Halteng, HN – Forum Studi Halmahera (FOSHAL) Maluku Utara mendesak Pemerintah agar mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, PT Aneka Niaga Prima (ANP) yang berada di atas Pulau Fau, Kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye FOSHAL Julfikar Sangaji mengatakan, PT ANP telah menduduki lahan sebesar 459.66 hektar untuk kegiatan penambangan nikel. Luas konsesi tambang ini hampir mencaplok seluruh isi ruang darat Pulau Fau.
“Yang sangat disayangkan adalah Pulau Fau sebagai pulau kecil dengan ukuran begitu mungil. Persis luas pulau ini hanya sekitar 5,45 kilometer persegi atau 545 hektar dengan garis keliling sebesar 17.052 meter,” kata Julfikar, melalui rilisnya, Sabtu, 30 Maret 2024.
Julfikar menyebutkan, ukuran pulau yang sangat kecil namun melalui pemerintah pulau ini harus dikelola perusahaan tambang nikel.
PT ANP mengantongi izin tambang Bupati Halmahera Tengah melalui SK: 540/KEP/336/2012 dengan tahapan kegiatan saat ini berstatus Operasi Produksi (OP) dan berakhir izin sampai Desember 2032.
“Izin tambang ini keluar dari tangan Bupati Halmahera Tengah yang saat itu masih dijabat oleh Gubernur Maluku Utara sekarang ini Al Yasin Ali,” katanya.
Padahal Pulau Fau sendiri, kata Julfikar, pulau yang dikelilingi oleh ekosistem mangrove sebagaimana khas dari geografis pulau kecil pada umumnya. Mangrove berperan dalam membentengi wilayah pesisir dari ancaman abrasi termasuk menyerap karbondioksida dan kembali menghasilkan oksigen.
“Mestinya tidak ada kegiatan penambangan terhadap pulau yang ukurannya di bawah 2.000 kilometer persegi, karena itu menabrak aturan,” sebutnya.
Pelarangan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk aktivitas penambangan mineral sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Dengan dasar itu, apabila Pemerintah tidak membebaskan Pulau Fau dari ancaman tambang dan memaksa adanya kegiatan penambangan nikel di atas pulau ini maka sama halnya dengan Pemerintah tidak taat terhadap aturan alias melanggar konstitusi yang berlaku,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, penambangan di pulau tersebut akan menimbulkan dampak daya rusak lingkungan yang begitu hebat yang seiring dengan itu akan ada luka ekologi pada sekujur tubuh pulau serta kerusakan pesisir dan laut bahkan mengancam kelestarian isi dari laut sekitar.
“Dengan begitu keperkasaan Pulau Fau ini pudar bersamaan dengan hilangnya fungsi layanan alam,” ujarnya.
Lanjut Julfikar, Pulau Fau juga sebagai benteng terakhir perlindungan ekosistem serta biota laut di sekitarnya termasuk di Pulau Gebe yang hanya berjarak dengan Pulau Fau sekitar 475 meter. Pun keberadaan pulau ini telah dianggap warga Gebe sebagai perisai dari kampung yang ada di selatan Pulau Gebe, yakni Desa Kapaleo, Desa Kacepi, dan Desa Yam.
Keganasan tambang sudah meninggalkan kerusakan ekologi di pulau-pulau kecil seperti yang sudah terjadi di Pulau Gebe—pulau yang berdampingan langsung dengan Pulau Fau. Kemudian Pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Halmahera Timur. Pulau pulau tersebut tergolong kecil yang kini sekarat.
“Pemerintah seharusnya belajar dari berbagai kasus kerusakan ekologi karena tambang nikel bukan hanya ingin meruap sebanyak-banyaknya keuntungan. Alih-alih keuntungan untuk rakyat lokal justru hanya kepada pengusaha,” jelasnya.
Dengan demikian pihaknya mendesak Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara agar mengeluarkan surat rekomendasi perihal pencabutan IUP Nikel PT ANP di atas Pulau Fau serta meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mencabut IUP Nikel PT ANP di Pulau Fau.