
Jakarta, HN – Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato kembali menggelar aksi di Jakarta pada Jumat, 8 Desember 2023. Aksi tersebut masih terkait desakan mencabut izin perusahaan tambang nikel, yakni PT Priven Lestari di Halmahera Timur.
Ketua Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-watoi, Said Marsaoly mengatakan, akibat tambang di Halmahera, pesisir dan laut yang berada di Teluk Buli, termasuk pulau kecil (Gee dan Pakal) di Halmahera Timur, pencemaran sungai Sagea di Halmahera Tengah, dan penggusuran warga di Pulau Obi, Halmahera Selatan ikut merasakan dampak kerusakan yang luar biasa.

Said mengatakan, dari kasus ini, pemerintah pusat maupun daerah bukannya melakukan pemulihan, malah melegitimasi izin tambang baru untuk PT Priven Lestari yang konsesinya berada di kawasan Gunung Wato-wato.
Kawasan ini, kata dia, menjadi ruang hidup terakhir warga Halmahera Timur yang menyasar kawasan hutan, pemukiman, serta lahan pertanian dan sumber air minum warga.
“Gunung Wato-wato ini adalah satu-satunya sumber air bagi hampir 20 ribu warga di Kecamatan Maba,” ungkapnya.
Sumber air yang sama juga digunakan oleh warga di Subaim, Kecamatan Wasile, salah satu lumbung pangan padi terpenting di Maluku Utara.
Pada Gunung Wato-wato pula terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang telah ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI pada 2021 yang memilki fungsi sebagai wilayah resapan air dan fungsi esensial lainnya.
Dari kawasan hutan Wato-wato ini pula, terdapat lahan pertanian dan perkebunan warga yang ditanami pala, cengkih, dan nanas.
“Semua itu adalah sumber utama perekonomian warga setempat,” ungkap Said melalui rilisnya.
Ia mengemukakan, Gunung Wato-wato yang akan dibongkar salah satu modusnya dengan mengotak-atik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Timur untuk memasukannya ke dalam ruang tambang.
Selain itu, ia menilai ada dugaan upaya kerja sama antara PT Priven Lestari dan Pemda Halmahera Timur, serta KLHK yang berencana melepas status kawasan hutan itu, dengan skema pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk perusahaan.
“Pada saat gelombang penolakan warga semakin masif dilakukan, pemerintah justru abai dengan hal itu. Bahkan terdapat upaya kriminalisasi warga menggunakan tangan aparat kepolisian,” tuturnya.
“Hal ini ditandai dengan munculnya surat panggilan dari polisi terhadap 13 warga Kecamatan Maba yang menolak tambang pada Juli 2023 lalu, dengan tuduhan mengada-ada, yakni penganiayaan, pengancaman, dan pengerusakan,” sambungnya.
Said mengaku, hingga hari ini beberapa warga Buli memilih berkunjung langsung ke Jakarta dengan resiko hidup mengalami berbagai macam kesulitan hanya untuk tetap menyuarakan tuntutan mereka.
“Namun setibanya di Jakarta, warga justru diabaikan oleh KLHK maupun ESDM. Sehingga hal inilah yang menjadi alasan kuat warga untuk melangsungkan aksi di depan Istana Negara, karena semua lembaga-lembaga di bawah naungan presiden telah kehilangan akal sehat, lebih mementingkan kepentingan bisnis ekstraktif tambang nikel PT Priven Lestari dibandingkan kehidupan warga Halmahera,” jelasnya.