Tidore, HN – Saat memasuki Kelurahan Toloa, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, dari kejauhan sudah terdengar suara godam bertalu-talu yang menghantam besi dan menciptakan irama di sebuah gubuk kecil berukuran panjang 4 meter dan lebar 6 meter.
Asrin Kipujena (56 tahun), Ketua Kelompok Nyiha Kubu pandai besi menceritakan, pekerjaan ini sudah dilakukan turun-temurun, sehingga masyarakat setempat telah menguasai keterampilan mengolah besi menjadi parang, pisau, linggis, kukuran atau alat memarut.
“Saya mulai bekerja sebagai pandai besi ini dari tahun 1986 ketika saya masi sekolah,” ucap Asrin, Minggu, 26 November 2023.
Asrin mengaku, ia hanya penerus yang sudah mewarisi keahlian pandai besi ini dari genrasi ke generasi.
“Tapi sekarang so (sudah) mulai berkurang, sisa empat kelompok saja dan cuma tiga kelompok yang masi aktif,” katanya.
Rata-rata pekerja pandai besi di Toloa sudah berumur 40 tahun ke atas. Dan setiap kelompok berisi lima sampai 15 belas pekerja.
Pekerjaan ini pun dilakukan dengan cara-cara yang tradisional dan sebagian besar yang melakukannya adalah laki-laki.
“Dalam sehari pekerja pandai besi dapat memproduksi 10 sampai 30 parang tergantung jumlah pesanan dan bahan baku,” ungkapnya.
Tempat kerja terdapat sebuah alat yang dikenal dengan ‘embusan angin’ atau dalam bahasa Tidore disebut sebagai ‘dua-dua’. Alat ini berfungsi untuk memompa angin ke tungku.
Embusan angin ini terbuat dari pohon linggua yang dilubangi bagian tengahnya atau dapat menggunakan pipa.
Bahan bakar yang digunakan adalah arang dari kulit kenari. Arang dari kulit kenari yang lebih tebal dapat digunakan untuk membakar besi selama dua atau tiga kali produksi.
Asrin menyebutkan, bahan baku berupa diperoleh dengan membeli besi tua dari para pengumpul, baik di Tidore maupun di Ternate.
“Hasil produksi dari pandai besi dijual ke berbagai daerah di Maluku Utara. Parang dijual dengan harga dari Rp 100 ribu – Rp 250 ribu, tergantung parang kecil atau besar,” pungkasnya.