Halmaheranesia – Krisis air bersih, polusi, kehilangan ruang hidup, hingga bencana ekologis. Begitulah dampak yang ditimbulkan Proyek Strategis Nasional (PSN). Ambisi proyek ini justru menambah daftar panjang penderitaan warga.
Cerita itu tersampaikan melalui foto-foto yang terpajang rapi di Gedung Usmar Ismail, Jakarta. Sebanyak 30 gambar yang dipajang itu merupakan hasil jepretan para jurnalis yang mengabadikan penderitaan warga akibat PSN.
Pameran foto yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini dalam rangka memperingati ulang tahun organisasinya yang ke-30. Kegiatan ini digelar pada Jumat, 9 Agustus 2024 kemarin.
“Foto ini berbeda dengan yang ada di media pada umumnya, yang katanya PSN memberi dampak positif dan sebagainya. Foto ini memperlihatkan sebaliknya, dilihat dari sisi masyarakat yang mengalami ketidakadilan,” kata Sekjen AJI, Bayu Wardhana, dalam keterangannya.
Bayu menyampaikan, foto-foto yang dipajang dalam pameran ini merupakan hasil liputan mendalam para jurnalis dari 3 daerah, yakni Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Jawa Barat. Dari 30 bingkai foto itu, 5 di antaranya merupakan hasil karya jurnalis AJI Samarinda yang cukup membetot perhatian.
Karya Kartika Anwar yang berjudul ‘Proyek IKN Dikebut, Warga Pemaluan Krisis Air Bersih’ ini, mengangkat realitas keras kehidupan warga di lapangan. Ia menggambarkan betapa sulitnya akses air bersih bagi warga yang tinggal di sekitar proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Selain itu, dua karya lainnya milik Fitri Wahyuningsih di Kalimantan Timur juga menggambarkan dampak ekologis yang menghancurkan lingkungan sekitar akibat proyek pembangunan IKN. Foto itu diberi judul ‘IKN Dikebut Debu Bikin Semaput’ dan ‘Hancurnya Sungai Pemaluan Akibat Pembangunan IKN’.
Tak hanya itu, karya Lutfi Rahmatunnisa, yang berjudul ‘IKN Gilas Tanaman Herbal Suku Balik’ dan ‘Trobos Tanah Warga demi Ambisius Bandara VVIP IKN’, menunjukkan bagaimana proyek ambisius pemerintah ini meminggirkan masyarakat lokal dan mengabaikan hak-hak mereka.
Sementara dari Maluku Utara, seperti foto Mahmud Ici, tentang kuburan warga Gemaf, Halmahera Tengah, yang dibikin di pekarangan rumah lantaran terjadi perampasan lahan oleh perusahaan tambang sehingga tak ada lagi untuk perkuburan umum.
Kemudian foto Rian Hidayat Husni ihwal banjir di Halmahera Tengah yang terjadi akibat perusahan-perusahan tambang yang datang beroperasi. Ditambah foto Fadli Kayoa di Obi, Halmahera Selatan, tentang pembongkaran hutan yang dilakukan perusahaan tambang.
Di Jawa Barat, ada karya Virliya Putricantika meliput soal kereta cepat di Tegalluar dan Panel Surya di Waduk Cirata. Dan ada juga karya Anza Suseno yang mengangkat soal PLTU di Pelabuhan Ratu Sukabumi serta Abdulla Fikri Ashri yang mengangkat perjuangan perempuan petani Indramayu memperjuangkan energi bersih akibat beroperasinya PLTU di Indramayu.
“Ada sisi lain yang perlu dicermati, masyarakat tidak punya kuasa, mengalami ketidakadilan, entah tanah digusur, entah polusi debu, bahkan tidak punya lahan untuk pemakaman. Foto-foto ini justru menangkap kondisi yang ‘tidak tertangkap’ itu,” ujar Bayu.
Sementara itu, peringatan ulang tahun ke-30 AJI ini mengangkat tema ‘Membangun Resiliensi di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme’.
Ketua AJI Nani Afrida mengatakan, AJI memerlukan resiliensi dalam menghadapi dua persoalan besar sekaligus, yaitu distrupsi media dan menguatnya otoritarianisme.
“Resiliensi ini artinya kemampuan umum menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan besar,” ujar Nani.
Lebih lanjut, Nani mengatakan dalam aspek otoritarianisme, ditandai dengan tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis, baik secara fisik, digital, dan seksual. Sayangnya, semua kasus itu berakhir dengan impunitas.
“Tahun ini, terjadi 40 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, baik seksual, digital, fisik,” pungkasnya.