Halteng, HN – Banjir yang terjadi sejak tanggal 20 Juli 2024 dan masih berlangsung sampai saat ini di Halmahera Tengah, Maluku Utara, merupakan akibat dari meluapnya sungai Kobe dan Sungai Akejira.
Berdasarkan siaran persnya Walhi Maluku Utara menyebutkan, meluapnya sungai tersebut telah mengakibatkan Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Woebulen, dan Desa Lukulamo terendam dan mengancam keselamatan 6.567 jiwa penduduk yang berada di empat desa tersebut.
Jumlah korban itu belum termasuk jumlah pekerja tambang yang menempati kontrakan rumah atau indekos di Desa Lukulamo.
Bencana banjir telah memutuskan akses utama jalan penghubung antardesa yang saat ini terdampak banjir.
Hingga saat ini upaya evakuasi terus dilakukan oleh BNPBD Kabupaten Halmahera Tengah, TNI, Polres Halmahera Tengah dengan menggunakan alat berat dan menempatkan warga di posko–posko yang tersedia di sekitar desa yang tidak terkena dampak banjir.
Direktur Walhi Maluku Utara, Faizal Ratuela, menyebutkan data peta overlay kawasan terjadinya bencana banjir di Weda Tengah dan Weda Utara, bahwa bencana banjir disebabkan oleh masifnya pemberian izin konsesi pertambangan nikel.
“Pemberian izin konsesi tambang nikel oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan di Halmahera tengah,” kata Faizal, melalui rilisnya, Selasa, 23 Juli 2024.
Ia menjelaskan, hasil analisis Walhi Maluku Utara dari berbagai sumber informasi menemukan, tahun 2001 keberadaan hutan primer di Halmahera Tengah seluas 188 ribu hektar yang membentangi 83 persen areal kawasan Halmahera Tengah, saat ini telah mengalami deforestasi seluas 26.100 haktare dan terus naik seiring aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan nikel.
“Pembukaan areal kawasan hutan termasuk kawasan daerah aliran sungai secara sporadis dan masif untuk pengambilan material ore nikel oleh investasi pertambangan nikel menyebabkan hilangnya kawasan buffer zone,” jelasnya.
Sehingga, kata Faizal, ketika terjadi intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan ekosistem hutan tidak lagi menahan laju kecepatan air yang bercampur dengan tanah serta material logam ke wilayah dataran rendah di wilayah pesisir, terutama yang saat ini terendam banjir, yaitu Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Woebulen, dan Desa Lukulamo.
“Desa pesisir yang terdampak bencana banjir sejak tanggal 20 Juli 2024 sampai hari ini, sangat rentan mendapatkan bencana banjir susulan,” ungkapnya.
Hal itu menurutnya karena berada di sekitar kawasan industri pertambangan nikel PT. Weda Bay Nikel (Kawasan Industri PT. IWIP), PT. Tekindo Energi, PT. Harum Sukses Mining, PT. Saphire Indonesia Mining, PT. Bakti Pertiwi Nusantara, PT. Darma Rosadi Internasional, dan PT. First Pacific Mining.
Ia memaparkan, jumlah izin pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Tengah berjumlah 24 IUP dengan luas konsesi 37.952,74 hektare dan yang terluas izin konsesinya adalah pertambangan nikel milik PT. Weda Bay Nikel seluas 45.065 hektare.
“Berdasarkan situasi yang terjadi dari mulai kejadian banjir sampai saat ini, Walhi Maluku Utara melihat tidak ada keseriusan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara, terutama Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Dinas ESDM untuk menyikapi bencana banjir yang terjadi,” paparnya.
“Dan ini mengindikasikan jelas jika Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara tidak memiliki perencanaan yang jelas dalam melakukan peran dan tanggung jawabnya,” sambungnya.
Pihaknya lantas mendesak agar menetapkan status darurat bencana di Kabupaten Halmahera Tengah dan segera menambah personil tanggap darurat dan posko di lokasi yang terkena dampak banjir.
Selain itu, Faizal meminta Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah tegas menghentikan aktivitas investasi pertambangan nikel yang saat ini sementara beroperasi di tengah kondisi banjir yang sedang berlangsung.
“Hal itu karena melanggar prinsip kemanusiaan dan tidak menghargai hak asasi manusia pekerja dan warga yang saat ini sedang menderita kerugian moril dan materil akibat bencana banjir,” ungkapnya.
Menteri Lingkungan Hidup juga diminta segera mengambil langkah membentuk tim investigasi untuk menelusuri penyebab terjadinya banjir yang diduga akibat jebolnya tanggul milik PT. Tekindo Energi dan PT. IWIP.
“Menindak tegas perusahan tambang yang terbukti melakukan pengabaian dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga mengakibatkan bencana banjir,” tegasnya.
Tak hanya itu, mereka juga mendesak pemerintah pusat untuk segera melakukan moratorium industri pertambangan nikel di Maluku Utara.
“Terutama yang masuk dalam kebijakan proyek strategis nasional, karena telah mengakibatkan bencana ekologi dan perampasan ruang hidup masyarakat di Maluku Utara,” pungkasnya.