
Mulanya tempat itu hanya pekarangan biasa, berada tepat di belakang rumah. Tapi kini hamparan tanaman selada sudah berjajar rapi di lokasi itu. Sardi Imran (38 tahun) adalah orang di balik kebun hidroponik tersebut.
Sardi bukan seorang lulusan dengan latar pendidikan pertanian. Ia lulusan SMK dengan jurusan Ekonomi Manajemen.
Awalnya, ia benar-benar tak punya pengetahuan tentang itu. Bermodal belajar dari orang-orang terdekat dan menonton kiat-kiat di internet, ia akhirnya bisa mendapat cuan dari hasil pertanian.
Rabu malam, 28 Februari 2024, halmaheranesia menemui Sardi di kebun hidroponik miliknya, tepatnya di Kelurahan Kastela, Kota Ternate, Maluku Utara.
Ia bercerita, mulai mengenal dunia pertanian setelah bertemu dengan Fandi Dahrun, seorang pemuda di kelurahan tersebut. Ia dan Fandi pun menyepakati membuat kebun.
Tapi, saat itu mereka hanya menanam tomat. Ia dan Fandi bisa menghasilkan 4 ton sekali panen atau sekitar 5 ribu pohon tomat. Kebun ini tak bertahan lama. Harga pasar yang tak menentu menjadi salah satu penyebabnya.
“Pas masa panen (tomat) harganya turun, kondisi begitu sebagai petani kan torang (kami) down nih,” ungkap Sardi.
Ia lantas mencari cara untuk tetap bertahan di jalur ini, meski tak lagi menanam tomat. Ide hidroponik pun datang. Kali ini ia memilih sendiri.
Namun, semua upaya itu harus dilaluinya dengan tidak instan. Sardi harus belajar dari saudaranya di daratan Oba, Tidore Kepulauan. Di sana ia makin mematangkan pengetahuannya tentang pertanian dengan menanam cabai keriting.
Hanya saja, masalah lama datang lagi. Ya, harga pasar. Saat itu, harga cabai keribo turun sampai Rp 9.000 per kilogram. Padahal, biasanya harga cabai keribo bisa menembus angka Rp 50.000 – Rp 100.000 per kilogram.
Sardi lalu kembali ke Ternate, sekitar tahun 2021. Ia tak putus asa. Ia kemudian bertemu seorang pegawai yang juga menetap di Kastela. Sardi dan pegawai tersebut pun menyepakati membuat kebun hidroponik di pesisir pantai.
Setelah merasa cukup punya pengetahuan tentang sistem perkebunan tersebut, ia akhirnya memutuskan untuk membuatnya sendiri di pekarangan rumahnya.
“Tapi kerja sama deng dia (pegawai) masih tetap jalan sampai sekarang,” kata Sardi.
Ia pun memanfaatkan halaman belakang dapurnya. Lahan ini berukuran 20 x 8 meter. Sardi mulai merakit pipa—menghubungkan setiap pipa tersebut, lalu membuat lubang-lubang kecil di atas pipa.
Ia menyiapkan sekitar 2 ribu lubang tanam untuk selada. Namun, Sardi tak menanam secara serentak. Ia mengatur waktu semaian secara bergiliran dengan maksud agar masa panennya tak sekali jalan, dan permintaan pasar tetap dapat ia penuhi. Masa panen selada ini berkisar 35-40 hari.
Tak hanya merakit sambungan media tanam, ia pun memasangkan plastic UV sebagai atap kebun. Sementara setiap sisi kebun ini ditutup menggunakan jaring paranet.
Bahan-bahan ini ia dapatkan berkat bantuan dari Pertamina melalui dana corporate social responsibility (CSR). Selain itu, Sardi juga mendapatkan sedikit bantuan dari kelurahan berupa uang dan pupuk.
Kini, sudah jalan dua tahun lebih ia mengelola usaha kebun hidroponik miliknya. Hasil panen selada sekarang sudah dipasok ke salah satu retail di Ternate.
Setiap kali panen, ia bisa menghasilkan 200 ikat atau bungkusan. Setiap 1 ikat, kisaran 1-2 tanaman selada, tergantung ukurannya. Sementara 1 ikat atau bungkusan ia jual dengan harga Rp 7.000.
Sardi akhirnya bisa merasakan hasilnya setelah jatuh bangun merintis usaha pertanian. Namun, bukan berarti ia tak punya kendala.
Saat ini, ia berharap sistem tanamnya dapat berjalan lebih baik lagi. Apalagi cara kerja hidroponik yang menggunakan mesin pompa sering berhadapan dengan masalah pemadaman listrik.
“Kadang kalau lampu mati itu masalah, (saya berharap) bisa pakai panel surya kayaknya agak bagus, tapi belum ada. Kalau genset arus listrik tidak stabil, sayang pompa (nanti rusak),” katanya.
Sardi kini pun sedang merakit mimpinya, ke depan kebun hidroponiknya bisa ‘naik kelas’ menggunakan teknologi yang lebih baik. Mimpi itu tentu ia harapkan dapat menjadi kenyataan dan tumbuh subur seperti selada yang ia semai hingga panen. (*)