Halmaheranesia – Meski usianya terbilang sepuh, tapi tak menyurutkan semangat Hardiyanti (61), perempuan petani cengkih dari Kelurahan Maliaro, Ternate, Maluku Utara. Ia terlihat masih cekatan turun dari salah satu pohon cengkih.

Beberapa kali ia berhenti menyeka keringat yang membasahi dahi. Sore itu, Kamis, 15 Agustus 2024, cuaca sedikit mendukung, angin menyapa bukit kebun cengkih dan membawa udara segar di sekitar menjadi lebih sejuk.

Dua hari menjelang perayaan HUT ke-79 Republik Indonesia, Yanti sapaan akrab Hardiyanti, bersama beberapa teman sebayanya memanjat pohon cengkih. Selain memanjat, mereka juga turun mengumpulkan cengkih yang sudah terhampar di tanah.

Hari itu, matahari mulai pulang, perempuan berkacamata ini memilih beristirahat. Ia menatap dalam-dalam ke arah langit. Beralaskan tikar, di bawah pohon cengkih miliknya, ia tidak sendiri, ada juga anak berumur 3 tahun yang dibawanya.

Yanti duduk lega di bawah pohon cengkih. Matanya mengamati beberapa cengkih miliknya di sebuah bukit. Melihat sejumlah pohon yang sudah mulai tiba masa panen.

Ia menuturkan, ada dua cara orang memanen cengkih. Pertama, cengkih dipanen sendiri oleh pemiliknya. Cara kedua, menyewa jasa pekerja pemetik untuk memanennya. Hasilnya dibagi dua atau dibayar per hari.

“Kalau torang (kita) naik sendiri, bisa dapat banyak. Kalau menggunakan tenaga orang lain, hasilnya dibagi dua dengan orang yang naik,” jelasnya.

Meski begitu, ia merasa resah dan sedikit kecewa dengan harga pasar cengkih yang terbilang sangat turun drastis. Kekecewaan itu terlihat jelas saat dirinya membandingkan harga cengkih sebelumnya dan saat ini.

Pantauan halmaheranesia sejak Juli 2024 lalu, harga cengkih di sejumlah toko tercatat beragam, mulai dari yang terendah di kisaran harga Rp 70 ribu seperti di Toko Andika, Rp 75 ribu di Toko Modern Raya, Rp 77 ribu di Harapan Karya, dan di Toko UD Putra Daerah Rp 80 ribu.

“Keadaan sekarang memang harga turun jauh. Tapi kalau torang tara (tidak) panen dan sewa orang juga, akan dua atau tiga tahun ke depan, cengkih berbuah so (sudah) tara bagus,” katanya.

“Harga cengkih dulu-dulu itu masih bagus, bahkan kalau musim panen begini, torang tara perlu cari-cari orang untuk naik cengkih, dorang (mereka) yang datang sendiri, karena harga masih bagus,” sambungnya.

Ia mengatakan, menjelang hari kemerdekaan dan melihat harga cengkih yang terjun bebas ini, menyurutkan niatnya untuk merayakan kemerdekaan. Bagi seorang petani sepertinya, kemerdekaan tak ada artinya jika harga komoditi masih tidak sesuai harapan.

Namun, kondisi ini tidak mengurangi semangatnya untuk tetap berharap pada pohon cengkih. Sebab cengkih sebanyak 20 pohon itu adalah peninggalan orang tuanya yang mesti dijaga dan dirawat.

“Bagitu sudah, rayakan kemerdekaan tapi harus tetap kerja keras. Cengkih punya harga turun. Kemudian barang-barang yang lain punya harga juga ikut naik. Jadi torang bilang merdeka, tapi torang akan tetap begini sudah,” ucapnya.

Ia mengaku, meski dengan harga cengkih yang sedang jatuh, sebagai petani ia tak akan memilih meninggalkan hartanya. Kendati dalam keadaan sulit, berkebun menjadi begitu berarti baginya.

Hanya saja, kesulitan lain adalah makin susahnya mencari jasa pemetik cengkih di Ternate. Kebanyakan anak muda sudah bekerja di perusahaan tambang.

“Banyak yang so lari di tambang Halmahera. Mungkin di sana cepat dapat doi (uang). Mayoritas anak-anak muda di sini berangkat ke sana,” ujarnya.

Selain masalah jatuhnya harga, kata dia, beberapa tahun terakhir pohon cengkih mengalami penurunan produktivitas. Petani sudah kesulitan menentukan jadwal panen cengkih, padahal panen sangat bergantung pada cuaca.

“Bila terlalu lembap karena curah hujan tinggi, buah akan busuk. Sebaliknya, jika cuaca terlalu panas, cengkih akan rusak,” jelasnya.

Sekuat-kuatnya Yanti ia tentu dihantam kepayahan juga. Ia sendiri merasa berat pada biaya perawatan dan menyewa tenaga orang untuk pemetik cengkih, karena bayarannya lumayan besar, sedangkan hasil panen tidak seberapa.

“Dulu kita bisa berharap banyak dari hasil panen cengkih. Banyak orang tua bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana dari hasil cengkih,” kata Yanti.

Meski begitu, sebagai seorang petani, ia merasa sukses karena dengan cengkih, tiga orang anaknya bisa sekolah sampai selesai. Bahkan bisa bertahan hidup secukupnya dari hasil panen.

“Anak saya 5 orang, 2 orang sudah meninggal. Sementara satu sudah S2 di kampus Kota Bandung, satunya Polwan dan satunya kerja di PAM Ake Gaale, semua itu berkat cengkih. Tapi mereka sudah menikah,” pungkasnya.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *