Ternate, HN – Kondisi hutan pulau di Provinsi Maluku Utara dalam pusaran kehancuran yang tak terkendali. Kehancuran kawasan Wallacea ini seiring dengan semakin derasnya gelombang mesin panambang nikel yang terus beroperasi menambang bijih nikel.
Hal itu disampaikan Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Forum Studi Halmahera (Foshal), Julfikar Sangaji, melaluri rilisnya yang dikirim ke halmaheranesia, Kamis, 8 Februari 2024.
Pernyataan itu diucapkan Julfikar Sangaji dalam diskusi yang digelar di Kedai Komune, Ternate, Maluku Utara pada Senin, 5 Februari 2024.
Ia mengatakan, sekarang ini ada sekitar 213.960 hektar daratan di Maluku Utara, termasuk pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh perusahaan penambangan bijih nikel. Artinya deforestasi hutan tanpa henti akan terus terjadi.
“Metode tambang terbuka yang dioperasikan oleh penambang nikel, adalah peristiwa memilukan karena hutan akan dibabat habis lalu digali tanahnya hingga ada sampai puluhan meter, dan itu semua demi ore,” kata Julfikar.
Sementara itu, Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri mengatakan industri nikel di Maluku Utara yang dilabelkan sebagai agenda transisi energi justru sebaliknya, bahwa seluruh proses industri nikel masih tinggi menghasilkan emisi gas rumah kaca.
“Misalnya, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kawasan industri nikel pulau Obi mencapai 3.489.944 ton CO2e pada 2022 atau setara dengan 6 kali emisi Timor Leste pada 2021,” sebut Juru Kampanye Trend Asia itu.
Novita menyebutkan, kalau transisi ini tidak berkeadilan dengan memindahkan masalah yang terjadi di wilayah perkotaan ke wilayah yang memiliki sumber daya nikel sehingga adanya beban ganda yang dihadapi di wilayah tersedia nikel, karena harus menanggung dampak dari krisis iklim dan dampak kerusakan lingkungan.
“Pada saat yang sama juga kalau rakyat sesungguhnya makin terjebak ke dalam jurang pemiskinan struktural, tak hanya itu, buruh industri nikel juga kerap mengalami kecelakaan kerja yang makin sering terjadi bahkan belum sejahtera kehidupan buruh,” katanya.
Senada dengan itu, perwakilan Walhi Maluku Utara Astuti Kilwow, mengatakan rezim hari ini telah memberikan karpet merah bagi kegiatan ekstraktivisme dan tidak hanya daratan besar yang terus dihantam, tapi juga wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil pun tak luput dari ekskavasi untuk pertambangan nikel.
“Wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil di Teluk Weda maupun Pulau Obi turut dikeruk untuk memenuhi permintaan pasar global atas nikel,” ucapnya.
Sementara itu, Akademisi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Khairun, Firlawanti Lestari mengatakan kalau nilai ekonomi hutan juga cukup tinggi apabila dikelola dengan baik. Seperti ekosistem hutan mangrove di Kelurahan Guraping, Oba Utara, Tidore Kepulauan.
“Total nilai ekonomi pada kawasan hutan mangrove itu dalam satu tahun itu mencapai sekitar delapan miliar,” sebutnya.
Namun, ia masih menyayangkan karena masih banyak pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat sumber daya hutan secara komprehensif, khususnya untuk manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar.