
Ternate, HN – Cuaca panas bercampur debu jalanan adalah hal biasa bagi Hanisa Rajak (65). Perempuan itu sudah 14 tahun berjualan di bahu jalan, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara.
Ia adalah salah satu dari lima pedagang lainnya di lokasi tersebut yang memilih berjualan di bahu jalan. Mengandalkan payung, di atas kursi kecil, ia duduk sembari menawarkan barang dagangannya pada setiap orang yang lewat.
Sore itu, Minggu, 14 Juli 2024 saat halmaheranesia bertemu dengannya, terlihat di atas meja jualan berukuran 3×3 telah tersusun rapi dagangan berupa pinang, sirih, buah nangka, dan pisang.
Hanisa mengaku, dagangan itu dibeli di Pasar Gamalama. Lalu dijual kembali dengan harga yang tidak seberapa. Meski begitu, harga beberapa buah yang didagangkan sudah mulai naik seiring dengan sulitnya buah pinang dan siri di Ternate.
“Harganya so (sudah) naik. Bisanya, kalau buah pinang dijual per 100 biji itu Rp 50 ribu, tapi sekarang sudah Rp 80 ribu, itu karena di Ternate sudah susah,” katanya.
Ia mengaku, buah-buah yang didagangkannya pun sering dibeli di bagian Kecamatan Pulau Ternate.
“Torang (kami) harus ke belakang gunung kalau stoknya habis di pasar. Supaya bisa dapat banyak dan harganya juga bisa turun,” katanya.
Ibu dari empat anak itu tinggal di Kelurahan Marikurubu, Ternate Tengah, bersama anak keduanya. Sementara dua anaknya lagi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Halmahera Barat. Kemudian anak perempuannya yang bungsu juga menikah dan tinggal bersama suaminya di Pulau Morotai.
“Anak-anak semua sudah menikah. Saya tinggal sama anak kedua. Jadi walaupun anak-anak yang lain sudah PNS, tapi tetap saya harus berjualan, karena itu sudah jadi kebiasaan,” ungkapnya.
Ia bercerita, pada 2012 lalu, pernah berjualan pisang di Pasar Barito, Gamalama. Namun tempat jualannya terbilang sangat sepi dan jarang dikunjungi pembeli. Alhasil, semua dagangannya kerap rusak dan mendapatkan banyak kerugian.
Bahkan, kata dia, biasanya ia memberanikan diri untuk berjualan di atas trotoar pasar, tapi karena sering diusir paksa oleh pihak Satpol PP, sehingga memilih untuk tidak lagi berjualan di pasar dan beralih tempat.
“Di sini juga sudah dua kali kami ditertibkan oleh Satpol PP. Akhirnya kami ke rumah Pak Wali Kota untuk mengadu. Kami tunggu Pak Tauhid sampai malam dan akhirnya bisa bertemu. Pak yang izinkan kami jualan di sini,” jelasnya.
Ia mengaku, sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan berjualan di tempat itu, meski pendapatan setiap hari tidak sebanding, namun itu menjadi cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Bersama teman-temannya, Hanisa merasa omzet jualan yang ia dapat mulai menurun, seiring adanya toko buah yang dibangun belum lama ini berdekatan dengan tempat jualannya.
“Satu hari itu paling Rp 120 ribu, kadang Rp 100 ribu. Itu so cukup. Dari pada cuman duduk di rumah, akan tong (kita) stres karena tara (tidak) ada aktivitas,” ujarnya.
“Tapi sekarang pendapatan mulai lebih menurun, ini juga mungkin sudah ada toko buah di samping, jadi paling banyak Rp 80 ribu. Tapi itu sangat cukup,” jelasnya.
Ia mengaku. sangat bahagia dengan pekerjaannya sebagai pedagang, karena jika diam saja di rumah, menurutnya tidak akan ada jalur uang yang masuk pada dirinya dan keluarga.
“Kalau jualan, sedikit-sedikit juga alhamdulillah ada yang pasti beli ke sini,” ucapnya.
Intinya, baginya menjalani setiap peristiwa dalam hidup, kunci utama agar tetap kuat adalah dengan tawakal kepada Tuhan. Setiap perjalanan, harus dibekali dengan ibadah.