Sulteng, HN – Peringatan Hari Anti-Tambang (HATAM) Nasional kembali digelar pada 29 Mei 2024. Kali ini Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang menjadi tuan rumah dari peringatan tersebut.
Melalui siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional disebutkan, HATAM sendiri merupakan peringatan atas daya rusak industri ekstraktif yang secara nyata tidak hanya menghancurkan lingkungan, menimbulkan bencana melainkan menjadi simbol atas hancurnya kehidupan manusia dan lingkungan.
Divisi Kampanye JATAM Nasional, Alfarhat Kasman, menyebutkan dalam siaran persnya, bencana sosial-ekologis yang muncul dari industri ekstraktif, telah banyak terjadi di berbagai tubuh kepulauan Indonesia, tak hanya terjadi pada kasus Lumpur Lapindo yang merupakan asal-usul dari peringatan HATAM.
“Bencana yang serupa juga terjadi dan semakin meluas di berbagai tempat, tidak peduli pemukiman warga, kawasan lindung-konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Alfarhat.
Ia menjaskan, bahkan penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif ini dilakukan dengan menggunakan narasi-narasi krisis iklim, krisis yang jelas-jelas tercipta dari operasi industri ekstraktif itu sendiri, bahkan dengan deregulasi untuk legitimasi berbagai aturan hukum untuk kepentingan industri ini.
Sebagaimana yang terjadi pada industri geothermal alias pertambangan panas bumi yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, bersih, dan berkelanjutan.
“Teror atas hidup warga sehari-hari terus berlangsung, dimulai dari perambahan lahan produksi warga, ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, peracunan udara oleh gas H2S, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir uap, turbin raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan
jalinan kabel transmisi dan distribusinya.”
Ia menyebutkan, situasi ini tengah dialami oleh lebih dari 350 sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia.
Seluruh rerantai operasi bisnis pembangkitan listrik dengan
penambangan panas bumi, termasuk proses produksi instrumen regulasi sebagai komoditi esensial bagi industri berbahaya ini, menuntut kesukarelaan rakyat untuk dibatalkan kemerdekaannya, dicabut hak-haknya, bahkan meregang nyawa.
“Sebagaimana yang terjadi di
Sorik Marapi pada 25 Januari 2021 lalu, dimana lima warga, dua di antaranya anak-anak, meregang nyawa akibat keracunan gas H2S dari operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Sorik Marapi Geothermal Power,” sebutnya.
Namun begitu, upaya perlawanan warga tambang panas bumi ini juga semakin menguat di berbagai wilayah. Di Wae Sano dan Poco Leok, Flores, hingga kini PLTP gagal beroperasi karena penolakan dan perlawanan warga.
Hal yang sama juga dilakukan warga di Padarincang, Kabupaten Serang, yang sejak 2013 berhasil menghadang operasi PT Sintesa Banten Geothermal yang berencana menambang panas bumi di Gunung Prakasak.
Upaya korporasi tambang untuk mengemas operasi penghancuran ruang hidup warga dengan dalih ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan tidak hanya terjadi di industri geothermal.
Hal yang serupa, kata dia, juga dilakukan oleh korporasi tambang di industri nikel. Industri nikel diklaim menghancurkan ruang hidup warga, khususnya di kawasan timur Indonesia, seperti di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, hingga Sulawesi Selatan.
“Seperti yang terjadi di Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, yang terhubung dengan jejak buruk salah satu raksasa korporasi tambang di Indonesia,” ungkapnya.
Perusahaan telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari tanah air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.
Alfarhat mengatakan, sejak beroperasi di pulau Wawonii, perusahaan telah berulang kali menerobos lahan-lahan
warga para penolak tambang. Penerobosan lahan itu terjadi sejak 9 Juli 2019, 16 Juli 2019, 22 Agustus 2019, 19 Februari 2023, dan terbaru pada 9 Maret 2023.
Penerobosan ini berakibat pada kerusakan tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, cengkeh, pala, kakao, hingga kelapa.
Perusahaan juga telah mencemari sumber air warga. Sungai Tambo Siu-Siu di Desa Sukarela Jaya, yang digunakan untuk mencuci, mandi, dan air minum ini, kondisinya berubah menjadi kuning-kecoklatan akibat pembangunan jalan hauling perusahaan.
Warga terpaksa mencari sumber air lain yang letaknya lebih jauh dari tempat tinggalnya dengan kualitas yang tidak lebih baik.
Selain itu, di Banggai Kepulauan telah diterbitkan 38 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 1 Wilayah Izin Usaha Pertambangan) untuk komoditas batu gamping yang nantinya akan difungsikan untuk mengurangi kadar keasaman dari nikel itu sendiri.
“Klaim rendah karbon pun tidaklah benar, karena dibalik proses produksi kendaraan listrik masih didominasi oleh penggunaan batubara yang dibongkar dan dipasok ke smelter-smelter nikel sebagai bahan pembangkit listriknya dan tentunya memperparah kondisi Pulau Kalimantan,” paparnya.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya 49 anak yang meninggal tenggelam di bekas lubang galian tambang yang tidak direklamasi.
Pada konteks timah, beberapa waktu yang lalu Kejaksaan Agung merilis beberapa temuan penting terkait korupsi PT Timah di Bangka Belitung, Sumatera yang telah menyebabkan kerugian ekologis mencapai 300 Triliun yang juga telah dianggap sebagai kerugian negara.
Menurutnya, hal yang serupa juga terjadi di Sulawesi Barat, penetrasi industri ekstraktif mulai memperlihatkan kepongahannya dalam merampas ruang hidup warga.
Arogansi itu diperlihatkan oleh pemerintah pengurus negara melalui Kementerian ESDM pada pertengahan tahun 2022 telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang menjadikan seluruh ruang darat Provinsi Sulawesi Barat sebagai wilayah pertambangan, tanpa memperdulikan entitas yang hidup dan bergantung atas tanah tersebut.
Tidak hanya itu, beberapa waktu yang lalu Badan Geologi Kementerian ESDM telah mengusulkan dua wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) untuk komoditas Logam Tanah Jarang yang berlokasi di Mamuju, Sulawesi Barat dengan luas konsesi mencapai 9.525 Ha, juga di Kabupaten Bangka, Bangka Belitung.
Ia menyebutkan, karpet merah investasi ini ditandai dengan revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU Nomor 3 tahun 2020, serta UU Cipta Kerja hingga aturan turunannya.
Infrastruktur hukum yang bias kepentingan seperti ini, kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri, memiskinkan warga, merusak lingkungan, bahkan menghancurkan kehidupan.
“Pada Hari Anti-Tambang 2024 ini, kami menyerukan kepada warga di seluruh kepulauan Indonesia untuk terus melawan dan menggalang kerja sama melawan rezim ekstraksi,” jelasnya.
“Juga menuntut pada pengurus negara saat ini, baik yang akan datang untuk menghentikan segala tipu-tipu narasi transisi energi untuk memuluskan ekstraksi tambang dan penghancuran ruang hidup warga,” pungkas Alfarhat.