Ternate, HN – Ikatan Pemuda dan Pelajar Fitu (IP2F) Kota Ternate, Maluku Utara, menggelar dialog publik dengan tema, “Orang Kampung Bacarita Politik, Jejak Pemikiran Legislator” pada Kamis, 18 Febuari 2024 di Kelurahan Fitu.
Diskusi ini menghadirkan enam orang Calon DPRD Dapil 2 Ternate Selatan-Moti sebagai narasumber, di antaranya Yahya Alhadad Partai Perindo, Erna Rasid Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Mulyono Dahlan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Fauji Muhammad Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ade Rahman Lamadihami Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan Rudi Subuh Partai Nasional Demorat (NasDem).
Koordinator LP2F Anyong Urip mengatakan, kegiatan ini bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui sejauh mana gagasan caleg sebagai sebuah konsepsi untuk mewakili kepentingan dalam mendorong agenda perubahan di Ternate Selatan, khususnya di Kelurahan Fitu.
“Kita tahu bersama bahwa paling krusial di Kelurahan Fitu adalah masalah lahan kuburan, petani kangkung banyak kehilangan tanah, masalah sampah yang belum dapat dikelola dengan baik yang dampaknya pada kesehatan dan merusak ekosistem laut,” katanya.
Ia menjelaskan, diskusi seperti ini sangat penting agar masyarakat bisa tahu kemampuan caleg dan tidak salah memilih.
Menurutnya, caleg punya kemampuan bagus bisa diukur tidak sebatas ucapan, akan tetapi rasa peduli dan tindakan nyata, termasuk rekam jejaknya.
“Harapan besar kita semua adalah terciptanya demokrasi yang sehat dan terbuka. Yang lebih penting lagi adalah tolak politik uang dan masyarakat dapat memilih orang yang serius berjuang untuk rakyat,” pungkas Anyong.
Salah satu caleg, Yahya Alhadad, dari Partai Perindo Nomor urut 3, mendapat apresiasi oleh warga saat menjelaskan masalah utama Kota Ternate, termasuk di Kelurahan Fitu.
“Mengapa saya lebih menekankan soal manusia? Pertama misalnya petani kangkung yang tanahnya digusur dan profesi ini sudah terancam punah. Hal ini dikarenakan tanah di Ternate makin sempit dan pengusaha demi meningkatkan bisnisnya mereka melakukan berbagai cara untuk memperoleh lahan, termasuk bekerja sama dengan pemerintah untuk memperoleh status legalitas tanah dan ini yang terjadi di Fitu,” ucap Yahya Alhaddad.
“Padahal tanah-tanah tersebut adalah warisan leluhur dan secara hukum diakui oleh hukum adat. Masalah tanah di Kota Ternate ini juga berkaitan dengan persoalan penataan ruang yang tidak efektif dan karena pemerintah tidak melakukan kajian yang tidak melibatkan aspek sosial-budaya,” sambungnya.
Ia menjelaskan, pemerintah lebih mengutamakan ekonomi-politik sehingga yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi daerah. Karena tata ruangnya kacau-balau sehingga ketika hujan deras sering terjadi banjir.
Misalnya di Fitu ini daerah ketinggian dan sistem drainase mestinya dibangun juga sumur serapan. Hampir semua drainase di Ternate tidak ada sumur serapan sehingga saat hujan deras mereka yang di ketinggian akan nyaman, tetapi masyarakat daratan rendah menjadi sasaran banjir.
Kedua, kata Yahya, terkait masalah sampah. Pengelolaan sampah secara efektif bukan soal memperbanyak pengangkut sampah (armada sampah roda tiga) di tingkat kelurahan karena justru dijadikan proyek yang menguntungkan segelintir orang.
“Bagi saya, yang harus dilakukan adalah melibatkan semua RT, imam, badan syara, pemuda, ibu PKK di semua kelurahan dan anggaran pembelian armada sampah roda tiga digunakan untuk membayar upah mereka,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Yayo ini juga menjelaskan, perlu ada pemilahan sampah, baik organik maupun nonorganik agar dapat dikelola atau didaur ulang dan menjadi salah satu pendapatan sampingan ibu-ibu, pemuda, dan remaja.
“Contoh misalnya sampah organik dikelola jadi kompos yang bisa dijual dan menekan pengeluaran petani. Sedangkan botol (minuman) bisa dijual sebagai air isi ulang dan plastik lainnya pun bikin hiasan rumah, bunga, dan kreativitas lainnya yang dapat dijual,” paparnya.
Selain itu, perlu memasukkan kurikulum kesehatan lingkungan di tingkat sekolah dasar. Siswa-siswi Sekolah Dasar diajarkan tentang hidup sehat dan ramah lingkungan.
“Kalau ini dilakukan, maka, pengelolaan sampah secara efektif dapat diwujudkan. Karena kesadaran ramah lingkungan dibentuk pada anak di tingkat Sekolah Dasar dan ketika orang dewasa membuang sampah pada sembarangan tempat, maka yang menegurnya adalah anak-anak,” cetusnya.
Yahya juga menjelaskan soal sektor pendidikan informal. Menurutnya, pihak kelurahan dan organisasi pemuda dapat memanfaatkan mahasiswa untuk mengajarkan pendidikan ramah lingkungan di kelurahan.
Misalnya memanfaatkan mahasiswa KKS, KKN, dan atau menyurat kepada organisasi kemahasiswaan untuk mengajarkan anak-anak tentang pendidikan lingkungan.
Ketiga, lanjut Yahya, sebagai caleg yang paling penting adalah memahami sumber masalah yang dihadapi masyarakat.
Ia menyebutkan, untuk memecahkan suatu masalah dibutuhkan riset serius yang kemudian direkomendasikan kepada pemerintah dan tugas dewan adalah mengawalnya hingga diakomodir. Apabila pemerintah tidak mengakomodir, maka dewan dapat menggunakan hak vetonya dan tidak mengesahkan APBD.
“Yang keempat, kita para caleg juga harus melakukan pendidikan politik pada masyarakat demi untuk menciptakan pemilih yang cerdas. Tetapi, selama ini yang saya amati justru para caleg mengganggap masyarakat seperti barang murahan yang dapat dibeli suaranya dengan uang senilai dua ratus ribu rupiah,” sebutnya.
Baginya, cara itu merendahkan martabat manusia karena ketika mereka menduduki kursi kekuasaan, maka yang dilakukan adalah mengembalikan biaya pemilu atau modal dan akhirnya kepentingan masyarakat diabaikan.
“Praktik politik seperti ini sangat berbahaya untuk demokrasi kita. Karena politik dipandang sebagai transaksi dagang dan merusak mental generasi kita ke depannya. Merusak dalam artian bahwa politisi kita mengajarkan generasi berwatak korupsi. Inilah mengapa pentingnya meningkatkan kesadaran, perubahan sikap, dan perilaku masyarakat manusianya,” pungkas Yahya Alhaddad.