Budaya pembatalan (cancel culture) menjadi fenomena sosial yang marak terjadi di era digital saat ini. Beberapa media sosial memegang peran penting dalam memperkuat dan memperluas fenomena cancel culture (Amalina et al 2023).
Istilah ini merupakan pelaksanaan pembatalan atau sering disebut sebagai bentuk pemboikotan seseorang atau perusahaan karena dianggap pernyataan, tindakan dan perilakunya bertentangan dengan norma-norma atau nilai sosial. Sebuah artikel jurnal yang ditulis Altamira & Movementi menjelaskan bahwa pelabelan cancel culture telah banyak disematkan pada publik figure yang mengecewakan atau dianggap tidak berperilaku baik.
Cancel culture sering terjadi karena dipicu oleh isu-isu sensitif, seperti isu ras, gender, agama, politik, atau hak asasi manusia. Fenomena cancel culture juga terjadi karena adanya pengaruh besar dari sosial media. Seperti dikutip sebuah artikel jurnal yang ditulis oleh Mardeson & Mardesci, sosial media memiliki kekuatan besar dalam membuka portal dan membuat seseorang secara kolektif bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo bagi orang lain.
Sosial media memiliki kekuatan besar untuk membuat fenomena ini berlaku dikalangan masyarakat. Karena adanya kecepatan pertukaran dan penyebaran informasi yang dapat dilakukan melalui sosial media, tak hanya itu, penerimaan informasi juga mudah didapat karena jangkauannya yang luas. Selain itu, media sosial juga memiliki kekuatan dalam menentukan perilaku publik.
Salah satu platform yang paling diminati oleh masyarakat saat ini adalah aplikasi Tiktok. Ditulis Budi et al (2022), pada tahun 2021 disebutkan, dari 274,9 juta penduduk Indonesia, 170 juta diantaranya telah menggunakan media sosial, salah satunya adalah aplikasi Tiktok. Berdasarkan penelitian yang berjudul ‘Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Minat Generasi Post Millenial Indonesia Terhadap Penggunaan Aplikasi Tik-Tok’ ditulis Mahardika dkk menyatakan, negara Indonesia menduduki peringkat ke 4 pengguna aplikasi Tiktok terbanyak di dunia.
Tiktok memiliki peran yang sangat signifikan, terutama pada fenomena cancel culture. Tiktok merupakan salah satu media sosial yang ramai dengan pemberitaan cancel culture (Santosa, 2023). Dengan adanya media baru seperti Tiktok, fenomena cancel culture ini mampu membentuk opini publik.
Platform tersebut dijadikan wadah bagi pengguna untuk menyebarkan cerita, informasi, dan pendapat yang mendukung atau menentang individu atau entitas tertentu. Seperti interaksi pengguna melalui komentar, retweet, like, stich, dan share memiliki potensi besar untuk memperkuat kampanye pembatalan dan memengaruhi citra serta reputasi dari target yang terlibat (Amalina et al., 2023).
Selain mampu membentuk opini publik, adanya pengaruh Tiktok terhadap fenomena cancel culture juga mampu membentuk sebuah komunitas atau kelompok untuk melakukan aksi pembatalan. Melalui media sosial para warganet mengajak orang lain dengan beramai-ramai menolak tokoh yang bersangkutan (Juniman, 2023).
Hal ini mengindikasikan bahwa cancel culture tidak hanya merupakan fenomena individual, namun juga dapat menjadi gerakan kolektif yang dikoordinasikan secara online oleh komunitas atau kelompok tertentu.
Seperti kasus yang berkembang, yaitu korupsi timah yang melibatkan Harvey Moeis suami dari Sandra Dewi. Nama Sandra Dewi yang merupakan seorang influencer atau aktif di dunia entertainment juga terkena dampak dari tindakan yang dilakukan oleh suaminya. Setelah suaminya ditetapkan sebagai tersangka, Sandra Dewi juga ikut diberhentikan atau putus kontrak sebagai brand ambassador produk pokana family.
Hal ini disebabkan adanya aliran informasi yang begitu cepat, melalui penyebaran video dan berita yang beredar di media massa maupun platform media sosial seperti Tiktok. Melalui saluran-saluran ini, informasi yang beredar memiliki potensi untuk memengaruhi opini dan persepsi masyarakat, pada awalnya bersikap mendukung dan suka terhadap kehidupan Sandra Dewi. Namun, kehadiran masalah ini membawa dampak buruk dan menolak kehadiran Sandra Dewi sebagai brand ambassador.
Bahkan, reaksi masyarakat pada sosial media terutama di Tiktok cukup beragam. Berdasarkan observasi penulis melalui sosial media yaitu Instagram, terdapat sekelompok orang yang menyerang akun pribadinya, dengan memberikan komentar negatif, akibatnya Sandra Dewi menonaktifkan komentar di akun Instagramnya. Observasi yang lain melalui aplikasi Tiktok juga menunjukkan banyak pengguna yang memberikan komentar pada video-video terkait informasi Sandra Dewi. Sehingga, banyak nya pendapat dan respon pengguna yang mengekspresikan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap kasus yang melibatkan Sandra Dewi.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana Sandra Dewi telah menjadi subjek cancel culture, dimana salah satu brand telah mengambil tindakan pemutusan kontrak, dan masyarakat telah mengambil tindakan dalam menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap perilaku atau tindakan serta gaya hidup Sandra Dewi saat ini.
________
Penulis: Masya Pratiwi dan Zafira Miska
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala