Halmaheranesia – Ketika malam kelam menghampiri dan air bah tiba-tiba menerjang Kelurahan Rua, Kecamatan Ternate Pulau, Kota Ternate, kehidupan ratusan warga berubah dalam sekejap.
Rumah-rumah yang dulu nyaman dan penuh kenangan, kini hanya menyisakan puing-puing. Namun, di balik kerusakan fisik yang begitu nyata, ada luka yang tak kasat mata. Trauma yang mendalam ikut dirasakan oleh anak-anak.
Iki Ruka, seorang relawan dari Tim Sinergi TCS, mengisahkan betapa traumatis nya peristiwa ini bagi anak-anak.
Ia mengatakan, banjir bandang ini tidak hanya menyebabkan kerugian material, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi para korban, terutama anak-anak. Mereka ketakutan, kehilangan rumah, dan merasa cemas tentang masa depan.
“Ketakutan akan air yang tiba-tiba datang dengan deras, kehilangan rumah, dan ketidakpastian tentang masa depan membuat mereka merasa cemas dan tidak aman,” kata Iki saat ditemui halmaheranesia, Jumat, 30 Agustus 2024.
Iki mengaku, melihat kondisi psikologis yang memprihatinkan, para relawan dari berbagai organisasi sosial segera mengambil tindakan.
Mereka berinisiatif mengadakan program trauma healing di lokasi pengungsian. Tujuannya mengembalikan senyum dan rasa aman kepada anak-anak yang trauma.
“Tidak terpikirkan oleh anak-anak yang pastinya. Karena pada Minggu lalu, mereka masih di rumah, beraktivitas seperti biasa. Tiba-tiba aktivitas itu berubah dalam satu malam,” ucapnya.
Trauma healing ini dirancang khusus untuk anak-anak, dengan berbagai aktivitas yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik. Mereka diajak bermain, menyanyi, dan bercerita.
Semua dilakukan dalam suasana yang aman dan nyaman, memungkinkan anak-anak untuk mengekspresikan perasaannya dan perlahan pulih dari trauma yang dialami.
“Salah satu kegiatan yang menarik adalah permainan ular tangga dengan tema mitigasi bencana,” jelasnya.
Selain itu, ada juga permainan yang mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, seperti cara membuang sampah yang benar.
“Kami mencoba membuat kegiatan yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga edukatif,” ujar Iki.
Saat malam, kegiatan tidak berhenti. Para relawan merancang sesi nonton bareng dan bercerita. Setiap anak didampingi oleh seorang kakak pendamping yang bertugas memantau dan mendukung kondisi psikologis mereka.
“Ini penting, agar kita bisa tahu apakah anak-anak masih merasa tertekan atau sudah mulai pulih,” ungkapnya.
Iki mengaku, walaupun sebagian anak masih merasa enggan berpartisipasi karena belum bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, tim relawan tetap berusaha mendekati dengan cara-cara yang penuh empati.
“Alhamdulillah, di malam ketiga, beberapa anak mulai mengungkapkan rasa bahagia mereka kepada kami. Itu mungkin satu capaian kecil, tapi sangat berarti bagi kami,” tambahnya.
Ia menyebutkan, dari total 61 anak yang terdata, sekitar 30 anak telah aktif terlibat dalam kegiatan trauma healing ini. Meskipun jumlah ini belum mencakup semua, tim relawan tetap optimis dan terus bekerja keras untuk menjangkau lebih banyak anak.
“Kami yakin bahwa dengan upaya yang konsisten, trauma yang mendalam ini dapat disembuhkan, dan senyum anak-anak Ternate dapat kembali terpancar,” tuturnya.
Trauma healing di pengungsian ini menjadi sebuah simbol bahwa di tengah kehancuran, selalu ada harapan. Ini bukan sekadar soal mengatasi trauma, tetapi juga mengembalikan masa depan yang cerah bagi anak-anak yang menjadi korban.
“Setiap senyum yang kembali tersungging di wajah anak-anak adalah bukti bahwa harapan itu masih ada. Mereka akan bangkit dari luka yang ditinggalkan bencana ini,” pungkasnya.