Ternate, HN – Harus kerja keras. Begitulah Latora (46) menggambarkan sosoknya sendiri dalam tiga kata. Manis dan pahit kehidupan urban telah ia lalui. Semua mengajarinya untuk selalu menjalani hidup dan memandang setiap masalah di dalamnya secara sederhana.
Lelaki paruh baya itu seorang penjual parang di Ternate, Maluku Utara. Ia seolah tak kenal lelah, hampir setiap hari dengan sabar berdiri di depan dagangannya menunggu pembeli.
Pasar Rakyat Ternate, tepatnya di depan Benteng Oranje, halmaheranesia bertemu dengannya. Terlihat dagangan parang dan pisau tersusun rapi.
“Saya jualan dari pagi pukul 10.00 WIT sampai sore,” kata Latora, Rabu, 3 Juli 2024.
Ia mengaku, parang yang dijual dan didagangkan berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Alat potong ini diangkut ke Ternate menggunakan kapal. Kemudian dijual dengan harga bervariasi.
“Ada jenis parang yang dipakai untuk memeras rumput, membelah buah kelapa, potong daging, dan lainnya. Di sini tersedia,” terangnya.
Untuk harga, kata dia, misalnya parang pando Rp 135 ribu, parang sanggut Rp 140 ribu, parang jenis arit Rp 50 ribu, parang golok Rp 120 ribu, dan pisau iris Rp 34 ribu sampai Rp 40 ribu.
Ada juga parang Sangir. Baginya, parang itu lebih berkualitas ketimbang lainnya. Alasannya adalah karena pembuatan parang itu lebih lama prosesnya ketimbang parang Buton.
“Kalau Sangir, dalam sehari hanya bisa diproduksi satu buah. Kalau Buton bisa sampai 20 buah dalam sehari. Jadi harganya lebih mahal,” katanya.
Ia bercerita, sebelumnya di tahun 2002, ia berdagang komoditi lokal di Manokwari, Papua Barat. Setelah itu ia ke Taliabu dan Bitung.
“Sebelum jual parang, saya keliling mencari dan membeli komoditas, seperti pala, cengkeh. Itu berjalan selama dua tahun,” sebutnya.
Berselang waktu, Latora memutuskan meninggalkan istri dan anaknya dengan waktu yang lama dan berlayar ke negara Malaysia. Di sana, ia menjadi buruh pabrik. Tapi saat di sana, nasib miris menimpanya karena ulahnya sendiri.
“Saya dua kali dipenjara saat di Malaysia. Itu karena kami jual rokok ilegal. Tapi karena ketahuan, akhirnya kami ditangkap dan dipenjara,” katanya sambil menawarkan dagangan ke salah satu pembeli.
Setelah dibebaskan, ia memilih pulang ke Indonesia dan mengambil jalan menjadi pedagang parang. Bersama istri dan anak pertamanya, lelaki asal Buton itu menuju Ternate, sekira tahun 2011.
Ternate, kata dia, adalah kota yang ramah. Biaya hidup yang murah dan masyarakatnya saling tolong-menolong.
“Jadi saya senang jualan di sini, meskipun pendapatan menjadi pedagang penjual parang ini tidak seberapa, tapi tetap harus bersyukur,” kata Latora.
Ia menjelaskan, setiap hari jualannya laku secara fluktuatif, kadang dapat lebih, tapi kadang juga tidak seberapa. Namun, pendapatan itu dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya.
“Sudah cukup dipakai untuk makan dan biaya sekolah terpenuhi itu alhamdulillah,” ungkapnya.
Lelaki tiga anak ini menambahkan, saat ini dirinya tinggal di rumah sewa bersama istri dan beberapa temannya di Kelurahan Kulaba, Kecamatan Ternate Barat.
Anak-anaknya pun memilih untuk sekolah di Ternate. Ini untuk memudahkan Latora untuk bertemu dan berjumpa dengan keluarga.
“Anak saya tiga orang. Anak pertama masih SMA, satu SMP, dan yang terakhir SD,” ujarnya.
Terkait tempat jualannya yang berada di tepi jalan, biasanya ditertibkan oleh petugas Satpol PP. Alasannya karena memakai trotoar dan menimbulkan kemacetan.
“Tapi kita diizinkan oleh Dinas Perhubungan. Bahkan untuk pembayaran retribusi, kami setiap hari ditagih dan tidak pernah lalai membayar,” pungkasnya.