Hari itu, tepatnya hari ketiga lebaran Idulfitri 2024, di Desa Talaga, Halmahera Barat, dua petarung tengah berhadapan menunjukkan gerakan dengan gaya yang khas, bersiap saling bertarung. Nama seni tarung ini adalah Dodengo.
Dodengo merupakan seni bela diri asli Suku Gamkonora yang menampilkan pertarungan satu lawan satu menggunakan alat/media di tangannya.
Dalam beberapa catatan dan penuturan, tradisi ini dibawa oleh Syekh Ishak Waliyullah asal Iran, orang pertama yang mengislamkan penduduk Gamkonora.
Sejak dimulai kembali pada tahun 2003 atas inisiatif pemuda di Desa Talaga, Dodengo menjadi warisan berharga di sana.
Suku Gamkonora, mendiami empat desa, yaitu Gamsungi, Talaga, Gamkonora, dan Tahafo di Kecamatan Ibu Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Sore itu, di lapangan Talaga begitu ramai. Beberapa orang mengantre, menunggu giliran untuk ikut masuk ke tengah lapangan. Sementara di sekitarnya, para penonton mengelilingi, seperti membentuk “ring” untuk para petarung.
Dalam pertunjukan ini, ada yang dipercayakan sebagai wasit. Ia akan memberikan aba-aba untuk memulai atau memberhentikan. Tak boleh sampai ada yang terluka berlebihan. Namun begitu, pertarungan ini pun bukan sekadar tontonan. Benar-benar saling hantam.
Selama berjalan, pertunjukan ini sangat menegangkan, sekaligus menghibur. Tiap pasangan dilengkapi dengan peralatan: perisai atau salawaku yang terbuat dari kayu, mirip perisai tari perang Cakalele, dan gaba-gaba, yakni potongan batang pohon sagu sebagai senjata pemukul.
Para petarung diharuskan beradu kecepatan dan kekuatan untuk saling melukai lawan menggunakan potongan pohon sagu atau gaba-gaba tersebut.
Petarung yang tidak lihai menahan kecepatan petarung lawannya pasti mengalami luka-luka di daerah kepala dan wajah.
Tabuhan gendang/tifa dan gong juga mengiringi jalannya laga sekaligus memberikan semangat kepada para petarung.
“Dodengo itu adalah harga diri laki-laki suku Gamkonora, kunci harga diri seorang laki-laki suku Gamkonora itu ada di Dodengo, secara sosial dan budaya,” ujar Gandi, pemuda Desa Talaga yang juga petarung Dodengo.
“Dulu para petarung Dodengo, bertarung sampai berdarah, kalau darah keluar itu dipercaya sebagai pembersihan diri terhadap darah-darah kotor di dalam diri,” lanjut Gani.
Dodengo sering dilaksanakan pada saat perayaan Idulfitri, di hari pertama lebaran sampai keempat.
Dulu sering dibuat di empat desa. Namun, sekarang sudah terpusat di Desa Talaga dan tiga desa lain datang untuk berlaga atau hanya sekadar ikut menyaksikan.
______
Penulis dan fotografer: Rifki Anwar