Aku Membawa Mayatku dan Hanya Itu

I

Aku membawa mayatku ke mana-mana, tapi aku tak tahu di mana keranda.

Di “Thanatos”, saat seorang tukang kayu salah menggergaji kaki-kaki keranda, kaki keranda untuk dirinya, untuk keluarganya. Kaki keranda tak berdosa itu mampu tak takut pada mitos-mitos “Platonik” yang akan menggergaji lubuk dadanya. Mata-mata dan hati-hati di kemudian hari yang akan datang dan belum sudah mungkin cemburu pada salah si tukang gergaji. Tetapi, si tukang kayu hanya ingin keluarga kecil mereka makan dari apa yang tak pasti, kaki keranda tak seimbang, kurang presisi, kaki keranda miring; menyedihkan. Ragu-ragu, keranda mungkin terlambat menjadi. Begitulah—di rumah suci mereka—keranda-keranda tergeletak sebagai perjamuan air mata. Sedikit-sedikit, anak-anak dan istri-istri si tukang kayu itu melahap makanan dari jejak-jejak kaki yang segera tiba di tepi keranda, seperti laba-laba yang menjahit jejaring hidupnya, lalu kerumunan jari-jari nakal datang mengusiknya. Mungkin hidup akan lebih panjang lagi, gusar si tukang kayu. Karena tatkala mitos-mitos mengubah dirinya menjadi mantra yang tak mampu ditangkap bunyi mesin tik; “Algoritmus Pondetario”, cemas si tukang kayu memuncak, gelebuk lelayu di atap kepalanya, kidung mengguncang kaki-kaki keranda.

Di mana pusara…

II

Aku membawa hidupku ke nama-nama, tapi aku tak tahu kapan abadi karenanya.

Karenaku… dengan keyakinan sedikit ceroboh akan bernyanyi untuk terangnya lelayu itu; untuk ia yang melarik api “dunia yang belum sudah”, untuk ia yang galak mencipta peluru, yang tak lekang membilang “hanya ada satu kata”, untuk ia yang berani menimang “Aku”. “Binatang jalang” memang pelaut-pelaut itu; biang keladi rinduku pada Gamalama, pada keluh bunga-bunga, pada naga-naga, pada “Cala Ibi” yang melindungi sejarahnya. Di timur, nenek moyangku juga seorang pelaut—pelaut-pelaut yang tak berani membakar laut, yang tak sudi membakar kertas, yang tak dinyana membakar ciumanmu—Aksara! Aduhai nian… aku malu pada malu-Ku. Tetapi tak malu aku—tak melulu aku—datang mengetuk pintu istana megah-Mu. Dalam pada itu, setelah berbagai bila dan andaikata, kuatasi jarak, kuatasi waktu, kutaruh jantung pelaut-pelaut berdarah itu ke dalam remang cahaya di dada, biar “gema tiada berupa”, biar ia ‘kan sunyi seketika, kendati “langit makin mendung”, kendati muara sungai itu jauh dipandang mata, sejauh “Iliad” dan “Odyssey” atau  serat-serat yang tak sanggup membakar tubuh “Malang Sumirang” atau “Negarakertagama”—Gamalama—dari puncak gunung itu, pernah pula pelaut bermata bajak laut mengelus-elus tanganku dengan “Os Lusiadas”: “Lihatlah Ternate dan Tidore dari puncaknya yang berkobar; meletup gelombang api, kau akan melihat cengkih yang tajam, dibeli dengan darah bangsa Portugis”. Dengan apa harus kubayar keabadian itu. Aduhai nian… Aku malu pada malu-Ku, tapi tak melulu aku, datang mengetuk istana megah-Mu.

Di mana Aksara…

III

Aku membawa diriku ke antara benda-benda, tapi aku tak tahu dengan apa aku ada dan tak ada.

Ditimang alun asmara, diancam pedusi, kau lalu bicara pada pucuk Bidara, pada putih Melati, pada merah Kembang Sepatu, pada kelindan sunyi di kekar tangan para nelayan yang membuang jaring ke dalam amarah ombak. Bulan bening mengerami matahari dan senja tiba-tiba terik di tengah hari—memanggang sejarah purnama hitam—jejak-jejak kuasa; penipuan-penipuan, permainan. Ah! Kau hanya lelah dan ingin pulang ke sana, di antara benda-benda; di lapis-lapis kulit bawang yang meruntuhkan air matamu, kau menangis tapi sedihmu tak ada. “Di antara”, kau tak ada.

Tetapi benda-benda ada. Benda-benda yang membikin matamu demam berselimut kertas hitam. Benda-benda itu: menjelma kota, cermin dan kopi, meringkus tradisi, kerudung hitam dan sangkur polisi, merangkum telepon pintar, batu bara dan galaksi bimasakti, meringkas keadilan, kebahagiaan dan janji politisi, mengatur negara, sekolah juga KBBI, meredam cincin pernikahan, kontrak kerja dan perselingkuhan. Lebih buruk lagi: merantai perang, kelaparan dan pohon-pohon mati atau gunung-gunung yang botak, sungai-sungai yang kering atau cinta atau benci. Pada beda benda-benda, kau saksikan parade dalam labirin; seekor burung bidadari membuat sangkar kalimat untuk telur-telurnya, untuk itu kau melihat akhir bergerak melalui mata cangkul sang penggali kubur, ada tukang kayu, ada keranda, ada aksara, ada pusara.

Aku membawa mayatku, dan hanya itu…

 

Dazai

kau lepas tangan penata kata dari kertas kerja

dan suara-suara sesudahnya tertatih menanti

tak berdaya mencipta, sebab…

saat malam melepas kokok ayam menjemput jantungmu

kupungut sendiri air mata dari rindu yang telah ujur menahun

“Aku pernah mencintaimu dan hanya pernah”

lagi pula degup macam apa yang memompa darah

ke sekujur tubuh kalimat busuk macam itu

“Aku pernah mencintaimu dan hanya pernah”

—demikianlah teror Dazai sebelum jenazah

[…] manusia saling menipu, sayangnya mereka tak menyadarinya.

“Aku pernah mencintaimu dan hanya pernah”

sesudahnya denguslah bangkai ini

 

Sembilan Sendiri

sembilan-sembilan sendiri

sembilan sendiri enam hari di sunyi keranda

akan tujuh sehari lagi

tabur bunga sudah berakhir

sudah berakhir di pucuk meja

saat tubuh adam jadi pakesang yang akan dilahap sekeluarga

mereka yang pergi ke dalam gumam salam, duduklah!

duduklah pada malam sembilan-sembilan sendiri

sembilan sendiri enam hari di sunyi keranda

telah tujuh hari sudah—begitu bajik matamu

melihat piring-piring memuji,

ujar doa-doa para pencipta mantra, para perayu ilahi,

kau dengar rawatib bertangkap salam

bertangkap hati, terketuk pintu dalam remang surgawi

teranglah pusara, teranglah!

___

WDGafoer

Bagikan:

WDGafoer

Penulis/Sastrawan kelahiran Maluku Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *