Ternate, HN – Proyek hilirisasi industri yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebagai solusi perekonomian nasional telah memunculkan persoalan serius. Di Maluku Utara tercatat lebih dari dua dekade terakhir, eskalasi penambangan nikel terus meningkat tajam. Seiring dengan peningkatan itu, operasi tambang telah melenyapkan sumber-sumber produksi ekonomi warga.

Seperti halnya kebun atau tanaman penghasil dan kawasan pesisir hingga laut yang notabene sebagai wilayah tangkap nelayan telah hancur.

Operasi tambang nikel juga menargetkan dan mengorbankan pulau-pulau kecil di Maluku Utara hingga mengakibatkan kerusakan ekologi di sekujur tubuh pulau. Padahal, sesungguhnya kawasan ini dijadikan sebagai simpul cadangan pangan warga.

Hal ini terungkap dalam diskusi dan penyampaian laporan Kertas Posisi berjudul ‘Daya Rusak Hilirisasi Nikel: Kebangkrutan Alam dan Derita Rakyat Maluku Utara’ yang diluncurkan dalam diskusi publik, Senin, Selasa, 28 Mei 2024 disalah satu hotel di Ternate.

Laporan itu disampaikan oleh Forum Studi Halmahera (FOSHAL), Trend Asia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye FOSHAL Maluku Utara, Julfikar Sangaji menyebutkan, di Maluku Utara, ada dua kawasan industri pengolahan nikel yakni Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Selain itu, daratan Pulau Halmahera juga dipenuhi dengan izin tambang nikel.

“Maluku Utara telah dipenuhi 58 izin konsesi nikel dengan luas 262.743 hektar, dan ini belum termasuk luasan kawasan industri IWIP dan kawasan industri milik Harita. Sedangkan di atas Pulau Halmahera telah dibebani 28 izin nikel. Di Halmahera Tengah, izin konsesi tambang bahkan memenuhi hampir setengah (106.039 ha dari 227.683 ha) total luas seluruh kabupaten di Provinsi Malut,” tegas Julfikar.

Ia menyebutkan, akselerasi tambang nikel telah mendorong luasnya deforestasi. Data Global Forest Watch mencatat bahwa sejak 2001 hingga 2022, Kabupaten Halmahera Tengah telah kehilangan 26,1 ribu hektar tutupan pohon, sedangkan di Kabupaten Halmahera Timur telah kehilangan 56,3 ribu hektar tutupan pohon dalam periode yang sama.

Industri nikel, kata dia, juga turut merusak Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan 7 bencana banjir bandang sejak 2020 di sekitar wilayah industri IWIP.

“Sementara limbah merusak perairan yang merupakan wilayah tangkap nelayan hingga melampaui baku mutu. Hal ini terjadi di Teluk Weda akibat operasional PT IWIP, Teluk Buli akibat operasional PT ANTAM, serta air di Pulau Obi akibat operasional PT Harita Nickel,” terangnya.

Daya rusak tambang juga terus disuarakan warga. Mardani Lagaelol, warga Desa Segea, Halmahera Tengah mengaku operasi tambang telah merusak ekologi desa mereka mulai dari pencemaran sungai hingga lahan produksi warga.

“Masyarakat Desa Sagea bergantung pada sungai Sagea. Namun eksploitasi karst dan nikel di daerah aliran sungai membuat sumber air warga ini tercemar. Selain itu, lahan sekitar Danau Yonelo yang merupakan lumbung pangan warga juga mulai diambil konsesi tambang,” ujar Mardani Legaelol, warga Desa Sagea.

Praktik industri yang serampangan telah berujung pada rangkaian kecelakaan kerja. Sejak dimulainya masa operasional PT IWIP pada 2018, telah terjadi 4 kecelakaan ledakan dan 1 kali kebakaran dengan puluhan korban buruh. Sementara ledakan smelter

IWIP akhir 2023 lalu ditambah korban selama operasional IWIP mengakibatkan 25 korban jiwa dan puluhan korban luka bakar.

Sementara itu, Muhammad Aris, akademisi Unkhair Ternate menyebutkan polusi dari pembangkit batubara yang melistriki kawasan industri terus mencemari udara Maluku Utara. Di Desa Lelilef tempat IWIP beroperasi, angka kasus infeksi saluran pernapasan (ISPA) mengalami peningkatan konsisten.

“Sejak 2019, saya sudah mendalami dampak perusakan industri nikel pada ekosistem. Hasilnya mencengangkan, Reklamasi di wilayah IWIP membuat risiko banjir rob di masa depan. Ekosistem di tempat-tempat seperti Teluk Weda sudah hancur, habitat mangrove dan terumbu karang hilang 100%. Sisa ikan yang ada sudah tidak bisa dikonsumsi karena pencemaran sudah jauh di atas ambang batas,” ujarnya.

“Pemerintah banyak mengklaim soal dampak positif ekonomi dari hilirisasi nikel. Namun kalau diukur, dampak ekonomi dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat masif dan sulit diukur,”sambungnya.

Warga Subaim, Halmahera Timur, Yudo Setiono, juga menambahkan, laporan Bank Indonesia 2023 menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara berada di angka 20 persen dan merupakan yang tertinggi secara nasional.

Namun data yang kemudian dikemas hiperbolik oleh pemerintah pusat ditunjang oleh nilai ekspor-impor terkait tambang nikel. Sebaliknya, data pemerintah menyebut bahwa angka kemiskinan meningkat drastis.

Pada Maret 2022, BPS Maluku Utara mencatat sebanyak 79,87 ribu penduduk miskin, jumlah tersebut meningkat sebanyak 83,80 ribu orang pada Maret 2023. Keuntungan dari hilirisasi nikel yang telah berjalan selama ini nampaknya hanya dinikmati segelintir orang, dan malah meningkatkan jurang kesenjangan. Sementara suara warga yang melawan kerap dibungkam dengan kriminalisasi.

“Desa Baturaja pernah mengalami banjir bandang besar-besaran. Kami menggalang protes terhadap PT ARA (Alam Raya Abadi) hingga tembus ke Mabes Polri, tapi tidak ada buahnya. Malah kepala Desa Baturaja ditahan di sel selama 8 bulan, dan saya sendiri sudah dua kali disomasi. PT ARA yang wilayah konsesinya kecil pun nampaknya kebal hukum,” bebernya.

Ismunandar, warga Buli, Halmahera Timur juga meminta agar didorong adanya moratorium industri ekstraktif terutama di Maluku Utara. Karena hingga saat ini setiap hari ada saja perusahaan-perusahaan kecil yang melakukan survei dan kaplingan-kaplingan baru di desa termasuk di Buli. Menurutnya, hilirisasi sebenarnya penghalusan dari kaplingan, ketika tanah dikotak-kotakan dan dijual ke investor luar.

“Setelah wacana hilirisasi muncul, kuasa pertambangan zaman dulu dihidupkan kembali, dengan alasan rantai produksi yang lebih dekat. Percepatan perusakan pun jadi ikut lebih cepat. Mereka menyerobot wilayah lumbung pangan, wilayah

tambak ikan, bisa (dengan mudah) diubah jadi kawasan tambang. Moratorium sebagai satu solusi. Ini perlu didorong dengan suara yang lebih besar. Karena pengrusakan sekarang ini tidak bisa lagi ditampung oleh halmahera,” katanya.

Kesaksian lain Ijan Sileleng, warga Patani mengatakan, daerah mereka kini sedang digempur oleh ekspansi tambang. Ancaman penderitaan atas kehidupan yang kini dialami warga di wilayah lain dikhawatirkan akan dirasakan warga Patani, Halmahera Tengah.

“Di Patani ini ada mata pencaharian di sektor pertanian yang bisa didorong pemerintah untuk dioptimalkan. Di Patani ada sumber pangan seperti pala, kelapa, cengkeh. Sementara ada anugerah dari alam, bahwa di Patani ada sumber pangan lain yakni laor (hewan yang muncul di pesisir Pantai di karang-karang) satu tahun sekali untuk dikonsumsi. Kami minta pemerintah jangan saja fokus pada sektor tambang, tapi juga di imbangi dengan memperhatikan keberlangsungan sektor pertanian warga,” sebut Ijan.

Sementara Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia menambahkan, Indonesia perlu menyeimbangkan kebutuhan atas pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pelibatan masyarakat.

“Karena itu negara harus mendorong transisi energi berkeadilan. Hilirisasi nikel yang serampangan hanya akan memindahkan masalah: konon Jakarta dibayangkan akan lebih bersih, namun tempat seperti Maluku dihancurkan,” ujarnya.

Selain itu, menurut ia, jika dihitung secara total dampak kerusakan lingkungan dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar.

Menjelang Hari Anti Tambang 29 Mei nanti, penting untuk mengingat bahaya dari pertambangan mineral kritis yang serampangan dan tidak bertanggungjawab. FOSHAL, Trend Asia, dan YLBHI mendesak pemerintah untuk mengembalikan wilayah dan memulihkan semua sumber kehidupan warga yang dirampas atas nama kepentingan hilirisasi industri nikel.

Pemerintah juga harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dampak kesehatan, dan hilangnya sumber penghidupan warga. Pemerintah harus mengendalikan praktik industri serampangan yang berujung pada kecelakaan kerja, serta menghentikan praktik represi dan kriminalisasi yang kerap digunakan kepada warga yang melawan.

Laporan ini juga didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Maluku Utara, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun Ternate, Perkumpulan Fajaru Maluku Utara, Perkumpulan Fakawele, Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Maluku Utara, Pilas Institut.

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *