Ternate, HN – Masyarakat Jurnalis Lingkungan Hidup Indonesia atau The Society Socity of Indonesian Enverinomntal Journalist (SIEJ) simpul Maluku Utara menggelar diskusi publik dengan judul “Kejahatan Hilirisasi di Hutan Halmahera” di Kafe Kofia, Kota Ternate, Selasa, 4 Juni 2024 lalu.
Diskusi itu menghadirkan empat pembicara lokal yakni Direktur FOSHAL Malut, Mahmud Ici, Dosen Kehutanan Unkhair, Ketua Harian FKDAS MKR Maluku Utara, Much. Hidayah Marasabessy, Sekretaris Dinas Kehutanan Malut, Achmad Zakih, dan Koordinator Burung Indonesia Program Kepulauan Maluku, Benny Aladin.
Koordinator SIEJ simpul Malut, Ikram Salim menuturkan, Malut saat ini tengah menghadapi deforestasi akibat kerusakan lingkungan. Program hilirisasi nikel yang digaungkan Jokowi membuat penambang nikel makin agresif membabat hutan yang menyebabkan lajut deforestasi tidak dapat dikendalikan.
“Sudah pasti aktivitas penambangan ini dimulai dengan land clearing atau pembersihan area, otomatis ada pembabatan pohon sehingga kita kehilangan tutupan hutan,” kata Ikram.
Apalagi Maluku Utara saat ini memiliki lebih dari 213.960 hektare hutan yang telah dikepung izin usaha pertambangan (IUP).
Berdasarkan data dari Foshal Malut di Halsel terdapat 15 izin dengan total luas konsesi 32.236 ribu hektare. Kemudian untuk IUP nikel juga mencaplok Halmahera Timur dan Halmahera Tengah dengan 4 izin dan luas konsesi 70.287 hektare.
“Data analisis spasial Global Forest Watch sejak 2001-2022 menunjukan Halteng kehilangan 26,1 ribu hektare tutupan pohon, ini setara dengan penurunan 12 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, karena itu perlu ada upaya bersama untuk membicarakan hal ini secara terus dan dibarengi dengan aksi, kami jurnalis sudah pasti mengambil peran ini untuk menyampaikan kondisi serius melalui liputan mendalam,” jelas Ikram.
Mahmud Ici menjelaskan, beberapa waktu warga Malut dihebohkan dengan suku Tobelo Dalam yang mendiami hutan Halteng keluar hutan dan masuk ke area tambang untuk meminta makanan kepada pekerja tambang.
“Ini menunjukan bahwa hutan yang mereka tempati sudah rusak, hutan yang dulu menjadi sumber penghidupan mereka sudah rusak karena ekstraksi tambang,” kata Mici.
Mici berujar, perusahaan tambang di Halmahera juga mengakibatkan penghancuran tanaman produktif petani seperti pala, cengkih, dan kepala serta menurunkan produktivitas penangkapan ikan yang menjadi sumber ekonomi warga desa di lingkar tambang.
“Kedepan nanti orang-orang di Halmahera tidak tahu jenazah mereka mau kubur dimana karena semua lahan sudah punya IUP,” jelasnya.
Ketua Harian FKDAS MKR Maluku Utara, Much. Hidayah Marasabessy berujar, lebih dari 22 ribu hektar pulau kecil di Halmahera Tengah menjadi pusat produksi perkebunan sekarang semuanya terancam digusur.
“Kita memang sedih, bahwa ini ada dampak serius terhadap masyarakat, bahkan pasti akan terjadi perampasan ruang hidup dan itu sistematis terjadi,” kata Hidayah.
Menurutnya, kerusakan ekologi di Indonesia adalah dampak dari kebijakan pemerintah melalui undang-undang. Karena itu, perlawanan massa secara terorganisir perlu dilakukan secara berulang.
“Kita bicara soal kerusakan lingkungan dan pemanasan global dan semua orang berfikir itu sebagai pandemi tentu semua orang akan bahu membahu dan sudah bersedia memberi tubuh untuk divaksin. Jika ini menjadi pandemi tentu akan menjadi isu sangat besar,” ujar dia.
“Hilirisasi ini adalah semua cara mengalihkan itu untuk kepentingan tertentu, karena hilirisasi itu tidak benar-benar, kalau mau harus ada mobil juga di sini. Dan yang harus dikejar adalah kebijakan kehutanan kita seperti UU Cipta Kerja, karena begitu banyak kelemahan dalam UU ini karena itu perlu kita perkarakan,” tambah Hidayah.
Sementara Koordinator Burung Indonesia Program Kepulauan Maluku, Benny Aladin menjelaskan, ekstraksi tambang berdampak langsung pada keanekaragaman hayati (biodiversity). Tambang menjadi momok sosial, masyarakat dan bom keanekaragaman hayati.
“Hilangnya habitat asli satwa endemik seperti burung, di Malut ada 9 jenis Kakatua yang tersebar di hutan Halmahera. Dari tahun 1994-2020 terjadi penyusutan hingga 90 persen populasinya. 10 tahun awalnya itu disebabkan oleh perburuan, tetapi berikutnya adalah akibat rusaknya habitat alami akibat peralihan fungsi lahan,” tambah Benny.
“Jadi sudah ada 2 musuh untuk satwa di sini yakni perburuan dan tambah lagi itu peralihan fungsi hutan akibat tambang,” ucapnya.
Sementara Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Malut, Achmad Zakih, menjelaskan, kebijakan pemerintah pusat yang ugal-ugalan berdampak pada pemerintah daerah.
“Kita di daerah yang mendapat tekanan apalagi sudah ada 2 PSN yang beroperasi. BPKHTL Wilayah VI Manado yang melakukan analisis citra dan laporan hasil penafsiran citra pada 2022 yaitu membanding tutupan lahan hutan dan non hutan,” ujar Achmad.
Dia menjelaskan, Maluku Utara didominasi hutan dengan presentasi 62 persen tutupan hutan dan tersebar merata di 10 daerah kecuali Kota Ternate.
“Dari 10 kabupaten 9 daerah umumnya rasio tutupan lahan berhutan lebih tinggi sementara ternate itu sebaliknya. Angka deforestasi di Malut itu 3.257,97 hektar yang didominasi oleh pertambangan, 40,40 persen dari total deforestasi dan tertinggi di Halteng, 9,200,02 hektar,” papar dia.
“Di Halteng, tutupan lahan kategori pertambangan 5 ribu hektar. “Itu sudah cukup besar angkanya,”lanjutnya.
Menurut dia, yang perlu dipahami, untuk penambahan luas kawasan industri sudah merambah sampai ke Patani dengan 22 ribu hektar dalam usulan. Bahkan, pihaknya juga menemukan daerah, kenyataan di lapangan ada yang perlu sama-sama benahi. Apabila ada kawasan hutan sekarang sudah dicat merah dengan label milik ini dan itu.
“Ini yang kita temukan padahal itu hutan tapi sudah ditandai oleh warga,” sebutnya.
Lebih parah lagi, lanjut Achmad, praktek awal akar deforestasi seperti pembalakan dan peredaran kayu illegal justru melibatkan aparat.
“Ada aturan pemerintah yang justru mengizinkan melakukan penambahan di lahan tambang kemudian juga penegakan hukum terhadap peredaran kayu illegal kami ditelepon oleh okum aparat dari Jakarta,” imbuhnya.
“Solusi yang dilakukan bersama adalah memberdayakan masyarakat yang menjadi pengaman dan pelindung melalui skema program ketahanan sosial,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, diskusi ini digelar untuk mengulas hasil liputan pembabatan hutan secara besar-besaran, di Kalimantan.
Diskusi diseminasi ini dimulai dengan pemutaran film liputan investigasi kolaborasi yang diinisiasi oleh SIEJ melalui platform Depati Project bersama jurnalis CNN Indonesia TV, Betahita.id, Pontianak Post, Mongabay Indonesia, Ekuatorial.com, dan Jaring.id.
Film ini tayang di kanal YouTube CNN Indonesia dengan judul “Melawan Penjagal Hutan Kalimantan” mengungkap fakta bahwa pemerintah belum menunjukkan keseriusan untuk menangani deforestasi di Pulau Borneo.
Kondisi luasan hutan di Indonesia selama dua dekade terakhir tidak kunjung membaik. Ini lantaran laju deforestasi terus berlanjut meski klaim pemerintah selalu menyebutkan trennya menurun.
Jutaan hektar hutan alam di Kalimantan Barat musnah dijagal atas nama investasi. Hutan dengan keanekaragaman hayati, berganti tanaman monokultur (sejenis) yakni sawit dan akasia.
Kerusakan ini memicu berbagai persoalan yang tak akan pernah sebanding dengan nilai investasi kaum pebisnis yang difasilitasi negara. Orang hutan, satwa endemik terancam dan satwa liar lainnya, kehilangan ekosistem dan menambah tingkat kepunahannya.
Deforestasi ini juga menyebabkan konflik dengan kelompok masyarakat adat yang selama ini hidup bergantung dari hutan. Baik ekonomi maupun kebudayaan mereka.
Atas nama investasi, negara melegitimasi deforestasi termasuk areal gambut dalam yang seharusnya dilindungi. Nyawa manusia juga dipertaruhkan. Bencana ekologi terjadi dan malapetaka yang lebih besar lagi mengintai di depan mata.
Persoalan deforestasi masih terus terjadi. Salah satu yang cukup memprihatinkan terjadi di hutan Kalimantan Barat. Salah satu Perusahaan yang diduga kuat terafiliasi dengan Royal Golden Eagle (RGE) Group yaitu PT Mayawana Persada telah melacurkan deforestasi untuk konversi ke kebun kayu seluas sekitar 20 ribu hektar.