Pikiran manusia merupakan labirin yang kompleks. Sebuah alam batin yang tidak terbatas dan terus berkembang. Menjadi inti dari eksistensi dan esensi manusia.
Dari pikiran, manusia menciptakan realitasnya sendiri. Manusia membentuk persepsinya terhadap dunia. Manusia dengan kapabilitas pikirannya selalu ingin mengeksplorasi—perjalanan intelektual dan emosional. Membawa manusia ke wilayah-wilayah baru dalam pemahaman dan pengalaman. Eksplorasi menjadikan manusia ingin mendalami pikirannya, memperluas pengalaman fisiknya. Inilah yang disebut dengan meruang tubuh lewat sensasi pikir.
Meruang tubuh lewat sensasi pikir merupakan keadaan manusia memasuki wilayah yang menyatukan dimensi kognitif dan pengalaman sensorik. Memahami keterkaitan antara proses berpikir dan respons tubuh terhadap stimulus. Manusia melibatkan diri dalam penjajakan. tentang bagaimana pikiran memandu persepsi tubuh. Pikiran tidak hanya eksis dalam keadaan abstrak. Tetapi, pikiran juga memainkan peran kunci dalam merespons dan merasakan dunia fisik yang konkret. Dengan meruang tubuh, manusia lebih berani mengeskpresikan perasaannya, terutama secara non verbal. Bahasa terlalu sulit untuk merepresentasikan perasaan manusia.
Baca juga: Pameran Jampujingga, Cara Fadrié Menuturkan Kompleksitas Ruang
Jampujingga merupakan pameran yang dihadirkan sebagai dialog dalam perjamuan artistik kontemporer dalam narasi kebudayaan melalui karya yang diciptakan, berupa lukisan dan instalasi.
Karya-karya yang disajikan adalah pembacaan dan respons Fadrié terhadap kota kelahirannya: Ternate, memuat isu-isu yang klise, seperti ekologi, rempah, dan perempuan. Bagian ini memicu satu pertanyaan penting dalam proses penciptaan. Bagaimana Fadrié mengatasi isu yang klise di atas kanvas dan kertasnya? Apalagi pameran ini digelar di kota yang sudah akrab dengan isu-isu tersebut. Mengutip konsep yang ditawarkan oleh Deleuze, “diagram” dalam menyoroti peristiwa penciptaan karya, bahwa yang terpenting bukanlah karya yang diciptakan, melainkan titik tolak dan pengalaman sensorik Fadrie terhadap isu-isu tersebut.
Sebagai sebuah terma, “jampujingga” sukar untuk didefinisikan secara harfiah, ia hadir dalam pikiran Fadrié ketika proses penciptaan karya. Dalam pameran ini, Fadrié menyajikan karya yang diciptanya dalam rentang waktu dua tahun.
Selama proses penciptaan, Fadrié membiarkan pikirannya bersensasi dan melibatkan tubuhnya untuk menciptakan ruang kebebasan berekspresi. Berbeda dari karya sebelumnya, kali ini Fadrie mencoba menyajikan ide dengan gaya yang tidak biasa, yaitu ekspresionis.
Ekspresionis cenderung menekankan eskpresi emosional dan subjektivitas dalam karya seni yang intens, provokatif, dan penuh gairah, Karya seni ekspresionis sering kali ditandai dengan bebasnya karya dari unsur-unsur formal konvensional dan penggunaan warna yang dramatis, seperti Fadrié yang memilih pala sebagai pewarna alami untuk mewarnai beberapa karyanya.
___
Penulis: Aza Khiatun Nisa
Lahir dan tumbuh di Sumatera Barat. Mahasiswa filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejak 2021, Aza mulai belajar seni, media, dan kerja-kerja kolektif, terutama di bidang kepenulisan. Ia pernah belajar di Rumah Tamera — Komunitas Gubuak Kopi, Galeri Seni Soboman 219, dan Komunitas Dangau Studio.