Sejarah perencanaan tata ruang dan wilayah (RTRW) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan politik, ekonomi, dan sosial sejak masa kolonial ketika praktik perencanaan didominasi oleh model Belanda yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan kolonial.
Di kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Bandung, dan Surabaya, tujuan utama adalah mendukung kegiatan ekonomi kolonial dan kebutuhan administratif serta militer. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, fokus bergeser ke pembangunan nasional dan distribusi penduduk yang lebih merata, terutama melalui rencana pembangunan lima tahun yang dimulai pada 1960-an.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, pasca-1965, meningkatkan perencanaan yang terstruktur dan terpusat, terbukti dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memperkenalkan desentralisasi dalam pengelolaan tata ruang, memberi lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan RTRW dengan kebutuhan lokal, mengakui pentingnya pendekatan partisipatif.
Kini, perencanaan tata ruang di Indonesia semakin fokus pada aspek ketahanan terhadap bencana alam, perubahan iklim, dan keadilan sosial, serta mengutamakan pelestarian lingkungan dan pengembangan yang berkelanjutan, mencerminkan sebuah transformasi menuju pendekatan yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi tetapi juga keberlanjutan, kualitas hidup, dan inklusivitas (PUPR, 2003).
Namun dalam praktik pengembangan urban dan tata ruang menghadapi sejumlah tantangan ketika diimplementasikan di Indonesia, sering kali menghambat efektivitas dan inklusivitas dalam pencapaian tujuan perencanaan.
Salah satu kelemahan utama dari sistem ini adalah biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, yang sering kali menjadi batasan serius di Indonesia.
Pendekatan ini membutuhkan analisis yang mendalam atas berbagai faktor yang mempengaruhi wilayah atau kota, mulai dari aspek sosial hingga ekonomi.
Keterbatasan sumber daya finansial dan manusia sering kali membuat proses perencanaan tidak efisien. Ditambah lagi, proses panjang dan rumit ini dapat menyebabkan penundaan dalam pengambilan keputusan yang penting, mengurangi kemampuan pemerintah untuk merespons kebutuhan mendesak masyarakat dengan cepat.
Selain itu, kompleksitas realitas sosial di Indonesia seringkali tidak dapat ditangani dengan efektif melalui model yang bersifat top-down dan menggeneralisasi solusi. Dengan keragaman budaya, etnis, dan geografis yang tinggi, pendekatan yang mengharuskan standardisasi dapat gagal dalam mengakomodir keunikan tiap wilayah. Akibatnya, rencana yang dihasilkan mungkin tidak relevan atau bahkan kontraproduktif (Djunaedi, 2014).
Ketidakpastian dan dinamika lingkungan juga menambah tantangan bagi pendekatan ini. Faktor-faktor seperti perubahan iklim dan fluktuasi ekonomi memerlukan fleksibilitas dalam perencanaan yang tidak bisa disediakan oleh model rasional komprehensif.
Karena cenderung statis, model ini sering kali tidak mampu beradaptasi dengan perubahan cepat, membuat rencana yang telah disusun menjadi usang sebelum sempat diimplementasikan. Kurangnya partisipasi publik dalam proses perencanaan adalah kritik utama lainnya. Di Indonesia, di mana nilai demokrasi dan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan sangat dijunjung tinggi, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dapat menimbulkan masalah legitimasi dan penerimaan.
Solusi yang dihasilkan tanpa masukan yang cukup dari masyarakat sering tidak sesuai dengan kebutuhan dan preferensi lokal, menimbulkan resistensi dan kegagalan dalam implementasi. Pendekatan top-down dalam pengambilan keputusan seringkali tidak mencerminkan kepentingan yang beragam di masyarakat.
Keputusan yang diambil oleh sekelompok kecil elit perencana mungkin mengabaikan kebutuhan dan kepentingan yang lebih luas, menghasilkan kebijakan yang tidak adil atau tidak efektif, dan pada akhirnya menurunkan kepercayaan publik terhadap proses perencanaan itu sendiri.
Terakhir, adanya kesenjangan antara perencanaan dan implementasi sering kali meningkatkan biaya dan memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana. Meskipun rencana yang komprehensif mungkin terlihat baik di atas kertas, banyak faktor yang dapat menghambat realisasi di lapangan, seperti keterbatasan anggaran, kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah, atau kurangnya kemampuan teknis. Kesenjangan ini seringkali menambah kompleksitas dan menantang efektivitas dari sistem perencanaan rasional komprehensif.
Adaptive Collaboration Planning
Adaptive Collaboration Planning (ACP) adalah sebuah konsep perencanaan perkotaan yang bertujuan untuk merespons dan beradaptasi dengan cepat terhadap dinamika kebutuhan perkotaan yang kompleks.
Ini mengakui kecepatan perubahan urban, tantangan degradasi lingkungan, dan ketidakcukupan peraturan perencanaan yang kaku dalam menghadapi realitas perkotaan yang terus berubah.
Dengan mengedepankan pendekatan holistik dan terintegrasi, ACP menuntut pemikiran yang melampaui aspek fisik seperti infrastruktur dan zonasi, melainkan juga memasukkan dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam perencanaan.
Kerja sama lintas sektor yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang responsif dan adaptif, memastikan bahwa setiap keputusan dan intervensi dapat beradaptasi dengan perkembangan situasi.
Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan ruang perkotaan yang efisien, berkelanjutan, inklusif, dan adaptif, yang mendorong pertumbuhan organik dan mengintegrasikan teknologi canggih untuk meningkatkan manajemen kota.
ACP memprioritaskan penggunaan data dan analitik dalam pengambilan keputusan, serta penerapan teknologi seperti sistem informasi geografis (GIS) dan Internet of Things (IoT) untuk analisis spatial dan integrasi data real-time.
Dengan pendekatan ini, ACP tidak hanya mengatasi tantangan urban saat ini tetapi juga secara proaktif mempersiapkan kota untuk masa depan yang tidak terduga dengan mempromosikan inovasi dan adaptasi yang berkelanjutan, mengakui bahwa kota, seperti organisme hidup, memerlukan perawatan yang dinamis dan responsif untuk tetap vital dalam menghadapi tantangan mendatang (Susskind et. al, 2010).
Elemen pertama ACP adalah pengakuan terhadap sifat dinamis dari morfologi perkotaan. Kota-kota bukanlah entitas statis; mereka adalah organisme yang terus berkembang yang dibentuk oleh kekuatan ekonomi, sosial, dan teknologi.
Metode perencanaan konvensional sering kali tidak dapat mengikuti perubahan cepat ini, mengakibatkan kebijakan yang ketinggalan zaman yang tidak lagi memenuhi kebutuhan penduduk. ACP mengatasi ini dengan menganjurkan proses perencanaan yang responsif dan dapat diadaptasi. Ini bisa melibatkan proses pengembangan iteratif, di mana rencana secara teratur diperbarui dan direvisi berdasarkan data baru dan keadaan yang berubah.
Dengan mengadopsi pendekatan yang fleksibel, kota-kota dapat lebih baik menanggapi tantangan dan peluang baru yang muncul. Pijakan lain dari ACP adalah fokus pada keberlanjutan lingkungan. Ketika area perkotaan berkembang, mereka sering kali memberi tekanan besar pada sumber daya alam dan ekosistem.
Model pengembangan konvensional, yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada pertimbangan lingkungan, dapat menyebabkan degradasi ekologis yang signifikan. ACP menantang paradigma ini dengan mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan ke dalam inti perencanaan perkotaan.
Ini melibatkan tidak hanya pelestarian ruang hijau tetapi juga merancang lingkungan perkotaan yang meminimalkan jejak ekologis melalui infrastruktur dan praktik berkelanjutan. Misalnya, menggabungkan atap hijau, bangunan hemat energi, dan sistem transportasi umum berkelanjutan dapat membantu mengurangi dampak lingkungan kota sambil meningkatkan kualitas hidup bagi penduduknya.
Selanjutnya, ACP secara kritis mengatasi masalah instrumen perencanaan yang kaku. Perencanaan perkotaan konvensional sering kali bergantung pada aturan dan regulasi tetap yang bisa terlalu kaku untuk mengakomodasi kebutuhan lokal yang unik atau situasi yang tidak terduga.
ACP mengusulkan pendekatan kolaboratif dan partisipatif untuk perencanaan, di mana kebijakan diciptakan bersama dengan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan termasuk penduduk, bisnis, dan organisasi masyarakat sipil. Pendekatan kolaboratif ini memastikan bahwa rencana lebih berakar pada realitas lokal dan memiliki dukungan publik yang lebih besar.
Dengan melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan, ACP memfasilitasi proses perencanaan yang lebih demokratis yang menghormati dan menggabungkan perspektif dan keahlian yang berbeda.
Untuk memahami ACP dapat diilustrasikan seperti mengobati kota seperti tubuh manusia sangat. Sama seperti tubuh manusia yang memerlukan perawatan berbeda untuk berbagai penyakit.
Contohnya, obat untuk sakit kepala, perawatan gigi untuk masalah gigi, kota juga memerlukan strategi yang beragam yang disesuaikan dengan berbagai masalahnya. Misalnya, area perumahan mungkin diuntungkan dari tindakan penenangan lalu lintas dan ruang hijau untuk meningkatkan kelayakan hunian, sementara zona industri mungkin memerlukan kontrol lingkungan yang lebih kuat dan peningkatan infrastruktur untuk menangani lalu lintas berat dan permintaan produksi.
Meskipun perawatan ini berbeda, tujuan keseluruhan tetap konsisten: memelihara dan meningkatkan kesehatan keseluruhan kota. Perencanaan Kolaborasi Adaptif juga menekankan pentingnya skalabilitas dan replikasi inisiatif yang berhasil. Strategi yang berhasil baik di satu bagian kota harus diadaptasi dan direplikasi di bagian lain, meskipun dengan modifikasi yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal.
Pendekatan yang dapat diskalakan ini tidak hanya memastikan bahwa inovasi yang berhasil dimaksimalkan tetapi juga memfasilitasi strategi pengembangan perkotaan yang kohesif yang selaras dengan tujuan yang lebih luas dari kota.
Dalam implementasi Adaptive Collaboration Planning (ACP), diperlukan kepemimpinan yang tegas dan visi yang terdefinisi dengan baik dari para perencana kota serta pembuat kebijakan. ACP juga bergantung pada sistem yang efektif untuk penggalian dan analisis data, karena evaluasi yang berkelanjutan dan umpan balik merupakan aspek krusial dalam perencanaan yang bersifat adaptif.
Dalam konteks ini, teknologi memegang peranan vital, dengan alat-alat seperti Sistem Informasi Geografis (SIG), monitoring data secara real-time, dan platform digital untuk partisipasi masyarakat, semua berkontribusi secara signifikan terhadap pengoptimalan proses perencanaan kota.
Pendekatan ini tidak hanya memastikan bahwa kebijakan dan intervensi tetap relevan dan efektif di tengah kondisi yang dinamis, tetapi juga memperkuat keterlibatan dan transparansi dengan publik, memungkinkan respons yang lebih cepat dan lebih tepat terhadap kebutuhan yang berubah-ubah dari komunitas urban.
Perbedaan Utama
Adaptive Collaboration Planning (ACP) dan Comprehensive Planning (CP) merupakan dua metode dalam perencanaan spasial yang menampilkan kontras yang signifikan dalam pendekatan mereka. ACP diutamakan untuk mendukung fleksibilitas dan adaptasi, mempromosikan suatu pendekatan yang sangat responsif terhadap perubahan cepat dalam dinamika sosial-ekonomi.
Pendekatan ini menekankan pentingnya memperbarui kebijakan dan rencana berdasarkan umpan balik dan situasi terkini, menjadikan ACP sangat dinamis dalam menghadapi tantangan perkotaan yang terus berubah.
Sebaliknya, CP memiliki karakter yang lebih kaku dan statis. Di Indonesia, CP seringkali dirancang sebagai dokumen perencanaan jangka panjang yang mencakup banyak aspek dan detail, tetapi tidak selalu cepat dalam menanggapi perubahan yang tidak terduga.
Rencana ini cenderung mengutamakan stabilitas dan prediksi jangka panjang, yang bisa mengakibatkan kurangnya fleksibilitas dalam menghadapi perubahan mendadak atau kebutuhan mendesak yang muncul.
Dalam hal proses pengambilan keputusan, ACP menonjol dengan advokasi kuatnya untuk partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, sektor swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Ini bertujuan untuk menghasilkan solusi yang lebih inklusif dan yang mempertimbangkan kepentingan beragam kelompok, menjadikan proses perencanaan lebih demokratis dan mewakili berbagai perspektif yang ada di masyarakat.
Pendekatan ini mengakui bahwa kebijakan dan rencana yang efektif sering kali berasal dari kolaborasi dan input yang luas dari berbagai pihak yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut.
Sementara itu, dalam CP, meskipun ada upaya untuk melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan, kegiatan ini masih sering kali dipimpin dan diarahkan oleh ahli perencanaan dan pemerintah. Ini bisa mengakibatkan kurangnya representasi dari beberapa kelompok dalam masyarakat, karena mungkin tidak semua suara dan kebutuhan masyarakat terakomodasi dengan baik dalam pembuatan kebijakan.
Mengenai pendekatan terhadap keberlanjutan, ACP sangat memfokuskan pada integrasi keberlanjutan lingkungan ke dalam semua aspek perencanaan. Pendekatan ini mendukung pengembangan yang berkelanjutan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, memastikan bahwa aspek-aspek lingkungan menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan yang diambil.
ACP memandang keberlanjutan sebagai komponen esensial yang harus terjalin dalam semua level perencanaan, mendorong praktek yang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan resiliensi komunitas.
Di sisi lain, meskipun CP mencakup elemen keberlanjutan, pendekatan yang lebih konvensional dan kaku sering kali membuatnya kurang efektif dalam menangani isu-isu lingkungan yang cepat berubah.
Hal ini dapat menyebabkan pendekatan yang diambil dalam CP tidak selalu sesuai dengan tantangan lingkungan terkini, karena mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengintegrasikan inovasi dan perubahan kebijakan yang bertujuan untuk perlindungan lingkungan.
Perbedaan pendekatan antara ACP dan CP ini menunjukkan pentingnya adaptasi dan fleksibilitas dalam perencanaan perkotaan modern.
Karena dinamika perkotaan dan tantangan lingkungan terus berkembang, perencanaan yang efektif memerlukan kerangka kerja yang dapat cepat beradaptasi dan merespons kebutuhan yang berubah.
ACP menawarkan kerangka kerja tersebut dengan mengedepankan kolaborasi, partisipasi, dan keberlanjutan, sementara RTRW membutuhkan evolusi untuk lebih mengintegrasikan aspek-aspek tersebut agar tetap relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan perkotaan di masa depan.
Strategi Penerapan ACP di Masa Depan
Mengintegrasi pendekatan Adaptive Collaboration Planning (ACP) dalam sistem perencanaan Indonesia memerlukan serangkaian strategi yang inovatif dan fleksibel untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan perkotaan dan tata ruang.
Strategi ini bertujuan untuk memperkenalkan praktik yang lebih dinamis dan adaptif yang dapat menangani tantangan urban yang berkembang pesat. Salah satu langkah awal yang penting adalah pembaruan regulasi.
Kebijakan perencanaan yang ada perlu direvisi untuk menambah fleksibilitas dalam Rencana Komprehensif, memungkinkan perubahan yang lebih cepat dan mudah disesuaikan dengan kondisi terkini. Ini berarti mengembangkan mekanisme baru yang lebih responsif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi dengan cepat, sehingga perencanaan dapat terus relevan dan efektif dalam menghadapi perubahan yang tidak terduga.
Selanjutnya, peningkatan partisipasi publik sangat krusial. Dengan menerapkan platform digital dan offline yang canggih, partisipasi publik dapat diperluas dan dibuat lebih efektif.
Teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk mengumpulkan masukan dan umpan balik dari warga secara real-time, memungkinkan suara masyarakat lebih didengar dalam proses perencanaan. Hal ini tidak hanya meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dibuat lebih mencerminkan kebutuhan dan keinginan penduduk lokal.
Strategi masa depan ACP sangat bergantung pada integrasi data dan teknologi canggih seperti Sistem Informasi Geografis (GIS), big data analytics, dan pemodelan data spasial. GIS membantu merekam, menganalisis, dan memvisualisasikan data geografis untuk pemantauan real-time perkembangan perkotaan dan kondisi lingkungan, sementara big data analytics mengidentifikasi pola dan tren dari data besar.
Pemodelan data spasial memungkinkan pembuatan model 3D untuk simulasi dan visualisasi dampak proyek sebelum pelaksanaannya. Teknologi Internet of Things (IoT) dan Remote Sensing melalui citra satelit memperkaya data untuk analisis kondisi terkini, mendukung keputusan berbasis bukti oleh pembuat kebijakan.
Software seperti UrbanSim dan CityEngine (ESRI, 2024), serta platform partisipasi publik digital seperti Social Pinpoint, memungkinkan simulasi skenario urban dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan.
Teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) menyediakan pengalaman immersive untuk visualisasi rencana perkotaan. Mobile GIS dan aplikasi terkait memfasilitasi pengumpulan data lapangan secara efisien dan real-time.
Selain itu, edukasi dan pelatihan bagi perencana dan pembuat kebijakan sangat penting, dengan program pelatihan komprehensif untuk memperkenalkan prinsip ACP, keterlibatan masyarakat, dan aspek keberlanjutan dalam perencanaan. Selain itu, program pelatihan yang komprehensif harus diselenggarakan untuk mengenalkan mereka pada prinsip-prinsip ACP, termasuk cara melibatkan masyarakat secara efektif dan mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam perencanaan.
Pendidikan berkelanjutan ini akan memastikan bahwa para profesional di bidang ini dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan ACP dalam pekerjaan mereka.
Pelaksanaan proyek percontohan merupakan elemen penting dalam strategi integrasi ACP (Adaptive Collaboration Planning) dalam perencanaan perkotaan di Indonesia. Melalui implementasi proyek-proyek ini di berbagai kota atau wilayah, wawasan berharga dapat diperoleh tentang bagaimana ACP bekerja dalam praktik nyata, memungkinkan evaluasi efektivitasnya dalam berbagai konteks dan penyesuaian yang diperlukan sebelum diadopsi secara lebih luas.
Pengalaman dari proyek-proyek percontohan ini menjadi bahan pembelajaran yang sangat berharga dalam merumuskan rencana yang lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan cepat di lingkungan sosial dan ekonomi.
Integrasi ACP memiliki potensi besar untuk memberikan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi perubahan tersebut, menawarkan respons yang lebih adaptif terhadap tantangan lingkungan masa depan, membantu menciptakan kota-kota yang tidak hanya berkelanjutan tetapi juga inklusif dan tanggap terhadap kebutuhan warganya.
Melalui strategi yang dirancang dengan hati-hati, ACP bisa menjadi fondasi yang kuat untuk perencanaan perkotaan yang lebih interaktif, adaptif, dan berkelanjutan. Proyek percontohan memungkinkan penilaian sejauh mana ACP dapat diintegrasikan dalam perencanaan kota secara efektif, dengan observasi terhadap dinamika lokal dan penyesuaian yang relevan, memungkinkan pengembangan rencana yang lebih kohesif dan sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap kota atau wilayah.
Selain itu, proyek ini juga memungkinkan identifikasi hambatan dan tantangan yang mungkin muncul, sehingga solusi yang lebih tepat dapat dirumuskan sebelum diterapkan secara lebih luas.
Dalam konteks perencanaan perkotaan di Indonesia, ACP menawarkan banyak manfaat, terutama bagi kota-kota yang mengalami pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang cepat, menghadapi berbagai tantangan seperti infrastruktur yang tidak memadai, kemacetan lalu lintas, dan masalah lingkungan.
Dengan mengintegrasikan ACP, kota-kota dapat menjadi lebih tanggap terhadap perubahan dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap tantangan yang muncul, yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan dan inklusif, di mana semua warga negara dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.
Implementasi ACP juga melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta, memastikan bahwa semua perspektif dan kebutuhan dipertimbangkan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, serta mendorong rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama terhadap pembangunan kota yang lebih baik.
Sebagai contoh, di Bologna, Italia, Foster dan Christian Iaione bekerja sama dengan pemerintah lokal untuk menerapkan model tata kelola kota baru yang disebut Care and Regeneration of the Urban Commons.
Proyek ini melibatkan penyusunan peraturan yang memungkinkan kota untuk membuat pakta kolaborasi dengan komunitas, organisasi nirlaba, dan universitas. Pakta-pakta ini membantu pengelolaan sumber daya perkotaan seperti taman, plaza, dan perumahan terjangkau secara desentralisasi.
Mereka juga membentuk laboratorium lingkungan, yang memungkinkan komunitas berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya. Pendekatan ini tidak hanya memberdayakan penduduk setempat, tetapi juga mendorong budaya eksperimen dan tanggung jawab bersama dalam pembangunan kota. Di New York City, Foster menerapkan prinsip-prinsip Perencanaan Kolaborasi Adaptif untuk mengatasi kesenjangan digital di daerah-daerah yang kurang terlayani.
Bersama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah kota, organisasi komunitas seperti Silicon Harlem, dan perusahaan swasta seperti Microsoft, Foster membantu mengembangkan jaringan broadband berkecepatan tinggi yang dimiliki oleh komunitas.
Proyek ini mencontohkan model inovasi yang melibatkan sektor publik, swasta, akademik, sipil, dan komunitas. Inisiatif ini tidak hanya menyediakan infrastruktur digital penting, tetapi juga membentuk struktur tata kelola yang melibatkan Dewan Penasihat Komunitas, sehingga penduduk setempat memiliki suara dalam pengelolaan dan perluasan jaringan. Pendekatan kolaboratif ini memenuhi kebutuhan mendesak sambil membangun kapasitas jangka panjang untuk pembangunan yang dipimpin oleh komunitas (Shutkin & Bush, 2021).
Kedua contoh ini menunjukkan betapa efektifnya Perencanaan Kolaborasi Adaptif dalam menciptakan kota yang lebih tangguh dan inklusif.
Dengan mendesentralisasikan pengambilan keputusan dan mendorong kemitraan lintas sektor, proyek-proyek ini berhasil menunjukkan bagaimana tata kelola perkotaan dapat diubah untuk melayani semua penduduk dengan lebih baik, terutama mereka yang berada di komunitas rentan.
Dengan demikian, ACP bukan hanya menjadi pendekatan teknis, tetapi juga proses sosial yang memberdayakan masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan lingkungan mereka.
Strategi pelaksanaan proyek percontohan untuk ACP dalam perencanaan perkotaan di Indonesia menawarkan banyak peluang untuk inovasi dan peningkatan kualitas hidup di perkotaan, dengan memanfaatkan pelajaran dari proyek percontohan ini untuk mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi, yang tidak hanya menanggapi tantangan saat ini tetapi juga mempersiapkan kota-kota untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
ACP, dengan fleksibilitas dan adaptabilitasnya, dapat menjadi alat yang efektif dalam menciptakan kota-kota yang lebih tanggap, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia. (*)
______
Penulis: Alfath Satria Negara Syaban | PhD Candidate Geography and the Environment, University of Alabama – USA