Ternate, HN – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (Gamhas) mendesak Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, agar bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan karena pertambangan.
Para mahasiswa itu membetangkan sejumlah poster dan spanduk di Taman Kota Landmark, Ternate, Senin, 18 Desember 2023. Pada salah satu poster ditulis, “Ulah Abdul Gani Kasuba Maluku Utara Dihancurkan Tambang”.
Komite Gamhas Irfandi R. Mansur mengatakan, kepemimpinan Abdul Gani Kasuba selama sembilan tahun berkuasa, percepatan operasi pertambangan semakin masif, penghancuran hutan, dan perampasan ruang hidup rakyat terjadi di mana-mana.
“Sehingga berdampak buruk pada keselamatan lingkungan, kehidupan warga, dan tempat tinggal mahluk hidup. Hal ini dibuktikan dengan jumlah izin tambang yang langsung dikeluarkan oleh Abdul Gani Kasuba selama masa periodenya menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara,” ucap Irfandi.
Menurutnya, Gamhas mencatat sebanyak 53 izin tambang telah dikeluarkan dan tersebar di Maluku Utara. Ini menandakkan Maluku Utara sedang dihancurkan melalui kebijakan Surat Keputusan.
“Tentunya bukti dampak pertambangan terhadap lingkungan sangat menunjukkan ambang batas kerusakan alam, khususnya di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Obi, Halmahera Selatan,” tegasnya.
Ia mengaku, kerusakan itu bisa dilihat dari penurunan produktivitas lahan, terjadinya erosi, dan sedimentasi laut, serta terganggunya kesehatan masyarakat. Misalnya aktivitas tambang di Halmahera Timur oleh PT Priven Lestari dengan luas konsesi 4.953 hektar.
Kemudian, kata dia, tindakan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan itu diperparah dengan rencana penambangan di Gunung Wato-Wato. Sementara Gunung Wato-Wato adalah sumber air bagi hampir 20.000 warga di Kecamatan Maba dan warga Subaim, Kecamatan Wasile, yang sebagai lumbung pangan padi terpenting di Maluku Utara.
“Kejadian ini sama terjadi pada Pulau Gee dan Pulau Pakal, operasi pertambangan juga di Kampung Sagea, Kiya, Gamaf, dan Kawasi Pulau Obi,” jelasnya.
Sagea sendiri ada 5 izin IUP yang wilayah operasinya berdekatan langsung dengan kawasan daerah aliran sungai (DAS), khususnya di wisata Bokimaruru, yang beberapa waktu lalu tercemar.
“Itu disebabkan pembukaan hutan di hulu (DAS) karena adanya pembuatan jalan hauling oleh PT WBN,” ujarnya.
Tak hanya mencemari sumber penghidupan warga, aktivitas tambang juga berdampak pada kesehatan warga sekitar, akibat dari aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT IWIP yang melepaskan emisi ke udara, bahkan akan berdampak terhadap kesehatan, khususnya pada pernapasan manusia.
Bagitu juga di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, PT Harita Group dengan ekstraksi nikel mengakibatkan daya rusak yang panjang, bahkan tidak terpulihkan. Mulai dari pembukaan hutan skala besar, pencemaran air, udara, dan pesisir laut yang berdampak pada wilayah ekosistem biota laut.
“Juga mata pencaharian dan kesehatan masyarakat. Limbah perusahaan yang dibuang ke area sungai hingga mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warnah menjadi keruh merah kecoklatan, sehingga ekosistem laut dan ikan-ikan rentan tercemar,” tuturnya.
Atas masalah ini, lanjut Irfandi, Gamhas meminta Abdul Gani Kasuba segera mencabut izin PT Priven Lestari, hentikan Operasi PT WBN pada kawasan sungai Sagea, serta mencabut seluruh izin operasi produksi tambang nikel di Maluku Utara, menolak proyek reklamasi pantai di berbagai kota dan pulau-pulau kecil.
“Kami tetap mengawal masalah kerusakan lingkungan ini, dan melakukan gerakan besar di Kantor Gubernur Maluku Utara,” pungkasnya.