Hujan turun sejak sore, angin kencang menyapu pesisir Kapaleo, Kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Sementara di laut tampak gelap, malam sudah turun, nelayan-nelayan yang lain telah menambatkan perahunya.

Minggu, 21 Januari 2024, pukul 20.38, Usman Alif (58 tahun) belum juga tiba. Padahal, menurut istrinya, ia biasanya kembali ke darat sebelum magrib.

Nuzakaido, istri Usman menyebutkan, ada nelayan lain lagi yang belum masuk. Malam itu, tiga perahu memang tak kunjung tiba ketika hujan masih awet turun seantero Pulau Gebe.

Nuzakaido tampak gelisah, sesekali mengusap wajah, duduk di depan pintu rumah singgah yang berada tepat di pesisir Kapaleo–kawasan tambatan perahu nelayan.

Tak lama kemudian, datang istri nelayan yang lain. Beberapa kali bolak-balik menggunakan payung, menerobos rinai hujan, melihat ke laut lepas yang gulita, menanti sang suami tiba.

Kondisi seperti ini memang kerap terjadi karena wilayah tangkapan nelayan semakin jauh. Semenjak perusahaan tambang beroperasi, para nelayan memang harus berburu jauh keluar dari perairan Pulau Gebe.

Menurut Nuzakaido, ini kali pertama suaminya tak memberi kabar hingga matahari benar-benar tenggelam. Tapi, peristiwa hilang kontak dan terbawa arus jauh dari titik tangkapan yang bermil-mil sungguh bukanlah kali pertama.

Bagaimana tidak, perairan Gebe memang sudah tak seperti dulu. Kalau dulu, hanya cukup membuang jangkar di depan Pulau Gebe sudah bisa membawa pulang banyak ikan. Perairan Gebe memang kian keruh karena tingginya aktivitas tambang di sekitarnya.

Aktivitas nelayan di depan Pulau Gebe dan tampak kapal perusahaan sedang ditambatkan di sekitarnya. Foto (Rifki Anwar/halmaheranesia)

Dalam beberapa tahun terakhir, ia tak ingat betul sudah berapa banyak nelayan yang bernasib seperti suaminya. Tapi, jauhnya wilayah tangkapan ikan selalu beresiko bagi nelayan Kapaleo.

Untunglah, saat hari berganti dan matahari meninggi, sekiranya pukul 12.40, Usman baru saja tiba dari laut. Orang-orang berkumpul, bertanya kondisi Usman, bagaimana bisa ia telat menambatkan perahunya petang kemarin.

Sementara satu nelayan lain telah tiba lebih dulu sejak pagi, dan satu lainnya dilaporkan sudah berlabuh di Pulau Gag, Papua Barat Daya.

Usman bercerita, sebenarnya ia sudah menarik jangkarnya dan hendak kembali ke darat. Tapi cuaca tiba-tiba berubah, mendung menutup Pulau Gebe. Ia bergegas, hanya saja busi mesinnya sontak macet.

“Jadi sempat ganti busi. (Malah) hilang jejak sudah, hilang arah sudah,” cerita Usman.

Ia lantas mengikuti gerak arus dan berusaha mencari tujuan kembali ke Gebe. Tapi hari makin malam, dan kabut kian tebal menutup jarak pandangnya.

Posisinya malah sudah berada dekat dengan Pulau Gag. Selama berjam-jam mencari arah, Usman justru kehabisan bahan bakar.

Usman benar-benar gelisah, jaringan komunikasi di Pulau Gebe benar-benar buruk. Ia tak dapat menghubungi istrinya. Begitu juga yang dirasakan sang istri.

Di Gebe, jaringan komunikasi hanya ada sesekali. Kadang ada, kadang tidak. Di Gebe, internet 4G pun kadang muncul di waktu-waktu tertentu, dan tak selalu bisa dimanfaatkan. Jaringan telepon pun sangat sulit digunakan. Beberapa di antara mereka pun tak punya GPS (Global Positioning System).

Masalah ini pula yang membuat nelayan di Pulau Gebe juga kesulitan mengakses informasi terkait cuaca dari otoritas terkait.

Barulah pada sekitar dini hari, ia melihat ada sebuah kapal ikan yang melintasi tak jauh darinya. Ia lalu memberikan kode melalui cahaya senter—sekali dua kali, begitu terus, sampai kode balasan datang dari kapal tersebut.

Usman kemudian dihampiri, diberikan bantuan, ditunda hingga ke sebuah tanjung di Pulau Gebe, dan diberikan sedikit bahan bakar agar bisa kembali ke Kapaleo.

***

Aktivitas nelayan Kapaleo memang selalu rutin setiap hari, apalagi saat cuaca sedang baik. Mereka selalu keluar awal pagi, dan baru akan kembali saat matahari benar-benar miring ke barat.

Ada sekitar 33 unit perahu berkapasitas 15 PK di Kapaleo. Satu unit perahu dimiliki oleh satu nelayan. Kampung ini adalah kampung nelayan di Pulau Gebe, dan sebagian besar dari mereka berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara.

Nelayan-nelayan di Kapaleo sudah bertahun-tahun menopang pangan hasil laut di wilayah Pulau Gebe dan sekitarnya. Mereka selain memancing ikan dasar, banyak di antaranya yang menangkap jenis ikan pelagis, seperti cakalang dan tuna. Harga ikan dasar, cakalang, dan tuna per kilogram di Pulau Gebe pada kisaran Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu.

Perahu nelayan yang ditambatkan di pesisir Kapaleo, Pulau Gebe. Foto (Rifki Anwar/halmaheranesia)

Mereka di sini tak mendaratkan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hanya bermodal kepercayaan, dibo-dibo atau pedagang ikan datang mengambil ikan, lalu dijual ke Pasar Kapaleo. Jika habis terjual, pembagian keuntungannya sebesar 80 persen untuk nelayan, 20 persen untuk pedagang.

Usman sendiri sudah dari tahun 1998 berprofesi nelayan. Saat ini, ia sebagai ketua nelayan Kapaleo. Ia tahu betul masalah nelayan di pulau kecil yang luasnya hanya 224 kilometer persegi ini. Salah satunya makin jauhnya wilayah tangkapan ikan sejak masuknya perusahaan tambang nikel.

“Wilayah tangkapan semakin jauh sampai ke Raja Ampat (Papua) sana,” kata Usman.

Dalam 10 tahun terakhir, wilayah tangkapan ikan memang diakuinya sudah semakin jauh. Dulu, ia bisa memancing ikan dasar sekitar 2 mil, hanya di depan Pulau Gebe. Namun, sekarang bisa sampai 12 mil. Bahkan untuk nelayan ikan pelagis, bisa sampai ke sejumlah rumpon yang sudah dekat dengan Papua, di antaranya 22 mil, 30 mil, 40 mil.

Tapi Usman harus merogoh saku lebih banyak. Artinya, ia perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli bahan bakar kalau wilayah tangkapan semakin jauh.

“Kalau sudah sampai Raja Ampat ini perongkosan besar,” tuturnya.

Ia memilih berburu ikan sampai ke perairan Raja Ampat karena di sana volume tangkapannya bisa sampai ratusan kilogram atau kisaran 300 kilogram. Dulu, di dekat Pulau Gebe pun sudah bisa menembus puluhan kilogram.

Usman Alif, nelayan Kapaleo, Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Foto (Rifki Anwar/halmaheranesia)

“Sekarang 5 kilogram me so (sudah) tara (tidak) bisa. Karena pencemaran (tambang) itu. Tapi kalau torang (kami) pemancing ini tidak pengaruh (bisa keluar lebih jauh),” ungkap Usman.

Pulau Gebe memang sejak lama dikeruk perusahaan tambang. PT Aneka Tambang (Antam) sendiri sudah 25 tahun atau sejak 1970-an hingga 2004 beroperasi di Pulau Gebe.

Setelah Antam keluar dari pulau ini, dan berganti dengan perusahaan tambang nikel lainnya, punggung Pulau Gebe makin tampak luka-luka akibat eksploitasi penambangan. Pemandangan ini bisa terlihat saat memasuki Pulau Gebe dengan kapal. Tampak dari pegunungan hingga pesisir, pulau kecil ini sudah terkelupas.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang ditayangkan di Minerba One Map Indonesia, sejumlah nama perusahaan yang kini memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Gebe di antaranya PT Karya Wijaya dengan luas wilayah 500 hektare, PT Aneka Niaga Prima 459.66 hektare, PT Smart Marsindo 666.30 hektare, PT Bartra Putra Mulia 1.850 hektare, PT Mineral Trobos 315 hektare, PT Lopoly Mining Cdx 47.40 hektare, dan PT Anugrah Sukses Mining dengan luas 503 hektare.

Tak hanya itu, ada juga area konsesi bekas tambang yang dilelang oleh Kementerian ESDM yang dikenal dengan Blok Kaf pada tahun 2023. Kawasan Blok Kaf ini mencapai 914,50 hektare.

Kawasan lelang ini pada Februari 2024 sudah dimenangkan PT Mineral Jaya Molagina dengan nilai kompensasi sebesar Rp 700 miliar. Blok Kaf ini sebelumnya wilayah konsesi PT Gebe Sentral Nickel dan PT Elsaday Mulia.

Saat berada di atas kawasan pegunungan Blok Kaf, deforestasi begitu nyata, tampak bekas tambang menganga, terlihat lubang-lubang sedalam 2-3 meter—sampai ke pesisir Sanaf Kacepi.

Muharam Abdurasyd (60 tahun) atau akrab disapa Tete Safi, seorang nelayan di Desa Umera juga merasakan hal yang sama dengan Usman Alif.

Siang itu, perahu tempel membawa kami menuju Teluk Ingalo, tempat Tete Safi membudidayakan ikan. Dalam bahasa lokal Gebe, Ingalo sendiri memiliki arti tempat ikan.

Saat perahu perlahan memasuki kawasan ini, terlihat hamparan mangrove berderet sepanjang pesisir dan satu dua nelayan sedang memancing.

Dulu, Tete Safi sering memancing ikan di Teluk Ingalo. Tapi sejak masuknya perusahaan tambang di Desa Umera, yakni PT Bartra Putra Mulia, kondisi perairan di teluk ini semakin parah.

Saat kami tiba di Teluk Ingalo, warna perairan tampak kecoklatan kemerah-merahan. Bagaimana tidak, jetty milik PT Bartra Putra Mulia berada tepat di teluk ini. Bukit di pesisirnya sudah terkelupas dikeruk alat berat perusahaan.

Jalan hauling perusahaan pun sekitar 50 meter dari pesisir, tepat di atas tebing, dan di bawahnya terdapat rumah singgah milik Tete Safi. Rumah panggung kayu ini kerap ditempati bersama cucunya, Firly Ikbal, yang kini masih di bangku kelas 3 SD.

Muharam Abdurasyd atau akrab disapa Tete Safi bersama cucunya di perairan Teluk Ingalo, Pulau Gebe. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

Bekas tanah hasil kerukan alat berat pun berjatuhan, memenuhi area kebunnya yang juga berada di pesisir Teluk Ingalo.

Kondisi itu yang membuat Tete Safi lebih memilih membudidayakan ikan di area mangrove, tak jauh dari rumah singgahnya. Jenis ikan budidayanya adalah ikan bandeng. Jenis ikan seperti kerapu, bubara, dan gutila yang dulunya banyak di teluk ini diakuinya sudah sulit didapatkan.

“Jadi sengsara, lebe bae (lebih baik) piara ikan. (Ikan) tambah jauh, baru dia (ikan) susah makan,” katanya.

Hari itu, sehabis menyiapkan makanan untuk cucunya di rumah singgah, ia mengajak kami melihat lokasi budidaya ikan miliknya. Bersama cucunya menggunakan perahu kecil sembari mendayung, menyisir perlahan di tepian.

Tambaknya tak begitu besar, sekira 10 x 15 meter. Ia belum lama membuat usaha budidaya ini. Baru sekitar tiga bulan.

Di lokasi ini ternyata malah lebih dekat dengan jetty dan jalan hauling milik PT Bartra Putra Mulia. Hanya berjarak sekitar 10 meter dari tambaknya, lumpur dari aktivitas alat berat perusahaan sudah menutupi pepohonan mangrove—warnanya kemerahan, sangat tebal.

Kondisi lumpur dari aktivitas tambang yang menutup perakaran mangrove di sekitar Teluk Ingalo, Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

 

DKP Halteng Tak Bisa Apa-Apa

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Halmahera Tengah (Halteng), Mufti Abd. Murhum, saat ditemui pada Rabu, 24 Januari 2024 mengaku tak bisa berbuat banyak ketika menghadapi keluhan nelayan yang berhubungan dengan aktivitas pertambangan.

“Kalau ada kejadian, tiba-tiba ada dampak akibat aktivitas di darat, misalnya industri pertambangan segala macam. Torang laporkan ke teman-teman di provinsi yang punya kewenangan. Kewenangan pengawasan, kewenangan monitoring, kewenangan memberi sanksi,” ucap Mufti.

Ia menjelaskan, sejak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah kabupaten sudah tak memiliki kewenangan.

“Aktivitas yang berdampak ke laut, torang hanya bisa lihat saja begitu. Untuk aksi sampai melarang, itu sudah kewenangan DKP provinsi,” jelasnya.

Kendati begitu, Mufti mengaku, pihak provinsi jarang turun untuk melaksanakan monitoring ke Halmahera Tengah atau sampai ke Pulau Gebe. Bahkan rapat koordinasi mengenai isu penting seperti ini pun jarang dilakukan.

Padahal, ia mengaku di Pulau Gebe tak ada satu pun perusahaan tambang yang memiliki dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Dokumen ini semestinya dimiliki perusahaan tambang ketika aktivitasnya menyentuh ruang laut.

Mengenai dampak ore nikel yang jatuh ke perairan Pulau Gebe, baginya tak begitu masalah. Ia menjelaskan, lumpur tersebut tak akan bertahan lama di depan pulau.

“Itu (lumpur) satu hari sudah hilang. Karena sudah di laut lepas,” katanya.

Ia justru menilai lumpur tanah dari aktivitas penambangan tak berbahaya bagi biota laut. Menurut Mufti, dapat dikatakan berbahaya ketika pihak perusahaan membuang hasil proses nikel yang sudah bercampur dengan zat kimia.

Namun terkait keluhan makin jauhnya wilayah tangkapan, ia setuju jika hal itu dampak dari pertambangan.

Ia memberi gambaran seperti yang terjadi di Kecamatan Weda Tengah. Di sana aktivitas penangkapan sebelum adanya perusahaan tambang cukup dengan 1 mil atau 1,5 mil. Tapi sekarang, sudah semakin jauh.

“Kenapa demikian? Karena pada waktu tertentu, material tanah (tambang) terbawa ke sana. Yang kedua, aktivitas kapal tongkang, tugboat. Tentu ini kan pasti terganggu biota-biota di situ. Terganggu ikan-ikan di situ pasti akan berpindah ke 3 mil atau 4 mil atau 7 mil,” tuturnya.

Humas PT Bartra Putra Mulia, Jalaludin Ramalan, saat dikonfirmasi melalui aplikasi pesan mengatakan, kondisi perairan di sekitar lokasi perusahaan masih dalam kondisi aman, terutama di area jetty.

“Karena ada penanganan berupa pembuatan sediment pond atau tempat penyaringan  air atau lumpur  yang akan mengarah ke laut,” ucap Jalaludin.

Ia menyebutkan, pihaknya juga menjaga kondisi ekosistem mangrove yang ada di area tersebut. Jalaludin pun membantah jika mereka tak punya dokumen KKPRL.

“Kalau terkait izin pemanfaatan ruang laut kita dari PT Bartra sudah ada,” katanya, singkat.

 

Nelayan Gebe Makin Terimpit

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun (Unkhair), Dr. Muhammad Aris, mengatakan masalah ini umumnya terjadi di wilayah yang konsentrasi melakukan ekstraksi sumber daya alam.

Dampak dari aktivitas tersebut membuat biota-biota yang selama ini menjadi target nelayan, baik untuk konsumsi dan yang memiliki nilai ekonomis tinggi sudah mengalami pergeseran.

“Karena habitatnya memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk bisa bertahan,” ucap Aris, Senin, 26 Februari 2024.

Ia menyebutkan, tekanan ekologi yang begitu besar terhadap ekosistem perairan menyebabkan ikan harus melakukan migrasi.

Menurutnya, pergeseran habitat ini karena sifat alamiah dari biota ketika terjadi perubahan di luar ambang batas atau batas minimumnya.

Kondisi pohon mangrove yang kritis karena tertutup lumpur dari aktivitas tambang di sekitar Teluk Ingalo, Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

“Ini yang terjadi hampir di semua perairan yang mengalami pencemaran. Saya langsung jawab pencemaran karena hasil riset saya hampir semua di wilayah perairan Obi, Teluk Buli, Teluk Weda, dan Teluk Kao itu semua mengalami degradasi yang begitu tinggi,” ungkapnya.

Perairan yang disebutkan Aris itu memang merupakan area konsesi tambang, yakni Pulau Obi di Halmahera Selatan, Teluk Weda di Halmahera Tengah, Teluk Buli di Halmahera Timur, dan Teluk Kao di Halmahera Utara.

Ketika wilayah tangkapan ikan semakin jauh, maka akan berdampak terhadap ekonomi nelayan. Nelayan dengan kapasitas tangkap yang kecil baginya tidak mampu mencukupi atau memenuhi biaya produksi.

Ini menjadi masalah besar ketika keberadaan tambang benar-benar mengimpit wilayah yang menjadi mata pencaharian nelayan. Padahal dari laut lah, nelayan dapat terus menyambung hidup dan mengasapi dapur mereka.

Saat biaya produksi tinggi, maka sebagian nelayan akan memilih beralih pekerjaan. Sebagian dari mereka pun melaut hanya sekadar untuk makan sehari-hari, bukan lagi untuk usaha.

“Hasil riset terbaru ini kan sepanjang Teluk Weda itu sudah tiga pengusaha besar, pengusaha kapal pajeko sudah tidak bisa lagi (melaut), sudah berhenti. Kenapa? Karena hasil yang didapatkan sudah tidak bisa menutupi biaya produksi,” katanya.

Ia menjelaskan, kerusakan lingkungan perairan yang ada di Pulau Gebe hampir serupa yang terjadi di Teluk Buli, Halmahera Timur.

Di sana, tak ada pabrik smelter, sehingga penambangan yang dilakukan sekadar mengeruk ore nikel, kemudian mengangkutnya, dan membawanya hingga ke perusahaan penerima, seperti di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda Tengah.

Penambangan seperti itu akan mengubah kontur pulau-pulau kecil, apalagi pengerukan atau penambangan yang dilakukan kian masif. Sedimentasi dari pengerukan itu pun sangat mudah terbawa ke perairan dan mengancam ekosistem biota laut.

“Lumpur ini terikat semua logam berat di situ. Ketika masuk perairan dia tetap kan mengendap. Sedimentasi, mengendap di dasar itu sehingga terumbu karang itu mati semua. Habitat-habitatnya ikan sudah terganggu. Limpasan tanah setiap tahun bertambah. Nah kalau tidak ada treatment khusus untuk mengendalikan aktivitas mereka, maka kerusakan akan berlanjut terus,” pungkas Aris.

_____

Liputan ini merupakan bagian dari program Pasopati Journalist Fellowship 2023 bertajuk “Mengungkap Dampak dan Ancaman Hilirisasi Nikel Bagi Keberlangsungan Ekologi di Indonesia” yang didanai oleh Yayasan Auriga Nusantara.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *