Halbar, HN – Proyek panas bumi atau geotermal yang akan dikerjakan oleh PT Geo Dipa Energi (GDE) di Desa Idamdehe, Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, pada tahun 2024 ini akan mengancam ruang hidup petani dan nelayan.

Tong (kami) punya hidup kan harap (kebun) itu,” ucap Roni Ila, seorang petani di Desa Idamdehe, Jailolo, Senin, 11 Desember 2023.

Saat ditemui halmaheranesia, Roni menunjuk langsung titik pengeboran yang ada di kebunnya. Di sana terdapat sebuah pipa kecil yang ditancapkan ke tanah—sebagai penanda titik pengeboran.

Lahannya sekitar 2 hektare. Di atas lahan ini, terhampar tanaman seperti kelapa dan pala yang menjadi penyambung hidup Roni dan keluarga.

Roni mengaku, ia sudah pernah bertemu langsung dengan pihak perusahaan. Pemasangan penanda titik bor itu pun atas persetujuannya. Ia juga sudah pernah mengikuti sosialisasi mengenai geotermal.

Dalam sosialisasi tersebut, para petani maupun warga yang lahannya masuk di area proyek panas bumi akan mendapat kompensasi selama proses eksplorasi berjalan.

“Mereka hanya kontrak lahan. Bahasa (perusahaan) itu bukan ganti rugi, tapi ganti untung,” ucap Roni.

Hanya saja, ia tidak begitu mengetahui jelas yang dimaksud dengan ganti untung tersebut.

Selain Idamdehe, Desa Idamdehe Gamsungi pun akan terancam proyek ini, karena hanya bersebelahan dengan Idamdehe.

Apalagi pekerjaan warga di dua desa yang menjadi kawasan proyek adalah petani. Data kedua desa ini menyebutkan, Desa Idamdehe memiliki 80 persen petani, sementara Idamdehe Gamsungi sebanyak 70 persen petani. Sisanya berasal dari pertukangan, pegawai, hingga satu dua nelayan—yang sekadar memenuhi kehidupan sehari-hari.

Pihak PT GDE sendiri memang sudah melakukan sosialisasi mengenai Proyek Strategis Nasional (PSN) ini di Idamdehe dan desa sekitar yang masuk di kawasan industri.

Ada sebanyak 5 titik pengeboran, yakni 1 titik di Desa Bobo, dan 4 titik di Idamdehe. Namun, perusahaan akan mendahulukan tahapan eksplorasi untuk 2 titik di Idamdehe.

Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1787 K/33/MEM/2007, peta kawasan kerja pertambangan panas bumi di Jailolo sebesar 13.580 hektare.

Irawan Awad, nelayan Desa Saria pun mengaku menolak kehadiran perusahaan tersebut.

Desa Saria ini memang bersebelahan dengan Desa Bobo, yang merupakan salah satu kawasan titik pengeboran proyek panas bumi.

Titik pengeborannya memang berada tak jauh dari pesisir. Posisinya di tebing dan jika berdiri di atasnya, hamparan pohon kelapa tampak jelas dan lanskap laut membentang. Di pesisir ini, sebuah bukit membelah Bobo dan Saria, sangat dekat.

Saria memang dikenal sebagai kampung nelayan di Halmahera Barat. Mayoritas penduduk menggantungkan hidup mereka dari hasil laut. Data desa menyebutkan, dari 930 jiwa penduduk di Saria, sekitar 85 persennya adalah nelayan.

“Karena torang pe kekhawatiran kan dia (perusahaan) pe limbah tadi, jangan sampai dia pe dampak tra (tidak) bagus untuk torang nelayan juga,” ucap Irawan.

Bupati Halmahera Barat, James Uang, pada akhir November 2023 sempat merespons mengenai ini di hadapan sejumlah awak media di kantor bupati.

“Sekarang kan titik (pengeboran) di Desa Idamdehe dan di sana tidak ada yang menolak,” ucap James.

James menyebutkan, proyek panas bumi tidak memberikan dampak buruk, karena ia mengaku pada tahun 2021 pernah melihat langsung industri ini di Patuha, Bandung.

“Jadi sebenarnya tidak ada dampak, malah memberi tanaman yang subur di sekitar itu, karena kita sudah melihat langsung ke sana. Saya, Pak Wakil, dan sejumlah SKPD itu pernah ke Patuha lihat itu,” katanya.

Belum Ada AMDAL

Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Maluku Utara, Tunas Agung Jiwa Brata, pada Oktober 2023 melalui siaran pers menyampaikan, pembiayaan proyek geotermal di Halmahera Barat sebesar US$30 juta atau jika dirupiahkan mencapai Rp 476.520.000.000.

Ia mengatakan, hingga Oktober 2023 proyek ini telah sampai pada penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL – UPL) Environmental and Social Impact Assessment atau Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA), dan dokumen turunan safeguards lainnya, seperti LARAP (Rencana Aksi Penyediaan Lahan dan Pemukiman Kembali atau Land Acquisition and Resettlement Action Plan).

“Sesuai rencana, diharapkan pada tahun 2024-2025 telah memasuki tahapan pengeboran sumur eksplorasi setelah melalui tahap persiapan dan desain,” kata Tunas Agung.

Perusahaan menargetkan pada Juni 2024 sudah pada tahapan persetujuan lingkungan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Barat, Adrijal Hena, mengatakan proses eksplorasi akan berlangsung tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tapi menggunakan dokumen UKL – UPL.

“Iya (AMDAL belum ada). Namanya kajian lingkungan ini, sekarang ini kan tahapan eksplorasi, belum eksploitasi. Eksplorasi itu ada berapa tahapan, itu kan diawali UKL – UPL, kemudian baru terakhir menuju ke AMDAL-nya, begitu,” ucap Adrijal Hena, saat dihubungi melalui aplikasi pesan singkat, Selasa, 2 Januari 2024.

Ia mengatakan, kegiatan panas bumi tentu membutuhkan AMDAL. Namun, prosesnya harus melalui tahapan demi tahapan. Adrijal justru menyarankan agar menanyakan perihal ini langsung ke pemerintah pusat.

Mengancam Ekologi

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengatakan peristiwa ekologi dan dampak yang ditimbulkan dari tambang panas bumi ini telah terjadi di beberapa daerah, seperti di Dieng di Jawa Tengah, Mataloko di Flores, Mandailing Natal di Sumatera Utara, dan sejumlah daerah lainnya.

Di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Mataloko, misalnya. Di sana berulang kali terjadi semburan lumpur panas dan gas di tengah perkebunan warga sejak 2009.

Hal itu membuat kesehatan dan produktivitas pertanian warga mulai terganggu. Bahkan sifat korosif dari dampak panas bumi ini juga membuat atap seng rumah warga cepat mengalami karatan.

“Saya ambil contoh di Ulumbu, Manggarai, NTT (beroperasi sejak 2011), lahan pertanian warga seperti kakao kemudian cengkih sudah tidak berbuah lagi,” kata Melky.

Direktur Walhi Maluku Utara, Faisal Ratuela, menambahkan industri geotermal tentu membutuhkan air yang sangat besar.

Proses ini akan berdampak pada reservoir atau tempat yang dipergunakan untuk menyimpan suatu cadangan seperti air. Cadangan air itu bisa saja mengalami penurunan dan tentu berdampak pada pertanian warga yang membutuhkan sumber air tanah yang cukup tinggi.

“Saya kira penggunaan air itu sangat banyak, dengan wilayah kampung mereka tak memiliki sumber air yang cukup, sehingga kemungkinan (pihak perusahaan) bisa saja menggunakan air laut yang akan difilter untuk digunakan dalam proses kegiatan panas bumi,” paparnya.

Benar saja, peta kawasan water intake (asupan air) industri ini memang menggunakan air sungai, yakni Sungai Lako Akelamo. Water intake adalah sistem pengolahan air yang berfungsi mengambil air dari sumbernya dan mengarahkannya ke dalam saluran menuju turbin air.

Saluran sistem pengolahan air untuk proyek panas bumi ini juga melewati pesisir Desa Lako Ake Lamo dan Marimbati, kampung-kampung yang sumber hidupnya juga bergantung dari hasil laut.

Ia mengatakan, penggunaan air laut itu tentu akan berdampak serta mengancam ruang hidup nelayan yang berada di wilayah tersebut.

“Apalagi potensi biodiversity atau keanekaragaman hayati di kawasan Jailolo sangat tinggi, saya kira akan berdampak,” pungkas Faisal.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *