Tidore, HN – Rumah itu tak begitu besar. Atapnya hanya dari terpal dan temboknya dari triplek. Begitulah kondisi rumah Novince Pudi (40), warga Desa Akekolano, Kecamatan Oba Utara, Tidore Kepulauan.
Lantainya masih tanah, tembok kamarnya hanya menggunakan bekas baliho berukuran 2 x 4 meter, sementara di bagian dapur, ruangannya terbuka tanpa ada pembatas dinding.
Di tempat itulah, Novince bersama lima anaknya menyambung hidup. Mereka belum lama menempati rumah kecil ini. Sekitar sepekan yang lalu.
Sebelumnya, Novince dan anak-anaknya tinggal di sebuah rumah kosong milik warga setempat di Desa Akekolano.
Namun, setelah pemilik rumah tersebut datang, ia bersama anaknya kemudian keluar dan membangun sebuah tempat tinggal seadanya saja, tepatnya tidak jauh dari belakang rumah tersebut.
“Saya aslinya warga Akekolano, dari kecil saya tinggal di sini, hanya saja saat kerusuhan (konflik horisontal tahun 1999 di Maluku-Maluku Utara) pada waktu itu, kami kemudian dilarikan ke Manado,” cerita Novince, Senin, 29 Juli 2024.
Saat konflik mereda, mereka kemudian memilih kembali ke Akekolano. Hanya saja, mereka sudah tak punya rumah.
“Kami (kemudian) tinggal di rumah kosong milik warga Akekolano yang ada di perkampungan. Namun karena pemiliknya sudah ada sehingga kami harus keluar kemudian tinggalkan rumah tersebut,” tukasnya.
Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, ketika mengetahui informasi ini pun berinisiatif dalam waktu dekat akan mulai membangun rumah milik Novince bersama anak-anaknya.
“Setelah saya kembali dari Jakarta, saya akan mulai bangun rumah dengan model semi permanen, jadi nantinya rumah ini bakal memiliki tiga kamar tidur,” ucap Ayah Erik, sapaan akrab Muhammad Sinen.
“Kenapa harus bangun rumah tersebut, sebab kisah ibu ini mengingatkan perjalanan hidup saya di tahun 1981. Saya bersama adik-adik beserta ibu pernah diusir dari rumah oleh keluarga dan pada waktu itu juga belum memiliki rumah,” kenang Ayah Erik.
Ia bercerita, setelah dikeluarkan, mereka kemudian membangun rumah di Kelurahan Rum. Rumah itu pun setengahnya hanya terbuat dari kulit karung semen.
Ayah Erik lalu menyambung hidup di rumah tersebut sejak sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/SMK).
Kisah hidup yang keras itulah yang membentuk seorang Ayah Erik menjadi begitu peduli pada warga.
Semenjak menjabat sebagai ketua DPD PDIP Maluku Utara, ia pun memerintahkan pengurusnya sampai pada tingkat ranting untuk terjun dan melihat secara langsung kondisi warga.
Dari situ, ia lantas mengetahui informasi yang berkaitan dengan Novince, dari ketua ranting PDIP Desa Akekolano.
“Saya tahu informasi ini dari ketua ranting, makanya saya langsung berkunjung dan memastikan kondisi rumah yang ditinggal oleh mereka,” pungkasnya.