Di atas Pulau Halmahera raung suara buldozer terus bergemuruh mengiringi tumbangnya pohon-pohon, amblesnya gunung, hilangnya kebun-kebun produktif, tercemarnya sungai, hingga rusaknya pesisir dan laut.

Kesatuan ekosistem itu nyaris tak ada yang berhasil selamat apabila gerilya mesin ekstraktif milik perusahaan tambang terus hilir mudik membongkar, menggusur, mengeruk, serta menggali setiap jengkal tanah yang menyimpan kandungan bijih nikel.

Burung-burung yang semula gegap-gempita terbang lalu-lalang dengan liar kemudian akan hinggap pada ranting untuk bermain, berdansa, ataupun mencari makan, harus tersingkir karena habitatnya sudah tergerus dihantam mesin-mesin tambang. Proses pengrusakan itu juga menyambung hingga ke biota laut seperti ikan, yang kini amat begitu mengkhawatirkan.

Ikan Tercemar

Sebagai masyarakat kepulauan, ikan adalah salah satu jenis menu makanan yang eksistensinya selalu dipertahankan di atas meja- jika tidak harus diusahakan agar senantiasa tersaji. Itu artinya, ikan merupakan pangan andalan orang Maluku Utara. Namun dewasa ini, fakta tentang ikan di laut Maluku Utara membuat sikap was-was untuk ditampilkan di atas meja makan.

Sekurang-kurangnya perlu ditelusuri dari mana ikan yang hendak dibeli itu ditangkap oleh nelayan, atau lebih detailnya mengetahui dari perairan mana ikan itu berasal. Tapi siapa yang tahu kalau setiap waktu ikan melakukan migrasi.

Hasil riset mengungkapkan bahwasannya ikan-ikan di laut Maluku Utara sudah terpapar dengan logam berat yang terkontaminasi ke dalam tubuhnya, terutama pada spot atau wilayah perairan yang cukup dekat dari kawasan operasional industri tambang seperti di Teluk Weda di Halmahera Tengah, Teluk Buli di Halmahera Timur, dan Perairan Obi di Halmahera Selatan.

Laporan yang diterbitkan Kompas bertajuk Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat (7 November 2023) selain menyatakan status baku mutu kualitas air yang sudah melebihi ambang batas, penelitian juga menunjukkan jenis ikan Putih di Teluk Buli dan Teluk Weda terdapat akumulasi logam berat yang menyebabkan nekrosis yaitu terjadinya kematian sel usus, ginjal, dan hati.

Kondisi yang tidak diinginkan itu pun terjadi di perairan Obi. Hasil riset teranyar yang diluncurkan WALHI Malut pada 15 November 2023 bertajuk “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut Perairan Teluk Weda dan Pulau Obi” mengungkap temuan jumlah sel ikan yang mati di Obi lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan di Teluk Weda, dengan menyimpulkan:

“(1). Status kualitas air perairan di kawasan Teluk Weda dan Pulau Obi terindikasi mengalami pencemaran. (2). Tingkat pencemaran telah terakumulasi hingga ke biota laut seperti Kima dan Ikan. Ikan target konsumsi telah terpapar dengan logam berat. Logam berat bersifat toksik dan dapat membahayakan masyarakat sekitar.”

Dengan terpaparnya ikan semestinya menjadi alarm keras juga pukulan telak bagi pengurus negara atas situasi kesehatan pangan yang bersumber dari laut. Di sisi lain operasi tambang di atas wilayah kepulauan sangat beresiko dikarenakan dapat mengakibatkan daya rusak hulu-hilir dengan rangkaian alur kerusakan yang terjadi relatif lebih cepat.

Gerilya Korporasi

Potret penguasaan ruang darat di Maluku Utara nyaris sepenuhnya dicaplok korporasi. Praktik hegemoni yang syarat ekonomi monopolistik ini tak akan terjadi kalau pengurus negara tidak menerbitkan berbagai lembar kertas dengan kalimat mengemuka bertuliskan “Surat Keputusan”. Kemudian melalui surat itu membuat wilayah-wilayah yang semestinya dikuasai serta kelola oleh rakyat sebagai media produksi agar rakyat serta generasi berikutnya dapat terus bertahan hidup harus hilang dirampas.

Kini, di atas daratan Maluku Utara jumlah izin industri berbasis lahan tercatat sebanyak 146 izin yang menempati luas area lahan sebesar 2,6 juta hektar dari total luas daratan provinsi ini berkisar 3.2 juta hektar. Khusus untuk tambang jenis mineral dan logam terdapat 108 izin yang di dalamnya termasuk izin penambangan nikel sebanyak 51 Izin Usaha Pertambangan (IUP) ditambah dua kawasan industri yang aktif memproses bijih nikel yaitu Harita dan PT IWIP.

Apa yang terjadi di Maluku Utara dewasa ini, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di mana tumpuan ekonomi yang berbasis kepada penguasaan lahan oleh segelintir orang adalah pola kerja ekonomi kapitalistik yang hanya menguntungkan secuil manusia, hal itu sangat lugas terlihat melalui masifnya berbagai operasi industri berbasis lahan namun dari tahun ke tahun jumlah orang yang berada dalam garis kemiskinan di Maluku Utara selalu pantang surut bahkan cenderung naik. (Baca tulisan saya sebelumnya: 24 Tahun Maluku Utara: Merayakan Kemiskinan dan Penghancuran Sumber Kehidupan)

Abai Negara

Mengundang tambang sama dengan mengundang malapetaka, meskipun ekonomi bisa saja tumbuh bahkan melesat di luar prediksi, tapi sebaliknya tidak dengan tatanan lingkungan hidup yang harus porak poranda. Proses pengrusakan ekologi yang sedang berlangsung di Maluku Utara dalam satu dekade terakhir mengalami peningkatan eskalasi. Aktivitas pembongkaran yang lengket dengan daya rusak serta dehumanisasi ini lantas ditandai sebagai sebuah keberhasilan atas ambisi pemerintah perihal program elektrifikasi yang begitu mengemuka digaungkan pengurus negara.

Namun, pada sisi yang berbeda apa yang dilakukan oleh perusahaan tambang di Maluku Utara jauh dari pengawasan serta kendali pemerintah. Para pengurus negara sepertinya tak punya nyali: mulai dari pejabat tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat. Lagaknya persis sama, mereka terkesan takut bila berhadap-hadapan dengan perusahaan tambang justru sebaliknya mereka lebih memilih jalan aman pun kerap menjadi corong perusahaan tambang.

Seperti tempo lalu, pernyataan yang bikin terheran-heran oleh Wakil Gubernur Maluku Utara, M Al Yasin Ali. Orang nomor dua di Maluku Utara ini melalui media Tandaseru (22 September 2023) meminta perusahaan tambang nikel untuk membuang sisa penggalian ore-nya agar dibuang ke sungai. Sikap ini menunjukkan bagaimana pengurus negara yang dipilih oleh rakyat justru lebih mementingkan korporasi tambang. Dengan begitu, apa yang keluar dari mulut mantan Bupati dua periode di Kabupaten Halmahera Tengah, adalah potret nyata kalau pengurus negara sangat abai terhadap lingkungan hidup.

Pudarnya Kicau Burung

Di belantara rimba Halmahera terdapat kawasan hutan yang diperuntukkan sebagai Taman Nasional-Aketajawe Lolobata. Kawasan konservasi ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.397/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 dengan luas 167.300 hektar.

Secara terpisah areal dengan fungsi pelestarian alam ini terdiri dari dua Kelompok Hutan yakni Lolobata yang ditetapkan pada 2010 seluas 89.525,37 hektar dan Kelompok Hutan Aketajawe yang ditetapkan tahun 2014 seluas 77.793,95 hektar dengan kedudukan geografisnya, Aketajawe berada di bagian tengah Pulau Halmahera sedangkan Lolobata lebih ke Timur Pulau Halmahera, namun kedua kelompok hutan tersebut masih dalam satu hamparan lahan yang didalamnya terdapat beragam satwa termasuk rumah dari ratusan burung.

Dalam laporan media Tempo yang berjudul Dua Spesies Burung Di Maluku Utara Terancam Punah yang terbit pada 19 Mei 2010 atau sekitar 13 tahun lalu menyebutkan, jenis burung Kakatua Putih serta Bidadari Halmahera terancam mulai punah. Keterancaman kedua spesies tersebut sejalan dengan maraknya penebangan dan pengalihan fungsi hutan dalam 10 tahun terakhir.

Lalu, bagaimana dengan situasi setelah lebih dari satu dekade ini?

Berdasarkan peta sebaran tambang yang tersedia dalam kanal Minerba One Map Indonesia (MOMI) milik Kementerian ESDM memperlihatkan di antara kedua kelompok hutan itu, kini dipadati dengan IUP nikel. Tiap-tiap konsesi tambang nikel saling himpit, lalu mencaplok hingga menjurus ke arah masing-masing pesisir.

Pola kerja tambang nikel adalah model tambang terbuka yang selalu menerapkan pendekatan land clearing atau pembersihan lahan. Proses tersebut mengakibatkan kehilangan vegetasi pohon dalam jumlah yang besar bahkan bisa sepenuhnya kolaps tergusur mengikuti luas areal konsesi tambang selagi tersedia kadar nikel di atas 1,5 persen dengan posisi yang gampang diakses.

Karena itu sangat cepat terjadi kehilangan vegetasi atau deforestasi. Data analisis citra satelit dari Global Forest Watch menunjukkan semenjak tahun 2001 hingga 2022 telah terjadi kehilangan tutupan pohon di Halmahera Timur sebanyak 56,3 hektar sedangkan di Halmahera Tengah sebanyak 26,1 hektar kehilangan tutupan pohon.

Sementara akumulasi secara keseluruhan di Maluku Utara sudah kehilangan 274 ribu hektar tutupan pohon yang setara dengan penurunan 8.9 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 211 metric ton emisi CO₂e.

Kehilangan tutupan pohon yang terjadi kemudian diperkuat dengan Analisis Keanekaragaman Hayati dari Burung Indonesia yang menyatakan dari 350 jenis burung ada 40 jenis burung adalah endemis Kepulauan Halmahera sementara itu tidak lebih dari 77 jenis burung di Maluku Utara yang habitatnya mulai mengalami penurunan secara signifikan.

Apa yang harus dilakukan?

Pelbagai potret kerusakan yang ditimbulkan atas industri ekstraktif terutama karena tambang merupakan rangkaian proses kejahatan lingkungan hidup yang bermula dari pengurus negara. Dengan demikian menjelang menutup akhir tahun 2023 ini agar pemerintah dapat mencabut seluruh izin usaha yang merusak serta melakukan pemulihan total pada wilayah yang krisis lingkungan hidup. (*)

Bagikan:

Julfikar Sangaji

Divisi Advokasi & Kampanye Forum Studi Halmahera (FOSHAL) Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *