Halmaheranesia – Kejadian banjir bandang di Kelurahan Rua, Kecamatan Ternate Pulau, Kota Ternate, Maluku Utara, benar-benar menghancurkan pemukiman warga dan merenggut belasan nyawa.
Aslamiah Wahab, pagi itu, Senin, 26 Agustus 2024, berdiri dengan pandangan kosong di depan sisa-sisa rumahnya.
Lumpur tebal menutupi lantai yang dulunya tempat anak-anaknya bermain. Pohon-pohon besar dan bebatuan yang terhanyut oleh banjir bandang kini berserakan, menghantam batas-batas sungai yang sebelumnya tenang.
“Musibah bagaimana ini,” katanya pelan, suaranya bergetar.
“Torang (kami) tara (tidak) bisa heran, tapi ini kasihan, ini parah sekali. Saya takut sampai sekarang,” katanya saat ditemui halmaheranesia.
Banjir bandang yang melanda Rua pada Minggu, 25 Agustus 2024, membawa lebih dari sekadar air bah.
Dengan kayu-kayu sebesar dua pelukan orang dewasa dan batu-batu yang terhempas deras, banjir ini merenggut belasan nyawa dan menghancurkan pemukiman yang tak jauh dari tepi kali mati. Aslamiah, bersama suami dan anak-anaknya, adalah saksi hidup dari bencana ini.
Pada malam sebelum banjir, hujan mengguyur deras, namun Aslamiah tidak pernah menyangka hujan yang sering terjadi akan membawa malapetaka sebesar ini.
“Banjir itu sekitar pukul 03.30 WIT subuh. Saya terbangun pukul 03.00 WIT, itupun karena saya mendengar ada bunyi keras di sungai (kali mati),” kenangnya.
Bunyi yang dikiranya berasal dari alat berat, ternyata adalah peringatan akan datangnya bencana. Ketika suara deras itu semakin mendekat, suaminya penasaran dan memutuskan untuk memeriksa.
“Dia bilang, bikiapa ngana (kenapa kamu) kunci pintu, lihat kasana (ke sana) batu basar dan akar pohon banyak air so (sudah) bawa itu,” tutur Aslamiah.
Melihat situasi yang semakin genting, suaminya segera menyelamatkan anak perempuan mereka, sementara Aslamiah menggendong anak laki-lakinya yang berusia 8 tahun berlari mencari perlindungan.
Di tengah kepanikan, mereka menemukan seorang mahasiswa yang nyaris tenggelam di dalam lumpur. Aksi heroik itu hanya satu dari banyak cerita keberanian yang muncul di malam penuh horor itu.
“Suami saya langsung kasih selamat dia. Karena dia lari tapi sudah tenggelam di dalam lumpur. Dia minta tolong dan berteriak, masih ingin hidup,” tuturnya.
Banyak rumah yang dibangun dengan susah payah, kini telah lenyap, tertimbun lumpur dan serpihan kayu. Aslamiah, yang telah tinggal di Rua sepanjang hidupnya, mengaku tak pernah mengalami bencana sedahsyat ini.
“Bahkan badai beberapa hari juga tidak sampai seperti ini,” ucapnya, mata terpejam seakan ingin menghapus ingatan buruk itu.
Namun ini bukan kali pertama Aslamiah menghadapi banjir bandang. Pada tahun 2017, ia dan keluarganya juga selamat dari kejadian serupa, meskipun saat itu air lebih tinggi dan lebih ganas.
“Masalahnya kami mau ngungsi ke mana, suami saya di sini, tidak ada tempat untuk kami pindah,” kata Aslamiah.
Ketika ditanya tentang rencana ke depan, ia hanya bisa menggeleng. Untuk saat ini, ia dan keluarganya mengungsi di rumah kerabat di Kelurahan Gamalama. Namun, hatinya tetap di Rua, di tempat yang penuh kenangan meskipun telah dilanda bencana.
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang kami tahu, kami masih hidup dan harus terus berjalan. Soal tinggal di mana dan menetap itu nanti dipikirkan,” jelasnya.
Di tengah puing-puing dan lumpur, keteguhan mereka menjadi bukti bahwa hidup akan terus berlanjut, apa pun yang terjadi.
“Kami tara bisa bayangkan kejadian ini, kasihan yang lain kehilangan keluarga karena banjir ini,” pungkasnya.