POLITIK adalah hal paling substansial dalam kehidupan bernegara dan mengatur tentang kehidupan masyarakat. Artinya politik adalah cara berpikir, bersikap dan bertindakan untuk menata keharmonisan, kemajuan, keadilan, stagnasi, kemunduran kehidupan masyarakat. Defenisi politik tersebut, saya gunakan untuk membaca masalah politik—calon legislatif tahun 2024 dan keterkaitannya dengan problem sampah di Kota Ternate.

Hiruk pikuk kampanye calon legislatif kini tengah berlangsung dan di sana, di panggung politik kita dapat menyaksikan pencitraan para politisi. Meskipun tidak semua, akan tetapi, sebagian besar caleg belum diketahui pasti karakteristiknya oleh publik. Masyarakat dibuat bertanya-tanya tentang rekam jejaknya, apa yang sudah dilakukannya dan apa gagasan dasar mereka—panggung politik didominasi oleh pencitraan. Fenomena ini bukan lagi hal baru, dan bukan karang fiksi, bahwa praktek perpolitikan kita selama ini masih terus dibaluti dengan politik kekuasaan atau hasrat melanggengkan kekuasaan.

Pencitraan dan Penumpukan Sampah

Salah satu upaya caleg mendekatkan dirinya dengan masyarakat diperlukan strategi khusus, mengingat karena tingkat persaingan semakin kuat antara caleg. Salah satu strategi khusus tersebut, adalah mengemas komunikasi politik dengan baik. Sub elemen komunikasi politik paling penting adalah pencitraan politik. Pencitraan dipahami secara sederhana sebagai penggambaran yang diterima oleh masyarakat/khalayak sebagai efek dari arus informasi baik langsung maupun tidak langsung—melalui perantara media.

Pecitraan dalam dunia politik berbanding lurus dengan eksistensi informasi yang menampilkan segala sesuatu yang berbeda dengan makna aslinya. Kondisi ini dikenal dengan abad “citraan” (the age of the image), disebabkan realitas dunia yang dibangun oleh teknologi informasi muktahir disesaki oleh citra-citra dengan beragam perwujudan. Yasraf Amir Piliang menyebut “abad citraan” dimana dunia dikuasai oleh representasi dan yang nyata sesungguhnya adalah yang tampak (termasuk simbol), bukan dibalik simbol.

Simbol menjadi bagian penting dari perjalanan seorang caleg maupun suatu partai politik, sehingga mereka melakukan transfomasi simbol (visual) dengan tujuan-tujuan tertentu. Sebagaimana dikemukakan Piliang, sebagai abad “citra-an”, setiap entitas tampil dengan wujud yang berbeda dengan makna sesungguhnya. Realita politik yang terbangun menunjukkan, isu keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, merupakan wacana simbol yang menjadi centra point sebagai “jualan”, terlepas apakah wacana itu dapat diwujudkan atau tidak.

Politik pencitraan sangat terkait erat dengan simbol-simbol yang dibangun oleh caleg, baik dari lambang, ideologi, slogan, maupun simbol-simbol lainnya. Penggunaan “pencitraan” sebagai salah satu cara melanggengkan kekuasaan seiring mekanisme hasrat sebagai mesin penggeraknya. Hasrat yang membentuk, menata, dibentuk berdasarkan kemauan dan keinginan sang pembangun citra (caleg). Pencitraan yang dibangun oleh caleg maupun partai politik tentu berdasarkan pada mesin politik yang dimiliki, hasrat kekuasaan merupakan agenda utama yang harus diwujudkan.

Pencitraan pun dilakukan dengan cara seseorang menghubungkan seseorang dengan orang lain atau caleg dengan orang lainnya. Sehingga pencitraan politik dapat berhasil meraih target politik.  Politik citra dianggap relevan, berbanding lurus dengan fenomena sebagian masyarakat yang masih pragmatis dengan melihat segala sesuatu tidak pada tataran substansi, tetapi pada tampilan yang disuguhkan elit politik melalui simbol-simbol.

Symbol-simbol melalui media sosial seperti Instagram, Facebook, Twiter, WhatsApp dan yang paling riskan adalah baliho, spanduk, pertemuan akbar dan pesta seremoni. Disebut riskan dikarenakan pencitraan politik oleh caleg entah disadari atau tidak justru akan menimbulkan masalah yang menjadi beban kota. Contoh fakta misalnya pencitraan yang disebutkan (media kampanye berupa baliho, spanduk, pertemuan akbar dan pesta seremoni) justru menghadirkan masalah baru.

Sebagai caleg, sejak awal saya menyadari betul dan bahkan saya sering diundang menjadi narasumber dalam dialog publik tentang masalah sampah—sehingga saya memilih tidak menggunakan media berupa baliho, spanduk, melakukan pertemuan akbar, dan pesta seremoni yang hanya akan menyisakan tumpukan sampah plastik.

Bila kita menggunakan pendekatan kuantitatif kemudian menghitung jumlah caleg dan produksi sampah saat kampanye hingga pasca pemilu. Misalnya caleg dapil 2 khususnya Ternate Selatan, sesuai Daftar Calon Tetap (DCT) Komisi Pemilihan Umum Kota Ternate Nomor 49 Tahun 2023 totalnya 192 caleg. Dari 192 tersebut kemudian dikalkulasi minimal lima (5) baliho untuk satu orang caleg, maka, menghasil 960 baliho yang kelak akan menjadi tumpukan sampah.

Sementara untuk aqua gelas maupun botol taruhlah minimal empat kardus untuk masing-masing caleg di kegiatan pertemuan dengan penduduk pada masa kampanye, maka dari 192 caleg akan menghabiskan 760 kardus aqua dan sudah pasti akan menjadi sampah. Beruntungnya aqua botol masih dapat didaur ulang atau dijadikan air isi ulang yang diperjual-belikan di kios-kios kecil.

Pertanyaannya, bagaimana dengan aqua gelas dan baliho?  Jawabannya, sebagiannya terbuang di tempat sampah, sebagiannya lagi terbuang di kali mati, pesisir pantai dan lalu terbawa arus di lautan. Mengapa persoalan ini penting untuk ditelaah karena dampaknya bersifat jangka panjang: terjadi kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Hal inilah yang tak terpikirkan oleh para caleg bahwa aktivitas kampanye justru semakin menambah beban sampah dan berujung pada pengabaian terhadap hak untuk hidup sehat.

Politik pencitraan tidak semata melanggengkan kekuasaan lalu mengabaikan hak dasar masyarakat; politik pencitraan pun perlu menunjukkan karakter asli, politik gagasan dan kesungguhan memperjuangkan kebutuhan dasar masyarakat sebagai perwujudan etika politik agar terciptanya relasi pertukaran etik sesuai prinsip keadilan—adalah sejatinya tujuan perpolitikan. Sebagai caleg atau calon pemimpin publik hal paling utama adalah setidaknya mendorong kesadaran masyarakat sampai pada tingkat perubahan perilaku sehingga terciptanya partisipasi mobilisasi dari lapisan masyarakat bawah.

Kita ketahui bersama bahwa pengelolaan sampah secara efektif masih menjadi beban kota ini. Dan sampah adalah masalah urgen karena meliputi semua dimensi kehidupan. Sebagai caleg kita pun harus mengambil tanggung jawab, yakni mendorong pengelolaan sampah secara arif dan menyampaikan dampaknya terhadap masyarakat. Bagaimana caranya? Memulainya dari diri sendiri yaitu menunjukkan sikap dan perilaku ramah terhadap lingkungan. Tetapi pada kenyataannya, politik pencitraan di masa kampanye menunjukkan bahwa kita, para caleg tidak menginternalisai gaya hidup ramah lingkungan dengan baik dan ini adalah suatu pelanggaran berat terhadap etika lingkungan.

___

Penulis: Yahya Alhaddad, S. Sos, Msi

Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti

Partai Perindo nomor urut 03

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *