Gamsungi dan Dum-Dum ini berawal dari kekuasaan Presiden B.J. Habibie.
Saat berkuasa, Habibie menetapkan status hukum desa-desa tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penetapan Beberapa Kecamatan di Wilayah Daerah Tingkat II Maluku Utara dalam Daerah Wilayah Tingkat I Maluku.
Kemudian menyusul Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 60 Tahun 2019 tentang batas daerah.
Peraturan ini menjadi sumber perselisihan yang belum terselesaikan hingga saat ini antara dua desa tersebut.
Dia meyakini, tidak ada konflik tanah yang berlarut dan meluas tanpa kepentingan politik tertentu.
Soalnya, kepentingan politik di wilayah konflik enam desa, khususnya Akelamo, adalah kepentingan politik lokal.
“Ketidakpastian mengenai batas wilayah ini memicu ketegangan yang meningkat saat momentum politik, seperti Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),” tuturnya.
Ia juga mencatat bahwa konflik ini dipicu oleh kehadiran perusahaan tambang emas NHM yang beroperasi di Halmahera Utara.
Perusahaan ini sering memberikan dana CSR kepada warga di sekitar tambang, termasuk di Akelamo Kao.
Kehadiran NHM singkatan dari Nusa Halmahera Mineral perusahaan tambang emas ini berawal dari usaha bersama perusahan pertambangan Australia Newcrest dan salah satu pertambangan miliki BUMN PT, Aneka Tambang Tbk ada 1994.
Saham Newcrest ini kemudian diambil alih oleh PT Indotan Halmahera Bangkit, yang menjadi pemegang saham mayoritas pada 2020.
Auliya yang warga Halmahera Barat lainnya kesal, perusahan tambang hanya memberikan dana CSR ke desa-desa yang masuk wilayah lingkar tambang Halmahera Utara. Sementara desa yang awalnya masuk di Jailolo Timur diabaikan.
“Tambang juga menjadi pemicu. Orang-orang Halmahera Barat merasa ada ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahan. Kesannya, mereka pilih kasih. Hanya orang Halmahera utara saja yang diperhatikan tambang,” sambungnya.
Sementara itu, Manager CSR PT Nusa Halmahera Minerals, Rustam Munawar saat dihubungi via telepon pukul 14:30 WIT pada Senin, 30 September 2024 belum memberikan respons apapun.
Hal yang sama juga ketika dikonfirmasi Koordinator CSR konflik 6 desa, Burhanudin Andi Syam juga tidak memberikan respons baik.
Upaya konfirmasi ini dilakukan bersifat via telepon dan melalui aplikasi WhatsApp. Hal ini karena jangkauan Halmahera Utara dan NHM begitu jauh untuk ditempuh tim kolaborasi.
Sukardi Bay, seorang warga di Desa Akelamo Kao, mengungkapkan bahwa ketegangan antara warga di Desa Akelamo Kao dan wilayah sekitarnya sering kali dipicu oleh kunjungan pejabat dari Halmahera Utara atau Halmahera Barat.
Meski dalam kehidupan sehari-hari interaksi antara warga dari kedua wilayah ini cukup baik dan saling membantu, ketegangan politik yang ada acapkali menimbulkan konflik.
Sukardi menyebutkan bahwa perbedaan fisik, seperti adanya pagar di rumah-rumah di Halmahera Utara dan ketiadaan pagar di Halmahera Barat, menjadi simbol perpecahan yang mencolok.
Konflik, seperti insiden pada 2007 yang menyebabkan kerusakan dan korban luka, sering kali terjadi saat pejabat dari salah satu kabupaten mengunjungi desa tersebut.
“Warga di Halmahera Utara merasa pemerintah tidak peduli dengan masalah ini, sementara warga Halmahera Barat cenderung menghindari kunjungan pejabat dari Halmahera Utara untuk menghindari potensi konflik,” jelas Sukardi.
Konflik ini mencerminkan dampak negatif ketegangan politik dan administrasi terhadap hubungan antardesa dan kehidupan sehari-hari warga.
Penyelesaian konflik ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pihak terkait untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Sukardi, yang kala itu masih mahasiswa, mengungkapkan bahwa mahasiswa di wilayah tersebut pun telah berusaha untuk mencari solusi melalui protes kepada pemerintah kabupaten dan pusat dari 2019 hingga 2021.
Meskipun ada upaya untuk bertemu dengan Menteri Dalam Negeri di Jakarta, hasilnya tetap tidak memuaskan.
“Demo berulang kali, tapi tidak ada perubahan. Menteri dalam negeri hanya turun sekali dan membuat batas wilayah, tapi itu tidak sesuai dengan keinginan masyarakat dan bertentangan dengan sejarah desa,” ujarnya.
Bahkan, kejadian pada tahun 2022, mahasiswa dari salah satu kampus di Ternate yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Halmahera Utara terpaksa pulang karena penolakan dari warga Halmahera Barat.
Kecemburuan seperti ini sering kali terjadi hingga pada momentum politik.
“Kecemburuan warga Halmahera Barat sangat tinggi, dan mereka menginginkan mahasiswa juga ditempatkan di desa mereka waktu itu. Jika KKN diteruskan, akan terjadi kekacauan besar antara dua desa ini,” tambah Sukardi.
Ia mengaku kesulitan saat pihak penyelenggara melakukan pendataan atau pantarlih. Banyak nama yang ganda.
Nama-nama yang ganda itu telah diinisiasi oleh dua penyelenggara agar memasukkan nama tersebut ke salah satu kabupaten, walau belum membuat surat domisili pindah.
Dari data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Halmahera Utara sebanyak sebanyak 300 lebih, sementara desa yang di Halmahera Barat sebanyak 600 lebih.
Biasanya warga dengan seenaknya masuk wilayah manapun tanpa ada pertimbangan apapun.
“Terserah warga mau ingin masuk daerah mana. Suka-suka mereka. Tidak ada yang melarang. Bahkan kalau di desa ada bantuan di Halmahera Utara, pasti akan ada yang memilih pindah untuk dapat bantuan. Begitupun sebaliknya,” tambahnya.
Sukardi mengungkapkan kejadian pindah penduduk itu juga terjadi di keluarganya.
Ia bilang, adik kandung yang sebelumnya masuk warga Desa Akelamo Kao lantaran belum menikah. Tapi karena sudah menikah dengan warga Akelamo Cinga-Cinga Halmahera Barat, ia memilih memindahkan data penduduknya.
“Saya dengan adik saya itu dulu satu desa. Sekarang, saya dan orang tua masih di Halmahera Utara, sedangkan dia sudah pindah,” katanya lagi.
Konflik Desa Akelamo Kao dan Cinga-Cinga hingga kini tak pernah surut. Sesekali muncul karena dilatari masalah kepentingan politik, dan sesekali menghilang seperti terkesan tidak ada konflik apapun.
Warga sekitar juga saling acuh. Membiarkan konflik mengalir begitu saja tanpa ada kesepakatan hukum apapun.
“Kita sudah terbiasa dengan konflik. Sudah seringkali. Sudah menjadi makanan sehari-hari kalau ada keributan,” bebernya.
Imammudin Ayub, warga Akelamo yang kini memilih tinggal di Kota Ternate, saat ditemui menjelaskan banyak hal, mulai dari sejarah konflik hingga kecurangan pemilu yang masif di wilayah konflik tapal batas enam desa.
Ia membeberkan bahwa Desa Akelamo terpecah akibat kebijakan pemerintah yang mengeluarkan peraturan yang membingungkan warga.
Kebingungan itu membawa petaka, termasuk konflik yang dipelihara.
Akelamo adalah desa tertua di antara banyak desa yang terlibat konflik karena tapal batas.
Namun, masih banyak kekurangan, termasuk kurangnya keseriusan pemerintah desa dalam mengurus wilayah teritorial desa ini. Pembangunan yang tak berjalan dan sumber daya manusia yang mumpuni pun tidak dimanfaatkan.
Justru, mereka yang memahami situasi malah terlibat dalam mengatur konflik.
“Saya sesekali kesal kalau sudah berada di sini. Melihat oknum-oknum yang terbiasa membuat konflik ini muncul lagi. Apalagi di waktu pemilihan. Pemilihan apa saja pasti kacau. Warga saling serang dan tidak ada penyelesaian,” tuturnya.
Im, sapaan akrabnya, berinisiatif menggunakan biaya sendiri untuk membuat monografi desa. Ia rela mendatangi teman-temannya yang ahli di bidang pemetaan untuk membuat peta Desa Akelamo.
Meski begitu, peta tersebut tidak disebarkan, apalagi diberikan kepada pemerintah desa.
“Itu inisiatif sendiri. Saya kasihan sama warga. Kenapa desa sebesar ini tidak punya peta wilayah? Pemerintah juga tidak punya itikad untuk membuatnya. Jadi saya buat sendiri. Dan ini wilayah yang terjadi di desa,” sebutnya.
Ia menambahkan bahwa peraturan pemerintah terkait batas wilayah tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat.
Keputusan itu diambil tanpa sepengetahuan warga, dan tiba-tiba satu desa terpisah menjadi dua, yang kemudian terdengar oleh warga setempat.
Akibatnya, warga dengan pasrah menerima keputusan itu, dan konflik bermunculan antarwarga di desa.
“Itu keputusan orang-orang di Jakarta. Kita tidak dilibatkan. Bahkan semua warga tidak tahu soal putusan itu. Kan pembagian wilayah tidak ada urusannya dengan masyarakat. Jadi dibuat saja,” jelasnya.
Desa Akelamo, menurutnya, berasal dari warga Ternate dan Jailolo. Sejarah asal-usulnya dari sana. Kemudian, desa itu terpecah dan konflik terjadi karena ada sebagian warga yang bergabung dengan Halmahera Utara.
Konflik, kata dia, sering muncul pada saat momentum politik. Kepentingan-kepentingan para pejabat yang memainkan irama konflik dan melibatkan warga menjadi sangat dominan. Namun tidak menyurutkan silaturahmi mereka.
“Di sini, konflik hanya saat momentum politik dan kunjungan pejabat. Kalau itu tidak ada, warga di sini baik-baik saja. Mereka menjalankan hari-hari mereka seperti tidak ada konflik. Sangat ramah dan terjaga,” terangnya.
Ia mengaku, pemilih ganda dan kecurangan pemilu terbesar di Desa Akelamo terjadi pada Pilkada 2019 lalu.
Saat itu, warga yang masuk Desa Akelamo Cinga-Cinga pertama kali menyalurkan hak pilihnya, setelah pada momentum sebelumnya tidak memilih.
Jumlah pilih yang simpang siur dan kurangnya pengawasan pada jalannya pilkada membuat TPS di wilayah itu tak terkontrol. Hasilnya, terjadi Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk TPS di desa tersebut.
“Tahun itu, pertama kali warga Halmahera Barat memilih. Selama ini tidak pernah memilih alias golput. Kemudian untuk Pileg baru pertama kali juga di 2024 kemarin,” ucapnya.
Saat pileg itu ada warga Halmahera Barat yang masuk ke wilayah di Halmahera Utara. Kepala desa setempat meminta yang bersangkutan pulang dan tidak ikut memilih. Hal-hal seperti itu yang akan memicu pertengkaran dan bisa sampai terjadi PSU.
Ia mengungkapkan, kekacauan ini sering terjadi, karena sebelum warga Halmahera Barat memilih, semua data mereka masih tercatat di Halmahera Utara. Barulah setelah pilkada dipindahkan.
Anehnya, sudah ada data yang dipindahkan, tapi NIK KTP milik warga Halbar tidak terbaca dan tetep tercatat di Halmahera Utara.
“Nanti di tahun 2021, nomenklatur Halbar keluar dan semua data warga terbaca di DPT Halmahera Barat,” ujarnya.
Im yang juga S2 Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu juga menambahkan, enam desa wilayah konflik termasuk Desa Akelamo awalnya secara administrasi dan sebelum negara mengeluarkan nomor desa.
Desa-desa terhimpun di Kecamatan Jailolo Timur, Halmahera Barat. Namun, setelah nomor desa keluar, kecamatan ini telah hilang.
Jailolo Timur saat ini tidak lagi tercatat secara administrasi di Halmahera Barat, sebab empat desa dari enam desa yang konflik sudah memiliki nomor desa dan bergabung ke Kecamatan Jailolo Selatan, sementara Desa Akelamo masuk Kecamatan Kao Teluk, Halmahera Utara.
“Jailolo Timur sudah hilang, sejak tahun 2020-an. Padahal sudah dibangun kantor kecamatan juga di sini,” bebernya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku Utara, Mohtar Alting mengatakan, pemilihan di wilayah konflik tapal batas di enam desa pada 2019 lalu cukup menjadi pengalaman penting bagi penyelenggara pemilu.
Bagi dia, di tahun itu pilkada diselenggarakan tidak secara serentak. Namun potret selanjutnya pada pilkada serentak 2020, khusunya Halmahera Barat dan Halmahera Utara mesti menjadi sangat penting untuk dikawal secara ketat.
Di pilkada serentak 2024 untuk potensi bermasalah pada pemilihan, terlihat mulai berkurang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sebab, pemilihan serentak membuat pemicu konfik antarwarga mulai turun. Karena sama-sama di waktu bersamaan berfokus menjalankan pilkada.
“Itu satu sisi yang kemudian meminimalisir permasalahan kecurangan dan konflik saat pilkada,” tambahnya.
Ia mengatakan, untuk Halmahera Barat salah satu dampaknya adalah evakuasi warga saat erupsi Gunung Ibu yang bersamaan dengan jalannya pileg.
Warga dievakuasi di beberapa desa, termasuk Desa Akelamo Cinga-Cinga, Halmahera Barat.
Soal ketimpangan data dan KTP ganda, menurut dia, KPU memiliki cara atau tools tersendiri untuk mengecek data ganda. Bahkan pihaknya dapat mendeteksi NIK dan KTP ganda.
Meskipun demikian, masalah ini bisa diatasi lebih dini.
“Mestinya, warga yang sudah mengajukan data untuk pindah ke wilayah lain, seharusnya data kependudukan itu sudah hilang. Tapi sekarang masih ada. Artinya ini bukan kesalahan penyelenggara, tapi kesalahan pihak lain. Akhirnya membuat kita bekerja secara ekstra,” tuturnya.
Jika data ganda ini dimanfaatkan oleh elit politik yang berkepentingan, KPU di penghujung pemilihan nanti akan memperketat pengawasan di tingkat kecamatan hingga desa. Ini akan dilakukan bersama Bawaslu.
“Di wilayah konflik, biasanya politikus memanfaatkan data pemilih ganda di dua tempat. Artinya satu orang bisa memilih di dua tempat yang berbeda. Proteksi KPU itu sampai pada ketika menjelang hari pemungutan suara, petugas penyelenggara akan tetap mengecek undangan bagi pemilih,” tuturnya.
KPU akan mengantisipasi agar jangan sampai undangan atau pemberitahuan itu diberikan kepada pemilih yang jumlahnya dari satu.
“Itu yang kami antisipasi. Tapi kalau kita bicara hari ini. Saat ini kan masih proses, sekarang Daftar Pemilih Sementara (DPS) selanjutnya Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) dan di penghunjung ada penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT),” ungkapnya.
Untuk mengantisipasi kecurangan, data pemilih dan KTP ganda, pihaknya tetap akan mengeceknya. Ini penting sebagai upaya meminimalisir agar tidak terjadi konflik.
“Untuk konflik di Akelamo, kita tetap akan melakukan pengawasan secara ketat. Semua penyelenggara di daerah itu akan selalu diminta untuk diawasi. Kami punya pengalaman soal masalah ini. Dan itu akan menjadi fokus kami untuk pengawasan,” tegasnya.
Ketua Bawaslu Maluku Utara, Masita Nawawi Gani mengaku telah menegaskan kepada penyelenggara Bawaslu di dua kabupaten yang berkonflik untuk mengidentifikasi potensi data pemilih yang bermasalah. Prinsipnya, masalah ini harus ada kerja sama yang intensif antara KPU dan Bawaslu.
“Sehingga bisa fokus dalam melakukan identifikasi kan. Nah, ketika identifikasi ini berhasil dan bisa ditemukan akar masalahnya, maka secepatnya dilakukan perbaikan. Dan yang melakukan perbaikan itu melalui Bawaslu kabupaten, kemudian panwas kecamatan dan PKD,” jelasnya.
Bawaslu sejauh ini sudah bekerja maksimal membersihkan data ganda di wilayah konflik ini.
Misalnya, jika warga tersebut adalah penduduk Halmahera Utara dan kemudian tercatat di Halmahera Barat, maka harus dikembalikan. Begitu pun sebaliknya.
“Kita ada langkah-langkah pencegahan untuk memastikan bahwa data pemilih itu benar-benar valid dan bebas dari masalah,” jelasnya.
Ia menekankan kepada jajaran penyelenggara Bawaslu di tingkat kabupaten sampai desa supaya fokus dalam melakukan pengawasan dan pencegahan dalam tahapan pemutahiran data pemilih.
“Sehingga, ketika ada temuan indikasi yang berpotensi adanya pelanggaran dan kecurangan, seperti adanya data pemilih yang bermasalah, harus segera dibersihkan dengan cara menyampaikan saran perbaikan ke KPU beserta jajaran. Dan kepada masyarakat juga, diharapkan agar ada pro aktif jika melihat ada indikasi kecurangan, bisa dilaporkan,” tegasnya.
Akademisi Universitas Khairun Ternate, Abdul Kadir Bubu, menyampaikan bahwa Permendagri Nomor 60 Tahun 2019 hanya menguraikan masalah di wilayah konflik antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat.
Seharusnya, dengan adanya Permendagri, masalah tapal batas sudah harus jelas, terutama untuk memastikan masyarakat di enam desa tersebut memilih di wilayah yang tepat.
“Itu poin pentingnya. Dengan adanya Permendagri, kita berharap ada titik terang. Apalagi, pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat bertanggung jawab berkoordinasi dengan sektor penting, terutama KPU dan Bawaslu,” tegasnya.
Namun, Permendagri yang dikeluarkan sejak 2019 tampaknya tidak berlaku jelas dan menimbulkan masalah.
Ini berpotensi menyebabkan politisasi di masyarakat, bahkan untuk isu dan masalah kecil sekalipun. Ia menyebutkan kemungkinan bahwa Permendagri tidak disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama kepada KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilihan mendatang.
“Itu patut dipertanyakan. Jika sosialisasinya tidak sampai ke masyarakat, maka konflik pasti akan tetap terjadi,” jelasnya.
Dia menguraikan bahwa konflik dapat terjadi saat pemilihan kepala daerah (bupati), meskipun pemilihan gubernur tidak menimbulkan masalah besar. Potensi pemilihan ganda di TPS yang berbeda menjadi sumber konflik yang harus diwaspadai.
Bubu menambahkan bahwa pemangku kepentingan, terutama Bawaslu, KPU, dan instansi pemerintah setempat, harus segera menyelesaikan persoalan konflik ini agar tidak menghambat proses demokrasi ke depan, terutama dampaknya bagi warga.
Terkait data ganda, Bubu mengingatkan bahwa penggunaan identitas tunggal, seperti KTP, dapat mengatasi masalah data ganda. Namun, jika tidak diselesaikan, konflik akan tetap muncul.
Ia juga mengakui bahwa politisi mungkin akan memanfaatkan konflik ini untuk kepentingan politik mereka, bahkan dengan adanya regulasi yang jelas seperti Permendagri.
“Satu jiwa memilih di dua TPS saja sudah jadi masalah. Bagaimana dengan banyak orang? Itu pemicunya. Contohnya, tinta untuk penanda saat memilih bisa saja dihapus, dan masih banyak titik lain yang bisa dimanfaatkan,” sebutnya.
Dia meminta pemerintah provinsi dan kabupaten serta pihak penyelenggara untuk segera menjalankan Permendagri dengan baik dan melakukan pengawasan ketat.
Sehingga, konflik warga akibat pilkada bisa saja meredah.
“Lembaga-lembaga pengawasan, seperti Desk Pilkada, harus berkoordinasi intens di dua kabupaten ini untuk menghindari konflik,” pungkasnya.
_____
Artikel ini dibuat dalam kerangka proyek Perdamaian Media Sosial 4 UNESCO, yang didanai oleh Uni Eropa. Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis saja dan tidak mewakili pandangan UNESCO atau Uni Eropa